SAGA

[SAGA] Warga Ahmadiyah Manislor Menuntut Identitas

[SAGA] Warga Ahmadiyah Manislor Menuntut Identitas

KBR, Jakarta - Wajah Nuni Rohmatunisa terlihat kesal begitu keluar dari ruang pertemuan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Tangannya mengepal lemas. Hari itu, ia dan belasan kawannya gagal menemui orang yang dicari; Zudan Arif –Dirjen Kependudukan di Kementerian Dalam Negeri. Dari informasi bawahannya, Zudan rupanya tengah bersafari ke daerah-daerah untuk menyosialisasikan e-KTP.

Padahal Nuni hendak mengadukan nasibnya juga ribuan orang lainnya yang tinggal di Desa Manislor, Kuningan, Jawa Barat. Dimana, selama lima tahun terakhir mereka hidup tanpa kartu identitas. Sedang perekaman data sudah dilakukan sejak lama. Tapi sampai detik ini, KTP itu tak kunjung diterima. Nuni, menyebut penyebabnya karena kepercayaan yang mereka anut sebagai Ahmadiyah.


“Waktu saya pergi ke Disdukcapil, dipanggil petugas di loket. Pertanyaan pertama, 'Kamu Ahmadiyah bukan?' Saya pikir, kenapa pertanyaan itu datang? Saya sama papa saya disuruh baca dua kalimat syahadat,” tutur Nuni pada KBR.


Desa Manislor di Kuningan, Jawa Barat, ditinggali sekitar 1.300 warga Ahmadiyah. Dan, pada 2012 mereka melakukan perekaman data kependudukan untuk dibuatkan e-KTP. Berbulan-bulan, hingga ertahun-tahun KTP elektronik itu tak pernah diberi dengan alasan blanko habis.


Mereka yang menuntut kartu identitas malah disodori selembar formulir oleh Dinas Dukcapil. Isinya pernyataan beriman kepada Islam dan kesiapan dibina. Tapi warga menolak tandatangan. Sampai pada Maret 2015, Bupati Kuningan meminta saran Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Kuningan tentang pencatuman kolom agama bagi warga Ahmadiyah. Jawaban MUI bisa ditebak, lembaga ini menolak jika dicantumkan agama Islam.


Tak adanya kartu identitas, membuat kehidupan warga Ahmadiyah Manislor, serba sulit. Nuni misalnya. Beberapa bulan lalu, dia batal mendaftar ke Politeknik Ilmu Pelayaran karena salah satu syarat pendaftaran harus mencantumkan fotokopi e-KTP. Sementara selembar kertas berisi keterangan domisili yang diberikan Dinas Dukcapil Kuningan, tak mempan.  


“E-ktp itu kan identitas warga Indonesia. Jadi kalau saya nggak dapat, saya merasa dipertanyakan status kewarganegaraannya. Saya warga negara mana dong?” sambung Nuni.


Kerumitan administrasi juga menimbulkan trauma bagi Hardiyanto. Dua tahun lau, ia gagal mengurus BPJS untuk anak perempuannya yang berusia sebulan. Padahal, anaknya membutuhkan pertolongan segera karena mengalami pendarahan di otak.


“Dulu menikah numpang di Jakarta. Waktu mau bikin BPJS katanya Yanto sudah bukan orang Kuningan lagi. Datanya sudah nggak ada. Tapi saat dicek di Jakarta juga enggak ada,” ujar Hardiyanto.


BPJS anak Hardiyanto, baru bisa dikeluarkan setelah sang bocah dimasukkan ke kartu keluarga orangtuanya. Namun semua itu terlambat… anaknya meninggal.


Korban lain, Lika. Dia tak sampai mengerti dengan sikap pemda. Lika bercerita, tahun lalu ketika ada stan pencetakan e-KTP massal –yang dibuka untuk memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kuningan, petugasnya terang-terangan menolak Lika.


“Dikatakan stan disdukcapil melayani semua warga yang ingin rekam dan cetak, tanpa terkecuali. Saya datang ke sana dengan harapan besar. Ternyata sampai di sana untuk warga Manislor tidak boleh katanya silakan datang ke kantor. Saya sudah ke kantor lima kali bolak-balik,” ungkap Lika.


Ketiadaan kartu identitas, berdampak pada sempitnya ruang geraknya. Suatu kali, ia pergi dengan ayahnya menggunakan kereta api. Tapi, saat di konter masuk, surat keterangan domisili yang diberikan Dinas Dukcapil Kuningan, ditolak.


Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Kuningan, mengklaim apa yang mereka lakukan demi menjaga keamanan warga Ahmadiyah Manislor. Kepalanya, Zulfikar, mengaku ada banyak tekanan dari sejumlah ormas Islam –yang memaksa mereka tak mencantumkan agama Islam di KTP warga Ahamdiyah.


“Fatwa MUI memang bukan dasar hukum tapi itu jadi patokan terutama oleh tokoh-tokoh garis keras. Yang dikhawatirkan terjadi kerusuhgan lagi seperti tahun 2012,” dalih Zulfikar.


Dan memang, Desa Manislor menyimpan sejarah kelam. Pada Juli 201o silam, terjadi penyerangan terhadap warga Ahmadiyah. Dimana massa menyerang dan merusak pemukiman warga dengan batu. Akibatnya, satu masjid dan tujuh mushala milik Ahmadiyah disegel.


Tak mau kejadian serupa berulang, Zulfikar, meminta mereka menyetujui pernyataan tertulis yang isinya menyatakan beriman kepada Islam dengan dua kalimat syahadat dan siap untuk dibina.


“Kalau mereka muslim, mau nggak ngucapin syahadat di depan kami? Kita nggak tuntut aqidah kami hanya tuntut pernyataan tertulis. Aqidah hati masing-masing kita nggak bisa intervensi hanya pernyataan tertulis untuk counter fatwa MUI,” sambung Zulfikar.


Akan tetapi, Lika dan warga lainnya tidak bisa menerima syarat tersebut. “Kita nggak mau dong. Kalau ini diberlakukan untuk semua yang ingin mengisi kolom agamanya dengan islam, oke,” tegas Lika.


Tahun-tahun berlalu, warga Manislor tidak tahu sampai kapan identitas mereka dijamin hanya dengan selembar kertas.





Editor: Quinawaty 

  • ahmadiyah manislor
  • kuningan
  • Nuni Rohmatunisa
  • KTP warga ahmadiyah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!