Kelompok Solawat Metal (Solmet) sedang latihan musik di Pondok Pesantren Metal Tobat Sunan Kalijaga. Foto: Muhammad Ridlo/KBR.

SAGA

Ketika Berandalan dan Pemadat Bertobat di Ponpes Sunan Kalijaga

Senin 19 Jun 2017, 14.50 WIB

KBR, Cilacap - Di Kecamatan Gandrungmangu, Cilacap, Jawa Tengah, ada satu pesantren yang tak biasa. Namanya Pondok Pesantren Metal Tobat Sunan Kalijaga. Seperti namanya, pesantren ini berisi anak-anak penyuka musik metal. 

Ketika saya kesana, seorang santri berusia 19 tahun menyambut. Tapi, pertemuan kami tak berjalan mulus. Sebab apa yang saya tanyakan tak dijawabnya. Ia pun tampak terbata-bata dan kemudian memanggil Lurah Pondok –sebutan untuk Ketua Pengurus Pondok. 

Pesantren ini, pernah saya kunjungi empat tahun silam atau pada 2013. Tapi, kala itu, hanya ada dua bangunan utama; aula dan asrama putra-putri. Namun sekarang? Sejumlah bangunan baru berdiri. 

Seorang santri lantas menghampiri saya. Namanya Rio Nurdiyanto, Lurah Pondok. Saya lalu diajak ke kamar Lurah Pondok yang berada di lantai dua asrama putra. Di kamar itu, seorang santri berkaos oblong tanpa lengan sedang bermuthola’ah alias membaca kitab klasik kusing. Sementara tangannya memegang telepon genggam. Si santri menyandarkan tubuhnya ke lemari kayu yang terpasang poster Bob Marley. 

Kata Nurdiyanto, para penghuni pesantren beragam. Mulai dari anak metal, orang dengan gangguan kejiwaan, hingga anak jalanan. “Di sini ada yang rehabilitasi narkoba, rehabilitasi temperamental, orang gila semuanya digarap. Anak jalan juga. Kalau anak jalanan sekarang ada 18 anak,” ujar Rio Nurdiyanto. 

Rio –begitu ia dipanggil, bercerita saat ini ada 450-an santri yang tinggal di asrama. Sementara puluhan santri kalong datang dan pergi saban pagi dan sore dari kampung atau desa sekitar. Santri kalong adalah sebutan untuk santri yang belajar namun tak tinggal di komplek pesantren.

Di pondok ini, Rio diminta mengisi kajian keagamaan di berbagai tempat. Katanya, ia kerap mengisi kajian Islam secara rutin. Misal di radio, sekolah umum, dan mushala. “Rutin kajian di luar. Seperti saya, Jumat mengisi di Radio Kusuma, Jumat pekan terakhir tiap bulan mengisi di SMP N 1 Bantarsari. Kemudian mengisi di mushola-mushola,” jelasnya. 

Adalah Kyai Haji Soleh Aly Mahbub, pendiri Pondok Pesantren Metal Tobat. Abah Soleh –begitu ia disapa, bercerita nama pesantren itu berasal dari warga sekitar.  

Usia Abah Soleh masih terhitung muda, 46 tahun. Dia suka memakai kaos oblong atau berkerah. Kala tak mengimami shalat, biasanya dia hanya berkemeja. Kadang, kyai nyentrik ini masih mengenakan celana jins. 

Pria kelahiran 1970 ini sempat menuntut ilmu di Pondok Pesantren Langgar Wali Sunan Kalijogo, Desa Kadilangu Wonosalam, Demak –yang diasuh Kyai Raden Masruhan Dahlan. Oleh sang kyai, dirinya ditugaskan mendirikan pesantren di Gandrungmangu, Cilacap. 

Tapi, ia ingin pesantren yang didirikan bisa dihuni siapapun dari kalangan manapun. Tak peduli berasal dari kelangan baik-baik atau berandal asalkan ingin bertobat. Dasar itulah, yang belakangan dijadikan kurikulum belajar. Dia lantas mendekati anak jalanan, anak punk, preman, hingga pemabuk.

Sebanyak 17 orang, berhasil ia rangkul. Ketika itu, ia hendak mendirikan pesantren di atas tanah wakaf. Tapi, oleh si pemilik tanah, diprotes karena tak terima dengan para santri yang berasal dari pasar dan Stasiun Tua Gandrungmangu. Rombongan santri dan Abah Soleh akhirnya diusir.  

“Ya karena yang mondok itu pencandu narkoba akhirnya yang punya tanah wakaf tidak cocok. Makanya tanah itu diambil kembali. Saya dianggap gerombolan pemabok. Saya diusir dari tempat itu,” ungkapnya.

Hingga pada tahun 2000, rombongan santri dan Abah Soleh pindah ke tanah yang dimiliki Mbah Sayad. Di tempat ini, mereka menumpang. Namun karena tak nyaman terus menumpang, mereka bertekad memiliki tanah sendiri. Hanya saja terkendala dana. Sementara, seluruh santri pengangguran –bukan karena tak mau kerja, tapi tak ada seorang pun yang mau mempekerjakan mereka.

Dengan modal nekat, baju santri yang mereka kenakan diganti dengan kaos, celana jins belel. Beraksi lah mereka di jalanan; meminta sumbangan dari pelintas. Tujuannya untuk membeli tanah. Kata Abah Soleh, cara meminta sumbangan itu pun agak memaksa alias dipalak.  

Sepekan pertama, terkumpul Rp1,3 juta. Duit itu dipakai untuk membayar uang muka tanah seluas 30-an ubin yang disepakati seharga Rp21 juta. Sepanjang 2000-2001, ada 17 santri dibantu beberapa pemuda setempat dan santri cilik meminta sedekah di pinggir jalan yang menghubungkan Sidareja dengan Kota Cilacap. 

Dan itu, dilakukan setahun penuh hingga cukup untuk membeli tanah, sekaligus membangun kombong atau asrama merangkap ruang mengaji dan aula.  

Kyai Soleh Mahbub, Pengasuh Pondok Pesantren Metal Tobat Sunan Kalijaga. Foto: Muhammad Ridlo/KBR.

Lelaki bertato di punggung ini adalah salah satu santri yang dalam proses rehabilitasi dari kecanduan narkoba dan gangguan jiwa. Dia, pertama kali masuk ke pesantren pada 2014 silam atas saran seorang kawan. Mulanya ia hanya bengong saja karena tak tahu harus melakukan apa. Satu-satunya hal yang bisa menghiburnya adalah musik. 

“Dulu itu disuruh betah. Perlahan demi perlahan, baru hilang,” katanya. 

Kata Rudiarto, di sini ada satu santri bekas bandar besar sabu yang berasal dari Palembang. Si santri juga dalam proses rehabilitasi. Sayang, hari itu saya kurang beruntung untuk bertemu dengannya. 

Kelompok Solawat Metal yang dipimpin Rudiarto, itu hari sedang berlatih musik. Sholawatan ala mereka, dipadu musik Reggae dan Metal. Total ada 18 santri yang bergabung. Rudi sebagai keyboardis, tapi belakangan dia gandrug pada biola. 

“Kalau di Solmet ini ada unsur wayang, unsur dakwah, baru unsur kesenian. Tidak full untuk musik semua. Setiap bulan, per bulan kita ada sekitar 10 panggung. Biasanya hajatan-hajatan,” bebernya.

Di komplek Pondok Pesantren, ada belasan gubuk panggung tak beraturan. Gubuk itu disebut uzlah. Uzlah dipakai santri untuk mengasingkan diri atau mendalami ilmu. Di sana, ada juga santri berusia belasan tengah memasak di dapur. Cara memasaknya sederhana; nasi dikukus dalam ketel yang diletakkan di atas tungku terbuat dari bata.

Di uzlah itu, hanya santri senior yang diperbolehkan tinggal. Sementara santri lainnya, harus tinggal di asrama. Meskipun saat ini ada pergeseran makna uzlah, yakni menjadi tempat tinggal para santri yang juga sudah bekerja dan atas seizin sang pengasung pondok. 

Sejak didirikan pada tahun 2000, sudah 22 santri yang khatam Qur’an bil Ghoib atau hafidz. Mereka terdiri dari 19 khafidzoh atau penghafal al quran perempuan dan 3 santri pria.

“Yang sudah khatam sekitar 19 santri putri. Kalau tahun ini ada 11 anak. Sepuluh santri putri dan satu santri putra. Semuanya masih di sini,” ungkap Kyai Soleh.

Pesantren Metal Tobat terlihat mapan dan maju pesat dibanding 17 tahun lalu. Namun masih ada beberapa PR. Dalam tiga tahun ke depan, pesantren ini berencana membangun satu aula utama dan lokal pondok untuk pengembangan. Pasalnya, bangunan yang ada sekarang dirasa tak lagi mencukupi antusiasme masyarakat yang hendak memasukkan anaknya ke sini.

Sementara, 17 santri angkatan pertama telah lulus. Tiga belas di antaranya mengikuti jejak Abah Soleh mendirikan pesantren dan dua lainnya menjadi pengusaha.  

Abah Soleh pun menekankan pada para santrinya, jika suatu saat membuka pondok pesantren mereka harus menampung orang-orang dari beragam golongan dan tak mempermasalahkan latar belakangnya. Sebab, baginya bertobat bisa dilakukan oleh semua manusia, dengan niatan bulat. 

<tr>

	<td class="">Reporter:&nbsp;</td>


	<td>Muhammad Ridlo&nbsp;</td>

</tr>


<tr>

	<td class="current">Editor:&nbsp;</td>


	<td>Quinawaty&nbsp;</td>

</tr>