Hidup Usasi Teror

SAGA

[SERIAL] EPISODE 5: Luka

Senin 13 Mei 2019, 15.21 WIB

Hidup Usai Teror

Terorisme membawa luka. Itu jelas. Luka kepada warga tak berdosa yang menjadi korban. Juga luka pada keluarga korban pelaku teror yang ditinggalkan.

Termasuk, anak para pelaku aksi terorisme.

Mereka yang hidup, tumbuh serta beberapa diajak orangtua mereka yang jadi pelaku aksi terorisme. Mereka adalah korban. 

KBR menyajikan serial khusus menyoroti anak-anak yang jadi korban terorisme. Demi melindungi para bocah, identitas mereka kami samarkan.

Ikuti Serial "Hidup Usai Teror" episode ke-5: Luka.


PERINGATAN! Seri liputan ini memuat konten yang boleh jadi mengganggu bagi sebagian orang. 

Hidup Usasi Teror

Hidup Usai Teror

Sehari sebelumnya.

Gendis tahu bapaknya pergi ke rumah sang paman untuk membikin bom.

Betul, untuk bikin bom. Bukan sekadar berkunjung. 

Tapi rakitan itu keburu meledak sebelum dipakai. 

Paman, tante, dan satu sepupu Gendis tewas. Sementara ayah Gendis mati ditembak polisi. 

Sejak itu, Gendis, dua adik dan dua sepupunya tinggal di sini - di rumah perlindungan milik negara.

SRI WAHYUNI: Sehari-harinya ngapain?

GENDIS: Sekolah, terus diajak main, sudah itu… 

SRI WAHYUNI: Emang main apa selain sekolah?

GENDIS: Main badminton, kadang main kejar-kejaran.. 

Berhari-hari selama sebulan, Gendis merasa didatangi anggota keluarganya yang sudah meninggal. 

Sri Wahyuni, pendamping Gendis. 

SRI WAHYUNI:  Halusinasinya tinggi. Jadi habis ketemu dengan yang meninggal itu, termasuk yang orangtua lain yang meninggal duluan, itu didatengin, lalu diajak ngobrol: lanjutkan jihadnya dan segala macam. Tapi itu hanya halusinasi. Katanya dia didatanginya pas di ruang makan. Itu sebulan pertama, setelahnya tidak.

Di rumah ini ada 10 anak lainnya seperti Gendis--korban jaringan terorisme. 

Tahun lalu, ada 80-an anak untuk kasus serupa. Plus 100an anak dari kasus lainnya seperti kekerasan, korban kejahatan seksual sampai perdagangan manusia.

REPORTER: Selasa 15 Januari 2019, ini kedatangan ke-empat, di salah satu rumah perlindungan di Jakarta. Sebelum masuk sini harus lapor dan menyerahkan kartu identitas, tidak sembarang orang bisa masuk sini. Pengamanannya ketat, ada dua lapis pengamanan. Saya akan ke sekolah, di mana anak-anak korban terorisme mendapat pendidikan.

Sebelumnya mereka sama sekali tidak sekolah.

Kini mereka punya rutinitas sekolah.

Senin sampai Kamis sekolah, Jumat olahraga, kerja bakti atau kelas keterampilan. 

Sabtu Minggu, libur. 

Sepintas, anak-anak korban terorisme seperti Gendis, tampak seperti anak-anak lainnya - ikut kegiatan, olahraga, lari-larian.

SRI WAHYUNI: Kegiatan apa yang paling favorit?

GENDIS: Main sama Tante Sustri

SRI WAHYUNI: Mainan apa?

GENDIS: Mainan lego, mainan pasir-pasiran. Aku pernah bikin peternakan sapi sama kuda..

SRI WAHYUNI: Apa pengen ternak sapi ama kuda?

GENDIS: Enggak, itu cuma terinspirasi aja..

Tapi sesungguhnya mereka memendam trauma tinggi.

Psikolog Sustriana Saragih adalah pendamping dari lembaga C-SAVE. 

SUSTRIANA: Kami menemukan beberapa symptom trauma. Aku sampai sekarang masih merinding. Karena anak-anak itu melihat langsung orangtuanya terbakar-gosong, orangtuanya meledak di depannya. Jadi ini, adalah peristiwa yang sangat traumatis bagi anak, dan beberapa anak memiliki symptom trauma yang lebih tinggi dibanding anak lainnya.

Kalau Gendis berhalusinasi, sepupunya, Vanila, lain lagi, kata pendamping Sri Wahyuni.

SRI WAHYUNI: (Dia) Tidak bisa tidur, terngiang-ngiang. Karena dia melihat langsung kejadiannya di depan mata dia. Jadi gelisah lah, tidak bisa tidur nyenyak.

Orangtua Gendis dan Vanila, satu keluarga besar. Mereka terafiliasi dengan Jaringan Ansharut Daulah (JAD). Aman Abdurahman, yang disebut-sebut jadi inisiator organisasi tersebut kini mendekam di penjara.

Ia divonis mati lantaran terbukti terlibat pelbagai aksi terorisme.

SRI WAHYUNI: sekolah itu seperti apa sih?

VANILA: Ya belajar… terus istirahat main sama teman

SRI WAHYUNI: Suka sekolah?

VANILA: Suka

SRI WAHYUNI: Apa yang bikin suka?

VANILA: Ketemu sama teman..

Vanila usianya baru 12 tahun. Ia irit bicara. Kalaupun mau menjawab, suaranya lirih.

SRI WAHYUNI: Kan di sekolah banyak mata pelajaran, yang paling disuka apa?

VANILA: Agama

SRI WAHYUNI: Kenapa itu jadi mata pelajaran kesukaan?

VANILA: Suka aja..

Paha kirinya luka akibat serpihan bom bikinan sang bapak. 

Menyaksikan orangtua dan kakak perempuannya meledak di depan matanya. 

Dan harus menanggung ingatan itu. Selamanya. 

SRI WAHYUNI: Uhh.. dia pas nulis itu sambil …. diam, meneteskan air mata enggak, ini enggak… makanya dia saya kasih kertas saja saya minta nulis.. ini nggak bisa wawancara nih, pikir saya.

Tangan Vanila beberapa kali berhenti menggoreskan pensil. Sesaat matanya memejam. Tak jarang ia meringis, sebelum lanjut menulis.

Bocah itu terpaksa mengingat detail kejadian yang tak menyenangkan. Tentang kejadian teror itu. 

Membacanya saja… saya beberapa kali menelan ludah. 

Hari itu Ahad malam, setelah menyantap mi instan bikinan ibu, Vanila dan adik lelakinya berangkat tidur.

Ia ingat, sebelumnya melihat sang ayah memeriksa rompi-rompi. Ia tetap beranjak ke kasur.

Belum juga lelap, suara ledakan tiba mengagetkan.

Saat matanya membuka, ia menyaksikan ayah, ibu dan kakak sulungnya bersimbah darah.

SUSTRI: Peristiwa traumatis menyaksikan orangtua meledak itu, maka efek yang didapat anak itu efeknya ke perasaan: takut, shock, sedih. Perasaan ini timbul dari hasil rekaman anak, rekaman karena dia menyaksikan maka ada memori itu di otaknya.

Dan itu mengendap di ingatan. 

SUSTRI: Anak sekecil itu yang harusnya menyaksikan hal-hal yang menyenangkan dan bahagia, kemudian dengan terpaksa mesti menyaksikan orangtua meledak. Di masa dia yang seharusnya senang-senang, kemudian harus kehilangan orangtua.

Sedikitnya butuh 6 bulan intensif untuk memulihkan trauma. 

SUSTRI: Kalau ditanya tentang peristiwa teror: oh iya itu sudah terjadi, tapi tidak akan menyakiti aku lagi, itu semua sudah berlalu, sudah lewat, tapi efeknya sekarang aku  bisa bermain, aku bisa senang-senang. Jadi membantu memaknai ulang pengalamannya.

Setelah itu, doktrin kekerasan yang ditanamkan orangtua mereka juga harus dikikis. 

SUSTRI: Jadi kalau ditanya, apakah anak trauma? Iya. Apakah ideologinya masih kenceng? Iya.

SUSTRI: Kalau saya lihat anak-anak ini, enam dari tujuh anak berkomitmen untuk melakukan aksi terorisme. Kalau ditanya, apakah ikut ngebom? mau. Apakah siap mati? Siap. Kalau sekarang diajak ngebom? Mau.

Langkah-langkah pemulihan trauma diharapkan bisa membantu anak-anak ini memutuskan …. 

Tetap radikal, atau memilih jalannya sendiri. 

SUSTRI: Beberapa anak kita ada yang saat bermain itu, isinya agresif semua, peperangan peperangan peperangan peperangan. Tapi setelah beberapa sesi, akhirnya agen-agen yang berperang itu bisa hidup dengan damai. Kan ini satu kali dalam seminggu. Itu (agen berdamai) terjadi setelah pertemuan yang ke berapa puluh lah, baru ketemu outcome seperti itu.

Anak-anak itu menyimpan harapan.

SRI WAHYUNI: Cita-cita kamu apa?

VANILA: Mau jadi ustadzah

SRI WAHYUNI: Apa yang menginspirasi?

VANILA: Pengen ngajarin ngaji

SRI WAHYUNI: Ada yang mau disampaikan ke Bu Yuni?

VANILA: Ada… eng, kalau saya sudah nggak di sini, ibu harus jaga diri baik-baik ya… Sudah…

Sementara Gendis, ingin jadi dokter, ingin cepat pulang, ingin bertemu ibu, ingin tahu makam ayah.

SRI WAHYUNI: Keinginan ke depannya apa?

GENDIS: Mau jadi dokter.. kalau nggak mau jadi peksos kayak ibu..

SRI WAHYUNI: Apa yang bikin kamu pengen jadi Peksos?

GENDIS: Bisa menghadapi ABH (Anak Berhadapan dengan Hukum) dengan sabar, ikhlas..

SRI WAHYUNI: Kalau mau jadi peksos itu ada ilmunya, jadi harus sekolah..

GENDIS: Iya…

<tr>

	<td>Reporter</td>


	<td>:</td>


	<td>Damar Fery, May Rahmadi, Nurika Manan, Ria Apriyani&nbsp;</td>

</tr>


<tr>

	<td>Editor</td>


	<td>:</td>


	<td>Citra Dyah Prastuti&nbsp;<span id="pastemarkerend">&nbsp;</span></td>

</tr>