CERITA

Sepenggal Toleransi di Tanah Minang

"Bentuk toleransi itu antara lain, semisal saat umat Muslim hendak sholat Jum’at, maka para siswa pulang lebih awal. Pun ketika berlangsung Misa di SD Setia maka masjid mengecilkan volume toa."

Sepenggal Toleransi di Tanah Minang
Masjid Nurul Islam berhadapan dengan SD Setia. Foto: Sindu Dharmawan/KBR

KBR, Jakarta - Pagi itu, puluhan siswa kelas VI SD Setia, di Desa Air Tawar, Koto Tengah, Padang, tengah menggelar Perpisahan Sekolah pasca lulus Ujian Nasional.

Keberadaan SD Setia di Tanah Minang, punya sejarah panjang. SD Setia sudah ada sejak 1976, di bawah naungan yayasan Prayoga.


Selain sebagai sekolah, SD Setia juga dipakai untuk tempat ibadah umat Katolik. Ini lantaran ketiadaan gereja. Kalau pun ada, mereka harus ke Gereja Santa Fransiskus Asisi yang letaknya 20 kilometer dari Koto Tengah. 


Kepala sekolah SD Setia, Kristina Sri Yuliati bercerita.


“Makanya dibuat dua kali (Ibadah-red). Malam minggu sudah dapat izin. Malam Minggu diadakan Misa di sini, minta izin juga sama kelurahan. Masalahnya, biasanya enggak ada kegiatan, lalu ada kegiatan. Kami minta izin. Diizinkan baru kami berani,” terang Kristina, sembari mengajak KBR ke lokal yang digunakan sebagai gereja.


Sebelum bisa beribadah seperti sekarang, warga menolak kegiatan jemaat di sekolah. Ketua RW setempat, Yohnison Amir mengatakan, penolakan disebabkan fungsi bangunan tak sesuai IMB.


“Jadi awalnya ini, Yayasan Prayoga yang punya orang kristen. Tapi, di dalam itu berkedok yayasan, digunakan tempat ibadah. Memang sudah lama itu. Gejolak ini sudah lama,” tutur Yohnison.


Penolakan itu tidak sebentar, bahkan sempat akan berujung aksi pembakaran. Beruntung hal itu tak terjadi. Kembali Yohnison Amir bercerita.


“Apakah tempat Anda ini punya izin atau enggak? Agak lama dia jawab. Ada satu yang jawab. ‘Ya, ini maaf pak, memang izin kami enggak ada.’ Jadi dengan adanya kejujuran, dengan adanya kesepakatan, dengan adanya dia membaur dengan masyarakat, di sanalah kita berdiri. Kita datangi masyarakat. Mari kita bersama-sama. Kalau enggak dulu mau dibakar tahun 1974,” sambungnya.


Pertemuan membahas keberadaan gereja di sekolah, berjalan saat kepemimpinan Yayasan Prayoga berganti dengan kepengurusan baru. Pengurus lama yang menurut warga setempat tertutup dan minim komunikasi, mulai membaur. Mereka pun mulai mulai mendatangi tokoh masyarakat, termasuk Ketua RW, Yohnison Amir.


Wakil Ketua Stasi Tabing, Romulus Sitanggang termasuk orang yang menginisiasi upaya itu, beserta beberapa pengurus yayasan, dan tokoh masyarakat setempat. Ia menuturkan bagaimana proses itu terjadi.


“Memang kami lihat di sana yang agak berpengaruh kan RW-nya. Karena kami yakin itu yang menjadi pengaruh di lingkungan situ, jadi kami yang kami dekatkan terus. Selama kami bisa ada waktu luang kami datang ke sana. Dan sekarang kalau ada acara-acara hari besar di gereja kita itu sudah mulai kita berikan surat. Surat informasi, bahwa ada izin keramaian lah, dari mulai RT, RW, sampai lurah. Itu berlangsung sampai sekarang,” jelas Romulus Sitanggang.


Lambat laun toleransi antara kedua pihak mulai berjalan mulus. Kembali Romulus Sitanggang menjelaskan.


“Lalu kalau untuk anak-anak muda di sana, kalau di hari raya besar, kita libatkan, untuk jadi tukang parkir. Itulah dulu yang bisa kami buat untuk membuka diri. Jadi, sekarang berjalan dengan baik hubungan ini. Lalu kalau ada paket-paket sumbangan dari donatur yang ada di gereja sini, kadang dibagi stasi di sana,” ucapnya.


Kerja keras itu kini membuahkan hasil. Sudah hampir dua tahun, toleransi antara jemaat gereja dan warga setempat berlangsung damai dan saling menghargai satu sama lain. Bentuk toleransi itu antara lain, saling mengetahui jadwal kegiatan masing-masing.


Semisal saat umat Muslim hendak sholat Jum’at, maka para siswa pulang lebih awal. Pun ketika berlangsung Misa di SD Setia, maka masjid yang berada tak jauh dari situ, akan mengecilkan volume toa atau bahkan tak menyalakannya.


Keduanya berharap kerukunan ini bisa terjalin selamanya.





Editor: Quinawaty Pasaribu 

  • SD Setia
  • Koto Tengah
  • padang
  • Toleransi
  • petatoleransi_31Sumatera Barat_biru

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!