SAGA

[SAGA] Ahmad Zaini: Kalau Cuti Hanya 2 Hari, Bayi Belum Lahir Kita Sudah Harus Kerja

[SAGA] Ahmad Zaini: Kalau Cuti Hanya 2 Hari, Bayi Belum Lahir Kita Sudah Harus Kerja



KBR, Jakarta - Di ruang keluarga rumahnya, Ahmad Zaini sedang mengasuh dua anak laki-lakinya berusia tujuh dan empat tahun. Sementara istrinya menemani si bungsu yang berusia setahun.

Pekerja di bidang periklanan ini adalah salah satu penggagas cuti ayah untuk kelahiran anak di situs Change.org. Kata dia, kehadiran ayah sangat vital dalam perkembangan anak –termasuk sejak kelahiran si bayi.


“Kalau Sabtu gini ya disempet-sempetin main sama anak-anak. Kalau hari biasa mereka sudah pada tidur,” ucapnya sembari bermain bersama sang anak.


Dalam petisinya, dia meminta cuti ayah hingga dua pekan lebih panjang dari aturan saat ini; dua hari. “Saat jadi ayah, ritme hidup, jam tidur, adaptasinya di dua minggu pertama. Bayi lagi rewel-rewelnya kan ya dua minggu itu. Kita bisa gantian dengan istri kalau misalnya bayi tengah malam bangun dan perlu gendong.”


Kata pria berkacamata ini, cuti dua hari tidak memenuhi kebutuhan ayah –semisal mengurus berbagai administrasi seperti biaya rumah sakit, akta kelahiran, hingga asuransi.


Bahkan dari pengalaman sesama suami, dua hari tak cukup untuk menunggu kelahiran si bayi.


“Cuti dua hari tuh dari pengalaman saya, dari bukaan satu sampai bukaan empat. Belum selesai. Sudah mules-mules, dibawa ke rumah sakit sampai di sana belum lahir. Kalau cutinya hanya dua hari, bayinya belum lahir kita sudah harus kerja lagi. Belum lagi kalau caesar pemulihannya butuh lebih lama,” kenang Andro sambil tertawa.


Sementara istrinya, Windy Virgawati mengatakan, saat melahirkan ia begitu membutuhkan sang suami. Apalagi ketika si jabang bayi di rumah, ia pernah mengalami baby blues.


“Karena pengalaman melahirkan dua anak secara normal, memang berharga, buat kami sangat membantu. Dengan kehadiran suami, yang dia benar-benar mengasuh juga membantu kita ganti popok segala macam, membantu banget ya,” ucap Windy.


Dalam catatan Yayasan Kita dan Buah Hati, Indonesia termasuk fatherless country; negara yang kurang peran ayah dalam pengasuhan anak. Kesimpulan ini diambil dari penelitian pada 2008-2010.


Penelitian dari Brazil dan Amerika Serikat juga menunjukkan ayah yang tidak mengasuh anaknya lebih rentan melakukan kekerasan terhadap anak. Sebaliknya, kehadiran ayah sangat mendukung perkembangan anak, seperti dikatakan Farahdiba Tenrilemba dari Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI).


“Tanpa banyak disadari, para ayah juga memerlukan cuti itu bukan hanya untuk menemani istrinya pasca melahirkan, tetapi juga untuk mendapat ikatan dengan anaknya. Jadi keuntungannya banyak sekali. Bukan hanya untuk si ayah, tapi semua keluarga juga sangat diuntungkan. Ibu juga bisa berbagi letih pasca melahirkan,” jelasnya.


Sejumlah negara telah lama memberlakukan cuti ayah. Negara seperti Australia, Islandia, dan Jepang, masing-masing mengizinkan ayah cuti dibayar selama dua bulan, empat bulan, dan satu tahun. Negara Afrika barat seperti Kamerun dan Chad memberikan cuti 10 hari. Hasilnya? Tiga negara itu termasuk rendah tingkat kekerasan pada anak.


Kembali ke keluarga Ahmad. Dia mendorong pemerintah menerbitkan peraturan cuti ayah. Supaya perusahaan nakal bisa dihukum.


“Sepertinya tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk memberi hak cuti itu. Belum ada peraturan khususnya. Itulah kenapa kami minta peraturan khusus cuti ayah.”


Dua pekan lalu, petisi ini sempat dicibir oleh anggota DPR. Anggota Komisi IX yang membidangi ketenagakerjaan, Irgan Chairul Mahfidz, mengatakan cuti ayah mengurangi produktivitas.


Namun Ahmad tak patah arang. Dia bersama Change.org sedang berupaya bertemu Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri untuk menyampaikan permintaan langsung. Kata dia, ini semua demi generasi yang akan datang.





Editor: Quinawaty

  • cuti ayah
  • change.org
  • Ahmad Zaini
  • cuti ayah untuk kelahiran anak

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!