KBR68H - Pekan Raya Jakarta baru saja usai ditutup akhir pekan lalu. Pameran multiproduk tahunan yang menyedot lebih dari 4 juta pengunjung tersebut diselenggarakan bertepatan dengan momentum hari ulang tahun Jakarta. Namun Gubernur DKI Jakarta Jokowi dan sebagian kalangan mengkritik konsep pelaksaanaan PRJ jauh dari ide awalnya sebagai pesta untuk rakyat. Konsep PRJ saat ini dinilai lebih mengedepankan kepentingan bisnis. KBR68H sempat berbaur bersama pengunjung mendengar harapan mereka.
Pekan Raya Jakarta (PRJ) atau Jakarta Fair adalah pameran tahunan terbesar di Indonesia. Walaupun dinamai "pekan", biasanya berlangsung selama satu bulan penuh dari pertengahan Juni sampai pertengahan Juli untuk memperingati hari jadi kota Jakarta. PRJ pertama diadakan pada 1968 yang diselenggarakan di Taman Monumen Nasional.
Acara ini terbuka untuk seluruh orang. Namun untuk menikmati dan membeli aneka produk yang dipamerkan harus menyiapkan kocek untuk membayar tiket masuk.
Salah satu pengunjung PRJ, Iin Solekartini mengaku menyediakan dana satu juta rupiah untuk berkunjung bersama keluarganya. “Ke sini berlima. Gimana yah sebenarnya dari segi (harga tiket masuk-red) lumayan mahal yah. Sekarang tiketnya udah berapa. Belum parkir udah berapa. Lumayan sih bagi kelas kita- kita menengah ke bawah,” katanya.
Warga Tangerang, Banten ini harus mengantri bersama ribuan pengunjung lainnya untuk membeli tiket masuk seharga Rp 25.000 per orang. Iin datang bersama suami dan tiga orang anaknya. Itu artinya ia merogoh kocek sebesar RP 125.000 rupiah.
Tak hanya Iin yang mengeluh, pengunjung PRJ lainnya Yuvita ikut bersuara. “Kemahalan. Naek ya lima ribu dari tahun kemarin. Hiburan di Jakarta mahal. Fasilitas sama. Gak ada yang berubah hanya naik saja. Harusnya lebih. “
Selain karcis, pengunjung yang membawa kendaraan harus menyisihkan uang untuk biaya parkir sebesar Rp 10 ribu untuk sepeda motor dan Rp 20 ribu untuk mobil. Selain itu juga, untuk tahun ini, PT JI Expo—selaku penyelenggara PRJ— juga menyediakan beragam wahana permainan anak. Anak-anak Iin pun ikut mencoba ragam wahana permainan yang tiketnya dibanderol mulai dari Rp 15.000 hingga Rp 20.000. Kembali ke Iin. “Anak-anak mainan udah abis aja uang kayanya. Soal ini maen gak berhenti. Saya habis satu juta kata ayahnya udah tinggal cepe (Rp 100 ribu-red). Sudah kita pulang dulu. Karpet belum dapet tapi jajan mulu,” akunya.
Ragam produk dipamerkan sekitar 2 ribuan stand. Mulai dari barang elektronik, pakaian, makanan, minuman, otomotif dan lain-lain. Para pengelola stand tersebut mesti membayar harga sewa lahan mulai dari Rp 1,5 juta sampai 2,5 juta rupiah.
Ironisnya, nyaris tak ditemukan produk-produk tradisional khas Betawi. Tak aneh jika ada yang mengkritik penyelenggaran PRJ sekadar ajang mencari keuntungan, seperti disampaikan salah satu pengunjung, Abi Syah Ramadhan. “PRJ itu bukan ajang seperti ini. PRJ ini ajang orang-orang berbisnis. Harusnya PRJ ini ulang tahun Jakarta. Harusnya yang dibudayakan itu budaya Jakarta. Khususnya budaya betawi dong. Ini ajang bisnis semua ini. Ini ajang pengusaha nyari duit semua ini. Coba rakyat menengah ke bawah gak bisa masuk ke sini. Orang biasa kita ngerti dompetnya paling Rp 300.000 kan. Tiga ratus ribu habis buat parker saja . Buat beli kerak telor aja belum dapat,” katanya.
Layaknya pesta hiburan untuk warga ibukota, seharusnya kata Abi penyelenggara PRJ lebih mengenalkan hasil karya khas kebudayaan lokal Betawi atau kebudayaan daerah lainnya.
Menurut Abi setelah berkeliling di arena PRJ, tidak satu pun ditemukan hasil kerajinan tangan yang dibuat masyarakat Betawi. Kata dia, baru masuk ke PRJ sudah disuguhkan dagangan aneka produk para penjual yang berdandan menor dan berpenampilan seksi. “Ini yang nyisa kebudayaan Betawi cuma kerak telor aja. Ini udah muter-muter gak ada kebudayaan lokal. Ada Ondel-ondel aja di pangung. Ini kan moment ulang tahun Jakarta. bukan moment ulang tahun pengusaha,” keluhnya.
Apa yang dikeluhkan Abi diamini Sejarawan Betawi, JJ Rizal. Dia menilai, PRJ yang diselenggarakan saat ini sudah melenceng dari ide awalnya. “Pekan Raya Jakarta sendiri sudah melenceng dalam artian asal muasal ketika mulai diadakan oleh Bang Ali pada tahun 1968. Inspirasi Bang Ali sendiri mengadakan kalau dulu Jakarta Fair itu sebenarnya penolakan dari pekan industri. Dia lihat waktu itu diadakan rutin di Jakarta tapi hanya memamerkan pencapaian mengimpor barang-barang asing dan kemudian memperkenalkannya di Ibukota. Jadi seolah-seolah kosmopolitanisme identik dengan sikap”
Oleh sebabnya tahun depan kata Rizal konsep PRJ harus dikembalikan sebagai pesta rakyat yang murah-meriah.
Menanti Pesta Rakyat Jakarta
Ironisnya, nyaris tak ditemukan produk-produk tradisional khas Betawi. Tak aneh jika ada yang mengkritik penyelenggaran PRJ sekadar ajang mencari keuntungan

Senin, 15 Jul 2013 16:23 WIB


PRJ, JI Expo, Kemayoran, Lapangan Monas, Jokowi
Kirim pesan ke kami
WhatsappBerita Terkait
BERITA LAINNYA - SAGA
Ateis di Era KUHP Baru: Dulu Rentan, Sekarang Lebih Rentan (Bagian 2)
Pasal-pasal karet bisa menjerat ateis dan kelompok rentan lain
Ateis di Era KUHP Baru: Dulu Rentan, Sekarang Lebih Rentan (Bagian 1)
Realita hidup ateis di negeri agamais
Inbis Permata Bunda, Wadah Difabel Mandiri Berkarya
Upaya memberi ruang kesetaraan bagi difabel
Panjebar Semangat: Kisah Media Lokal Bertahan Lewati Krisis
Majalah lokal tetap eksis di tengah krisis dari masa ke masa
Potret Media Alternatif di Tengah Ancaman KUHP Baru (Bagian 2)
Startegi media alternatif menghindari ancaman jerat KUHP baru
Potret Media Alternatif di Tengah Ancaman KUHP Baru (Bagian 1)
Media alternatif minim perlindungan
Solusi Palsu Penanganan Sampah Perkotaan
Penanganan sampah dengan teknologi RDF berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan
Dilema Perajin Tahu di Sidoarjo Tinggalkan Sampah Plastik
Pembakaran sampah plastik membahayakan kesehatan dan lingkungan
Jalan Terjal Desa di Bali Kelola Sampah Berbasis Sumber
Tantangan pengelolaan sampah berkelanjutan
Recent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 20
Kabar Baru Jam 7
Kabar Baru Jam 8
Kabar Baru Jam 7
Kabar Baru Jam 8
Most Popular / Trending