KBR, Jakarta - Abdul Hakim, warga Desa Roban, Batang, Jawa Tengah. Nelayan berusia 43 tahun itu tak rela sumber kehidupannya dirampas.
“Saya akan tetap ngotot kalau memang itu menjadi sudah takdir saya pun, harus nyawa sebagai taruhan, bagi saya tidak masalah. Asalkan anak cucu saya bahkan yang sekarang sudah ada ataupun yang belum ada sekalipun, ini membutuhkan perjuangan kami,” ungkap Abdul Hakim kepada KBR.
Ia bercerita, sejak menjadi nelayan diusia 12 tahun, hidupnya sejahtera dari hasil melaut.
“Penghasilan nelayan di Roban sangat bagus. Kadang 200 ribu, kadang sampai 800 ribu. Kalau musim udang, musim panen bagi nelayan ya, satu hari untuk mencari 1 juta, 2 juta itu mudah. Itu diprosentase jatuhnya 1 hari itu mendapatkan 400-500 ribu perhari, itu bersih,” sambungnya.
Tapi, kondisi itu akan lenyap. Ancaman datang ketika pemerintah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang didanai bank Jepang, Japan Bank for International Cooperaton (JBIC). Proyek raksasa itu menghabiskan dana 53 triliun rupiah.
Tak mau tinggal diam, Abdul dan dua warga Batang lain, Cayadi dan Karomat, terbang ke Jepang menemui anggota oposisi. Menyuarakan penderitaan mereka.
“Itu mereka sangat terkejut. Berbeda jauh, bahkan data yang dilaporkan oleh BPI (PT Bhimasena Power Indonesia- konsorsium pelaksana proyek, red) sendiri. Kepada JBIC atau pemerintah Jepang itu selama ini mereka anggap baik-baik saja tidak ada masalah. Semuanya masyarakat, warga Batang dan semuanya mendukung pembangunan PLTU. Padahal tidak begitu kenyataannya,” ucapnya.
Pasca pertemuan itu, Abdul mengklaim, parlemen Jepang mendukung perjuangan warga dan berjanji mendesak pemerintah Jepang menghentikan pendanaan.
“Parlemen yang kami kunjungi akan membantu warga dan mendukung perjuangan warga dan akan menekan pihak pemerintah untuk menghentikan rencana pembangunan PLTU. Terutama kepada JBIC untuk ditekan supaya tidak mencairkan dananya untuk rencana pembangunan PLTU. Karena tidak selayaknya dan tidak sepatutnya untuk dibangun,” sambung Abdul.
Selama empat tahun, Abdul dan ribuan warga Batang gigih bertahan menolak PLTU hadir di tengah-tengah mereka.
Abdul tak mau bernasib sama dengan nelayan di daerah lain yang dibangun PLTU.
“Kami tidak ingin mengalami nasib yang sama yang dialami warga lain seperti yang di Jepara, Pati, Rembang, atau yang dialami oleh teman kami yang di Cirebon. Yang dulunya kota udang, sekarang tinggal nama. Itu karena dampak dari PLTU," ujarnya
"Yang kami survei ke lokasi atau ke tempat-tempat yang ada PLTUnya, kebanyakan mereka menyatakan yang dulunya 100 persen sekarang 25 persen. Jadi turun drastis 75 persen dari penghasilan mereka hilang,” timpal Abdul.
Bertahan melawan selama empat tahun, tidak mudah. Sekitar 1500 nelayan di Desa Roban mulai terbelah karena bujuk rayu uang dan intimidasi. Ikatan sosial di antara warga pun tercerai berai.
LSM Lingkungan Walhi yang meneliti persoalan ini menyatakan, PLTU sebagai sumber energi paling kotor dipastikan berdampak.
"Tidak bisa dipastikan apakah nanti limbah yang dibuang ke sungai dan akan bermuara ke laut akan berdampak pada kehidupan nelayan. Jelas tidak akan lagi kehidupan ikan yang ada di sekitar situ, kalau limbah yang dihasilkan PLTU itu akan dibuang. Itu akan berpengaruh pada kehidupan mereka nantinya. Batu bara ini salah satu energi terkotor, dua kali lipat dari gas," jelas Ode Rakhman.
PLTU Batang merupakan bagian dari rancangan pemerintah mewujudkan program pembangkit listrik 35 ribu megawatt.
Tak hanya uang yang ditebar korporasi, tapi intimidasi hingga kriminalisasi. Simak bagian kedua kisah tersebut.
Editor: Quinawaty Pasaribu
PLTU Batang, Abdul Hakim: Nyawa Jadi Taruhan, Demi Anak Cucu
“Saya akan tetap ngotot kalau memang itu menjadi sudah takdir saya pun, harus nyawa sebagai taruhan, bagi saya tidak masalah. Ini perjuangan kami.”

Warga Desa Roban tolak pembangunan PLTU Batang. Foto: Greenpeace
BERITA LAINNYA - SAGA
Kampung Liu Mulang Teladan Hidup Selaras dengan Alam
Tradisi menjaga lingkungan dilakoni dan diwariskan antargenerasi
Sampah Makanan Penyumbang Emisi
Badan Pangan Dunia FAO bahkan menyebut sistem pangan global sebagai pendorong terbesar kerusakan lingkungan
Menangkal Asap Rokok dan Covid-19 dengan Kampung Bebas Asap Rokok
Momentum pandemi jadi sarana efektif untuk edukasi bahaya asap rokok
Kesehatan Bumi dan Mental
Organisasi psikiater di Amerika Serikat, the American Psychiatric Association, menjelaskan bagaimana krisis iklim ini mengganggu kesehatan mental
Bendrong Menuju Dusun Mandiri Energi dan Pangan
Program rintisan biogas dikembangkan menjadi sistem pertanian terpadu. Ekonomi meningkat dan lingkungan terjaga.
Make Up Baik Untuk Iklim
Tren pemakaian make-up alias dandanan tak pernah mati. Tengok saja YouTube dan media sosial, di sana bertabur aneka konten tutorial berdandan.
Kulon Progo Terus Melawan Asap Rokok
Kebijakan antirokok tetap berlanjut meski ganti pemimpin
Bahaya E-Waste untuk Iklim
Sampah elektronik atau e-waste juga menjadi sumber emisi, sehingga bumi makin panas
Jernang Emas Rimba yang Terancam Punah
Jernang bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga bagian dari tradisi Orang Rimba menjaga lingkungan
Berhitung Plastik Pada Kopi Senja
Indonesia adalah salah satu negara dengan konsumsi kopi terbesar di dunia. Secara perekonomian, ini tentu baik. Tapi seperti pedang bermata dua, sisi lain industri kopi kekinian mulai mengintai.
Ketika Burgermu Memanaskan Bumi
Tahukah kamu kalau daging lezat yang kamu makan itu berkontribusi pada perubahan iklim?
Adaptasi Petani Kendal Atasi Kekeringan
Kekeringan menjadi langganan petani selama puluhan tahun. Krisis air makin parah akibat perubahan iklim. Strategi adaptasi mulai dirintis kelompok pemuda.
Membangun Rumah Ramah Lingkungan
Ada banyak jalan menuju Roma. Ada banyak cara pula orang menunjukkan kepeduliannya pada lingkungan. Kali ini, Podcast Climate Tales mengajak kita ‘bedah rumah’ Minisponsible House yuk.
Menjaga Mangrove Pantai Bengkak
Konservasi mangrove untuk cegah abrasi akibat perubahan iklim. Perpaduan dengan wisata edukasi memberi nilai tambah ekonomi bagi warga
Nasib Petani Tembakau di Pulau Lombok
Petani mitra maupun swadaya sulit mendapat penghidupan layak karena ketidakpastian harga tembakau. Pandemi Covid-19 makin membuat nasib mereka terpuruk.
Melambat Bersama Slow Fashion
Industri Fashion adalah polutan terbesar kedua di dunia, setelah minyak dan gas. Tak heran karena dalam prosesnya prosesnya Industri ini banyak mengesampingkan kelestarian lingkungan.
Most Popular / Trending
Recent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Menyoal Program Restrukturisasi Jiwasraya
Kabar Baru Jam 8
Kapan Kekebalan Terbentuk Usai Vaksinasi Covid-19?
Kabar Baru Jam 10