SAGA

Menulis dan Remisi Literasi

Senin 20 Mei 2019, 17.04 WIB

Di penjara, kehidupan tak melulu berhenti. Para penghuninya bisa tetap belajar hal baru; salah satunya menulis. Jurnalis KBR Ryan Suhendra mengintip hasil dari Kelas Menulis Perempuan yang berlangsung di salah satu penjara di Bandung. Berikut kisahnya dibacakan Nurika Manan.


[AUDIO ENENG MEMBACAKAN SURAT DARI IBUNYA] 

"Neng kesayangan bunda... waktu kita bersama secara fisik memang tidak banyak saat ini, tapi itu tidak berarti apa-apa karena kita akan selalu dekat dalam doa dan dalam hati. Jadi sebenarnya di mana pun bunda, di mana pun Neng berada kita tidak pernah jauh ..."

Ini surat yang ditulis ibu Eneng, bukan nama sebenarnya, dari balik penjara.

Surat tiga halaman ini hadiah ulang tahun ke-14 untuk Eneng, ulang tahun pertama tanpa kehadiran sang ibu.

ENENG: Rasanya tuh ada yang kurang, sesak kehilangan seorang ibu. Pagi-pagi biasanya kan nyiapin sarapan terus kalau misalnya ada PR dibantuin.

[AUDIO LANGKAH KAKI MENUJU LOKASI KELAS MENULIS]

Menulis surat adalah kebiasaan baru ibunya dari balik penjara. Mereka bertukar surat setiap kali Eneng mengunjungi ibunya di penjara.

Sang ibu, juga 24 penghuni lainnya di Lapas Perempuan Sukamiskin, Bandung, belajar menulis lewat Kelas Menulis Perempuan yang digagas Nita Roshita.

[AUDIO KEGIATAN KELAS MENULIS DI LAPAS PEREMPUAN; PESERTA NGOBROL]

NITA ROSHITA: Kita kelasnya sebenarnya tidak ada kaitannya dengan Lapas sih. Kita baru tahu setelah datang tanggal 5, dia (Devi) bilang kita mau bikin kelas perempuan menulis boleh nggak? Wah, kebetulan ada lomba. Jadi, bisa dimulai minggu ini nggak? Ya sudah masuk saja.

Lomba yang dimaksud adalah lomba menulis, langkah awal guliran remisi literasi dari Kementerian Hukum dan HAM.

Idenya, membaca buku bisa diganjar dengan remisi, seperti di Brasil dan Italia. 

Di sana, napi yang baca buku setebal 400 halaman dapat remisi minimal 4 hari. 

Baca 12 buku setahun, bisa dapat remisi hingga 48 hari. 

Penulis sekaligus pengusul remisi literasi, Arswendo Atmowiloto menjelaskan, remisi semacam ini bisa ikut meningkatkan kapasitas mereka. 

ARSWENDO: O, penting bangetlah. Paling nggak mereka dapat remisi, daripada nyogok-nyogok nggak punya duit. (tertawa).

ARSWENDO: Dan lucu-lucu kok mereka ini, ya kalau kita mau menyelami, kalau nggak ya tetap (menganggap mereka) juga sampah. Tapi ya kita cobalah. Ya kita cobalah. Cobalah kamu jangan menyalahkan diri sendiri, cobalah ini kita mau lihat fokus persoalannya bukan di kamu sekarang ini merasa ditolak. Tapi kamu bisa bangkit lagi atau nggak?

Tapi perjalanan menuju remisi literasi masih jauh, kata Direktur Pembinaan Nara Pidana dan Latihan Kerja Produksi Kementerian Hukum dan HAM, Junaidi.

JUNAIDI: Kan Pemerintah menampung aspirasi juga. Kalau banyak, o, ternyata mereka warga binaan yang sekarang ini banyak menulis literasi dan ikut mencerdaskan bangsa, yang mereka memiliki kriteria-kriteria seperti ini bisa dikatakan berjasa kepada negara, perlu diberikan penghargaan. Regulasinya belum ada.

[AUDIO PESERTA KELAS MENULIS SEDANG TANYA-JAWAB]

Sementara itu, dari balik jeruji penjara Lapas Perempuan Sukamiskin Bandung, para napi perempuan terus berproses, terus menulis di Kelas Menulis Perempuan. 

NITA ROSHITA: Kalau hasil hari ini, itu tentang metamorfosa. Itu tentang bagaimana kawan-kawan melihat dirinya sendiri. Apakah masih di tahap ulat, kepompong, atau sudah menjadi kupu-kupu. Jadi, lebih banyak refleksi.

Ini hasil karya Zakiyah, napi kasus narkoba.

[AUDIO ZAKIYAH BACAKAN PUISI KARYANYA: Kupu-kupu Kertas di Balik Jeruji]

"Proses hidupku saat ini adalah seekor kupu-kupu yang sehat. Aku ada di dalam kurungan pembatasan hak, pemenjaraan diri, tapi aku sedang berkarya sangat positif dan hebat bagi bangsa & negeriku. Aku mengumpulkan mozaik problem besar sisi kehidupan berbangsa bernegara yakni seputar dunia hukum."

	<td>:</td>

	<td>Ryan Suhendra&nbsp;</td>
</tr>

<tr>
	<td>&nbsp;Editor</td>

	<td>:</td>

	<td>Citra Dyah Prastuti&nbsp;</td>
</tr>
Reporter