Article Image

SAGA

Gerak Kolaboratif Cegah Rotan Manau di Jambi Punah

Sabtu 02 Jul 2022, 18.50 WIB

Rotan Manau yang dikumpulkan Orang Rimba tengah ditimbang. Jenis rotan ini terancam punah, padahal punya nilai ekonomi tinggi. (Foto: KBR/Elvi).

KBR, Jambi - Hari sudah beranjak siang, baru tiga batang rotan manau yang dipanggul Merosul. Ia adalah orang Rimba, masyarakat adat yang tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi.

Padahal 5 tahun lalu, tak kurang dari 20 batang bisa diperolehnya hanya dalam tempo 4 jam.

Sulitnya mencari rotan tak sebanding dengan hasil yang didapat.

“Sebenarnya harganya masih rugi, sebab manau kalau yang dekat-dekat sini sudah habis. Adanya manau yang jauh di dalam, payah mengeluarkannya,” kata Merosul.

Beteguh, sesama orang Rimba, juga susah payah mencari rotan bersama keluarganya.

"Kalau ngumpulin di dalam, ngambil dari batangnya itu sekitar 2 minggu. Dan melansir (mengangkut) keluarnya, seminggu kurang lebih. Itu setiap hari dari pagi sampai sore melansir terus, melansir terus. Yang lebih capek, tanjakannya tinggi-tinggi, sampai pinggang sakit, bahu ga ada rasanya lagi," ujar Beteguh.

Selama tiga minggu berburu, hasilnya bahkan belum cukup untuk melunasi utang ke toke atau tengkulak.

"Rata-rata (pendapatan per orang) Rp200 ribu. (Itu masih dipotong utang?) Iya, karena kalau kita kerja ga ada modal, ga ada makan. Jadi utang dulu baru cari rotan," imbuhnya.

Baca juga: Masyarakat Adat Anggai di Tengah Konsesi Sawit

Orang Rimba tengah mengangkut rotan manau dari hutan. Biasanya pencarian manau memakan waktu berminggu-minggu. (Foto: KBR/Elvi).

Orang Rimba terpaksa meminjam duit ke toke untuk membiayai pencarian rotan.

Sebatang rotan manau dihargai Rp9 ribu. Namun, kondisinya harus mulus, tanpa cacat dengan panjang minimal 3 meter.

Posisi tawar Orang Rimba lemah di hadapan para toke. Harga pun toke yang tentukan

“Kalau dia (toke) bilang, trip depan kita makan modal sendiri, tidak berutang sama dia, harganya Rp10 ribu. Tapi mana yang makan modal toke, tetap itu Rp9 ribu. Itulah tiap trip tetap tekor, jadi tidak bisalah berhenti kerja,” kata pemangku adat Orang Riba, Tengganai Besemen.

Eksploitasi besar-besaran membuat rotan manau langka. Pada 1996, World Conservation Monitoring Centre (WCMC) sudah menetapkan hasil hutan non-kayu ini sebagai jenis tumbuhan yang terancam punah. Padahal nilai ekonominya tinggi karena merupakan bahan utama pembuatan mebel.

Dodo dari Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya LIPI mengatakan, perlu metode khusus untuk mengambil rotan manau agar tetap lestari.

“Rotan manau merupakan rotan tunggal atau tidak berumpun. Apabila ditebang, tanaman tersebut langsung hilang atau mati. Penebangan sebaiknya tidak dibabat habis. Penebangan sebaiknya setelah rotan menghasilkan buah sehingga tumbuh generasi baru,” jelas Dodo.

“Akan lebih baik jika masyarakat melakukan budidaya di kebun, jadi pengambilan rotan tidak lagi di hutan,” imbuhnya.

Baca juga: Jernang, Emas Rimba yang Terancam Punah

Orang Rimba tengah menunggu pembayaran rotan manau yang dijual ke toke (tengkulak). Mereka juga kerap berutang ke toke untuk modal mencari manau. (Foto: KBR/Elvi).

Pada 2006, upaya budidaya pernah diinisiasi LIPI dengan cara menanam kembali ke alam (reintroduksi).

Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi menjadi lokasi reintroduksi 600-an bibit rotan manau.

Namun, hasilnya kurang memuaskan lantaran lokasinya tersebar dan bibitnya berasal dari Kebun Raya Bogor.

Karenanya, muncul gagasan untuk membuka lahan khusus atau demplot sebagai lokasi reintroduksi.

Demplot akan dikelola oleh Orang Rimba, kata Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah 2, Saefullah.

“Coba nanti kami tawarkan di forum pertemuan tumenggung (pimpinan Orang Rimba), tawarkan ke mereka cari lokasi untuk demplot rotan manau,” tutur Saefullah.

Baca juga: Strategi Umbul Ponggok Bangkit di Tengah Pandemi

Pemangku adat Orang Rimba, Tengganai Besemen. (Foto: KBR/Elvi)

Wacana pembentukan koperasi juga mengemuka. Tujuannya agar Orang Rimba lepas dari jerat toke dan lebih sejahtera.

“Supaya dari Orang Rimba untuk Orang Rimba, termasuk orang luar juga yang hasil hutan dari kawasan, jualnya jangan keluar. Harganya juga bisa bersaing,” lanjut Saefullah.

Koperasi bisa menjadi wadah edukasi tentang konservasi rotan. Melalui lembaga ini, pengambilan hasil hutan juga dapat dibatasi untuk mencegah kepunahan.

“Selama ini kan Orang Rimba ngeluarin ya ngeluarin aja, tanpa ada perhitungan kuota dari kita. Memang harus ada sih, tidak hanya rotan, damar juga. Kami lagi inventarisasi sebaran HHBK (hasil hutan bukan kayu). Kalau sudah kami peroleh datanya, bisa kita tetapkan kuotanya berdasarkan kelimpahan yang ada di dalam kawasan,” ungkap Saefullah.

Berbagai rencana ini disambut baik Orang Rimba. Namun, mereka tak ingin nasibnya hanya berhenti sebagai penjual rotan mentah.

“Harapan kami rimba ini kita lindungi untuk selama-lamanya, sampai ke cucu kami. Kalau pemerintah kasihan sama kami Orang Rimba, bagaimana tata kelola kerajinan rotan. Jadi, jangan kami hanya tahu sejak jaman nenek moyang bikin ambung (keranjang) saja,” kata pemangku adat Orang Rimba, Tengganai Besemen.

Ini merupakan karya hasil fellowship biodiversitas SISJ-EJN 2022.

Penulis: Elvidayanty Darkasih

Editor: Ninik Yuniati