BERITA

Revisi UU Minerba Tidak Dukung Komitmen Perubahan Iklim

Revisi UU Minerba Tidak Dukung Komitmen Perubahan Iklim

KBR, Jakarta - Beberapa tahun lalu pemerintah Indonesia sudah meneken UU No. 16/2016 tentang pengesahan Paris Agreement.

Dalam UU itu Indonesia menyatakan komitmen untuk mencegah bencana perubahan iklim, baik lewat pengurangan emisi gas rumah kaca dari berbagai sektor maupun dengan memajukan pembangunan berkelanjutan.

Namun, komitmen itu tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh.

Di sektor energi, misalnya. Alih-alih mengurangi penggunaan 'energi kotor', sampai sekarang pemerintah Indonesia malah terus berencana menambah pembangkit listrik batu bara. Padahal, batu bara adalah salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terparah di dunia.

Hal ini pun dikritik oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), organisasi yang giat mempromosikan transisi energi terbarukan.

"Indonesia tidak mempertimbangkan penghentian batu bara, justru berniat untuk memasang pembangkit listrik tenaga batu bara sebesar 6 gigawatt pada 2020 dan menggandakan kapasitasnya pada 2028," ungkap IESR dalam laporan evaluasi komitmen perubahan iklim Indonesia 2019.

"Industri batu bara disubsidi besar-besaran, baik subsidi langsung lewat jaminan pinjaman, pembebasan pajak, royalti dan tarif pajak, maupun subsidi tidak langsung lewat penetapan batas harga batu bara," lanjut mereka.


Artikel Terkait: McKinsey: Krisis Pandemi Covid-19 Serupa dengan Krisis Perubahan Iklim


Industri Batu Bara Diperkuat Lagi dengan Revisi UU Minerba 

Tak hanya lewat subsidi, kini pemerintah Indonesia juga memperkuat lagi industri batu bara lewat rumusan kebijakan nasional, yakni Revisi UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang baru disahkan DPR hari Selasa lalu (12/5/2020).

"Sebanyak 90 persen isi dan komposisi RUU (Minerba) ini hanya mengakomodasi kepentingan pelaku industri batu bara. Penambahan, penghapusan, dan pengubahan pasal hanya berkaitan dengan kewenangan dan pengusahaan perizinan, namun tidak secuil pun mengakomodasi kepentingan dari dampak industri pertambangan dan kepentingan rakyat di daerah tambang, masyarakat adat dan perempuan," kritik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam siaran persnya, Selasa (12/5/2020).

"Isi dan komposisi RUU (Minerba) juga tidak berangkat dari evaluasi atas daya rusak operasi pertambangan dan industri minerba selama ini."

"Tidak ada pasal yang mengatur batasan operasi pertambangan di seluruh tubuh kepulauan yang sudah dipenuhi dengan perizinan, tumpang tindih dengan kawasan pangan, berada di hulu dan daerah aliran sungai, menghancurkan kawasan hutan, dan tumpang tindih dengan kawasan berisiko bencana," kata Walhi.

Sejalan dengan IESR, Walhi menegaskan pemerintah mestinya membuat kebijakan untuk mengurangi pemakaian batu bara demi mencegah bencana perubahan iklim.

Karena masalah ini, Walhi bersama puluhan organisasi lain yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil kini berencana menggugat Revisi UU Minerba lewat uji formil dan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi

Editor: Agus Luqman

  • ruu minerba
  • tambang
  • batu bara
  • perubahan iklim

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!