SAGA

Anugerah Listrik dari Alam Maros (3)

"Warga Desa Barugae kemudian bekerja bergotong-royong. Mereka mulai membangun turbin pembangkit dalam waktu 6 bulan. Karena akses transportasi dari Kota Maros ke Desa Barugae tak memadai, turbin dan generator seberat hampir setengah ton terpaksa dibawa war"

Pebriansyah Ariefana

Anugerah Listrik dari Alam Maros (3)
Maros, PLTMH, Energi Alternatif, Air, PNPM

Meninjau PLTMH

Malam berganti pagi. KBR68H bersama warga Desa Barugae, Herin siap berpergian melihat Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) buatan warga atas  bantuan dari Bank Dunia. Herin menggenakan sepatu boots, dan membawa alat perkakas teknik. Untuk menuju ke sana kami melewati lebatnya hutan tropis. Sesekali monyet berekor panjang menampakan diri.

Butuh waktu sekitar setengah jam menuju PLTMH yang terletak di lembah hilir sungai Desa Barugae. Setibanya di sana, nampak sebuah bangunan semi permanen dari batako, papan kayu, dan beratapkan lembaran seng, berdiri di tepi sungai. Di dalam bangunan itu nampak mesin generator pembangkit listrik. Warga desa setempat menyebut rumah itu Power House.

Herin adalah kepala teknisi generator PLTMH. Warga asli Desa Barugae itu baru saja lulus dari bangku SMA. Ia mengaku belum lama belajar soal mesin. Tapi ia fasih menjelaskan alur kerja generator pembangkit listrik itu. Generator PLTMH ini mempunyai 5 bagian terpenting.

Herin menjelaskan turbin ini mempunyai baling-baling di bagian dalam dan terus berputar di terpa air dari bendungan. Baling-baling itu menggerakkan dinamo generator yang ada di sebelahnya.

“Generator itu menghasilkan listrik. Sama seperti prinsip kincir angin. Nah generator ini ubah energi potensial jadi listrik. Lalu listrik ini dialirkan lewat kabel besar ke pusat pengendali listrik,” jelas Herin di power house yang letaknya persis di sebelah sungai beraliran deras.

Listrik itu bisa langsung digunakan, namun tidak mungkin 20 ribu watt listrik yang dihasilkan langsung disalurkan ke rumah. Perlu penstabili listrik atau stabilizer. Dari penstabil tegangan yang menempel di dinding power house. Dari penstabil listrik itu, listrik di alirkan ke rumah-rumah.

Selanjutnya kami mendaki dan jalan memutari lembah untuk  melihat bendungan. Jaraknya sekitar 300 meter dari mesin generator. Bendungan yang terbuat dari bebatuan dan adukan semen itu mempunyai 3 kolam. Ukuran tiap kolam sekitar 5x5 meter dengan ketinggian dinding kolam 4 meter dari dasar sungai. Untuk mengatur jalur masuk air ke kolam, dibuat lubang dengan diameter 1 meter. Air sungai yang dibendung sebagian mengalir ke kolam itu. Sebagian lainnya mengalir ke bawah, menghantam bebatuan besar di dasar sungai.

“Biar nggak berlebih airnya. Nah ini namanya bak penenang. Artinya di sini diatur debitnya masuk ke sini. Jadi kalau kurang air di sini, di bawah juga voltasenya kurang,” jelas Herin.

Selanjutnya kata Herin, air dialirkan menuju turbin PLTMH melalui pipa berdiameter 25 cm.

“Konstruksinya ini harus bagus karena harus menggunakan beton semua ini. Pakai lem dan beton. Nah itu ada air keluar itiu untuk mengeluarkan udara. Ada dua lubang. (Pipa ini berapa meter panjangnya dari turbin?) 130 meteran lah. Beda tinggi dari bawah itiu 7 meter. (Kemiringan berapa meter?) Kurang begitu jelas, yang pasti ketinggian ini 7 meter,” papar dia.

Aliran air, jelas Herin semakin besar jika pipa yang dipakai lebih panjang dan miring.   Namun debit air harus dijaga agar stabil. Oleh sebab itu bendungan dan kolam ini dijaga setiap harinya oleh warga setempat. Jangan sampai di bagian lubang penyaring air tersumbat sampah.  Jika air tak mengalir dampaknya fatal, generator mati  dan aliran listrik ke desa pun terputus. 

Gotong Royong Bangun PLTMH


Teknologi PLTMH di Desa Barugae ini bukan pertama kali diterapkan di desa krisis listrik. Hanya saja tidak semua desa mampu membangun PLTMH yang menghabiskan dana  hingga Rp 650 juta. Namun PLTMH buatan warga setempat hanya menyedot anggaran Rp 300 juta.

Adalah Syamsir, warga Desa Barugae  yang mengusulkan kepada pemerintah daerah Maros untuk membuat PLTMH dengan dana minim. Bekas Kepala Desa Barugae itu lantas mengajukan usulan anggarannya lewat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Lingkungan Pedesaan. Meski usulannya sempat diremehkan pejabat setempat, tapi Syamsir tak patah arang. 

“Coba itu kasih saya anggaran Rp 300 juta, persoalan tanggungjawab selesai biar saya yang tanggungjawab, yang penting jangan banyak campur di dalamnya. Akhirnya saya kerja di lapangan, saya kasih tahu masyarakat saya bilang ini ada anggaran. Anggarannya seharusnya Rp 650 juta. Saya bilang tapi anggarannya begini, nah ini peluang,” kata Syamsir mengobrol dengan KBR68H desa itu.

Pria tinggi kurus ini bercerita, warga Desa Barugae bekerja bergotong-royong. Mereka mulai membangun turbin pembangkit dalam waktu 6 bulan. Dia menggambarkan membawa turbin dan generator yang beratnya hampir 1 ton. Keduanya dibawa dengan dipikul dan berjalan kaki.

Mereka naik turun bukit berlumur dari Kabupaten Maros sampai ke desa Barugae. Jaraknya kurang lebih 9 km. Mereka juga membawa ratusan kilogram semen dan tiang dari kayu jati untuk  menghubungkan kabel listrik dari PLTMH ke  ke rumah warga.

“Saya perlu 600 sak semen saat itu. Itu 7 kg, dan saya pakai dengan tenaga ini. Sebagaian pakai tenaga kuda. Saya bilang, yang perlu dipakai adalah semangat dan perempuan lelaki kerja semua,” tegas Syamsir seraya menepuk pundaknya.

Setelah 6 bulan PLTMH itu rampung, warga bisa menikmati listrik. Untuk biaya pemeliharaan generator, warga dikenakan iuran senilai Rp 35 ribu per bulan yang dikelola lewat bank desa. 

Kepala Desa Barugae Hukman mengatakan warga berharap pemerintah dapat memberikan bantuan dana untuk biaya perawatan selain membuat akses jalan dari desa menuju lokasi  PLTMH. Kepala Desa Barugae, Hukman.

“Hanya akses jalan ini. Karena kalau ada perlu perbaikkan di kota, nah  itu susah diangkatnya. Karena akses jalan yang kurang. Perawatan mesinnya tidak terlalu sulit,” jelas dia.

Sayangnya pihak Kementerian Dalam Negeri yang mengurusi proyek PNPM itu tidak bisa memenuhi keinginan Hukman. Pejabat yang bertanggungjawab  mengurus program PNPM di  Kementerian Dalam Negeri, Anna Gurning beralasan Negara tengah melakukan berbagai penghematan. Banyak pos anggaran yang dipotong, termasuk dana pemeliharaan proyek PNPM untuk rakyat miskin.

“Sebenarnya kita memang ada sekadar monitoring dan evaluasi sudah sampai di mana LMP setelah klosing date di 2012. Tapi kita mempunyai keterbatasan dana. Bahkan kita tengah mengalami pemotongan dana, bahkan seluruh dunia tahu. Maka kita tidak ada untuk pembinaan dan Sustainability-nya nggak ada,” kata Anna saat ditemui KBR68H di Hotel Aryaduta Makassar.

Terlepas masalah dana, inisiatif dan kerja-keras warga Desa Barugae memanfaatkan potensi alam untuk kehidupan yang lebih baik patut ditiru. Warga bisa merasakan kehangatan malam dengan listrik. Terebih, anak-anak desa Barugae akan lebih bisa menikmati masa kecilnya selayaknya anak-anak di Ibukota Negara Jakarta.

“Saya merasa happy merasa senang, bisa komunikasi dengan keluarga saya, saya juga bisa beli TV dan nonton. Ah hati saya berbunga-bunga,” ungkap Yuni, warga desa setempat dengan tersenyum lebar.


Editor: Taufik Wijaya

  • Maros
  • PLTMH
  • Energi Alternatif
  • Air
  • PNPM

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!