Rangka pabrik RDF atau Refuse Derived Fuel di Cilacap, Jawa Tengah. Foto: May Rahmadi/KBR.

SAGA

Duet Indonesia-Denmark Mengelola Sampah Jadi Energi

Kamis 17 Mei 2018, 10.45 WIB

KBR, Jakarta - Di sebuah pabrik seluas 1,3 hektar, Koen Nasyiton, menjelaskan progres pembangunan RDF atau Refuse Derived Fuel. Dengan menggenggam pengeras suara, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Cilacap itu, menerangkan tahapan operasional RDF atau dikenal sebagai bahan bakar alternatif dari sampah.

"Kita langsung menuju ke bangunan utama. Sampah yang tidak terpulung, diangkut menggunakan loader, masuk ke pencacah awal," ujar Koen. 

Lokasi pabrik ini dekat dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tritih Lor Jeruklegi. Ketika saya berkunjung ke sana, sampah-sampah bertumpuk menyerupai bukit. Sebab hampir saban hari, truk pengangkut sampah berdatangan. Menumpahkan angkutannya. Dan kala sore, ketika sampah-sampah sudah menumpuk, mesin eskavator digunakan untuk meratakan.

RDF, tergolong baru di Indonesia. Teknologinya sendiri berasal dari Denmark. Proses kerjanya, sampah yang berada di TPA dipilah berdasarkan materialnya. Bahan sampah yang mudah terbakar dicacah dan dikeringkan melalui sembilan tahapan. Proses itu bernama bio-drying. Dari proses panjang itu akan menghasilkan serbuk-serbuk kecil yang dipakai sebagai bahan bakar alternatif pengganti batubara.

Rencananya, alat ini akan mulai digunakan pada Oktober 2018. Dalam hitungan Pemkab Cilacap, 120 ton sampah organik dan anorganik perhari bisa menghasilkan 30-40 ton RDF.

"Jadi sampah itu masuk ke area pencacah yang mesinnya belum datang dari Denmark. Sedang proses pengadaan, sebentar lagi dikirim dari Denmark," sambungnya. 

Dan untuk persiapan, para pekerja sibuk merapikan bangunan pabrik. Belasan pekerja, mengenakan helm pengaman dan pakaian khusus. Beberapa dari mereka, ada yang mengebor bagian atas bangunan dan, ada pula yang mengangkat mesin-mesin.

Kata Koen, pengerjaan ini sudah dimulai sejak Juli 2017. Jika pabrik ini rampung, akan ada ruang untuk mengumpulkan sampah, pencacahan, sampai pengeringan biologis atau bio-drying.

Adanya RDF, persoalan sampah sesungguhnya bisa teratasi. Ini sejalan dengan persoalan Cilacap yang mulai kehabisan lokasi pembuangan sampah. Menurut Koen, saat ini lahan TPA Jeruklegi hanya tersisa 1,4 hektar dan, Pemkab memprediksi bakal habis tahun ini. 

red

TPA Jeruklegi adalah satu dari empat TPA di sana. Dengan luas 6,3 hektar —atau hampir sama dengan luas dua kali Istana Kepresidenan, menjadikannya yang terbesar di Cilacap. Di sini, sampah dari lima kecamatan ditumpuk.

Volume sampah yang tak lagi terbendung itu, toh menjadi persoalan baru. Sementara kalau membuka TPA lagi, ada kemungkinan diprotes masyarakat karena akan memunculkan masalah sosial. Tak hanya itu, dana yang harus dirogoh  juga besar lantaran harga tanah terus naik. Hitungannya, butuh Rp40 miliar untuk membikin lahan TPA seluas lima hektar setiap lima tahun.

Maka, RDF menjadi jalan keluar. Tanpa menciptakan lahan baru, proyek ini membuat Pemkab bisa memperpanjang umur TPA Jeruklegi.

"Memperpanjang usia pakai TPA sampai tahun 2025. Jadi kita bisa perpanjang usia pakai, tidak beli TPA."  

red

Di negara berkembang, teknologi RDF terbilang jarang. Ini karena proyek tersebut mahal. Kementerian Luar Negeri Denmark, melalui Kedutaan Besarnya di Jakarta, menawarkan diri untuk terlibat dalam proyek RDF tahun lalu. Melalui tim bernama Environmental Support Programme atau ESP, Denmark menilai, Cilacap memiliki komitmen dalam penanganan sampah sehingga layak mendapat hibah.

Pemkab Cilacap pun menyambut niat itu. Pasalnya, pembuatan pabrik RDF memakan dana jumbo yakni Rp82 miliar. Maka muncullah kesepakatan: Denmark memberi donasi sebesar Rp44 miliar, lalu sisanya menjadi tanggungan Pemkab Cilacap, Pemprov Jawa Tengah, dan Kementerian Pembangunan Umum dan Perumahan Rakyat.

Tim dari Kedutaan Besar Denmark di Jakarta dengan bangga mempresentasikan proyek besar ini kepada para jurnalis. Dalam presentasinya, mereka memutar video dokumentasi yang menunjukkan kedekatan pemerintah Denmark dengan Indonesia.

Juru Bicara ESP3 —tim bentukan Kedutaan Besar Denmark untuk proyek RDF, Emil Salim mengatakan, Denmark berharap teknologi canggih ini bisa ditiru daerah lain.

“Kalau ditanya kenapa Denmark mau seperti ini? Kita ingin memberikan sesuatu yang inovatif yang nanti kalau berhasil bisa menjadi contoh bagi pihak swasta atau pihak Indonesia untuk direplikasi di tempat lain,” imbuh Emil Salim.

Di proyek ini, ada juga pelibatan swasta. Yaitu perusahaan semen PT. Holchim. Pembagian kerjanya, Pemkab Cilacap akan menjadi pengelola fasilitas pabrik dan Denmark berperan sebagai penyedia alat berat dan pelatihan teknisi.

Sementara PT. Holchim akan mengoperasikan mesin-mesin pengolahan sampah menjadi energi pengganti batubara itu. 

Holchim memang punya kepentingan di sana, karena RDF akan menghemat ongkos produksi semen mereka, yang selama ini memakan biaya besar untuk membeli batubara. Nantinya, energi RDF yang dibeli PT Holcim, akan masuk ke kas Pemkab Cilacap.

Kendati demikian, Pemkab enggan menyebut harga RDF yang bakal dijual. Tapi PT. Holchim optimis akan mendapat harga lebih murah daripada membeli batubara. Sebab, perusahaan itu telah menjual lahannya dengan harga miring ke Pemkab untuk pembangunan pabrik. Kembali Koen Nasyiton, Sekretaris Dinas Pemkab Cilacap. 

Dan sembari menunggu rampungnya pabrik RDF, Pemkab tengah menggodok aturan yang menjadi payung hukum operasionalnya. Bentuknya Peraturan Daerah (Perda). Sebab tanpa Perda, pengoperasian RDF mustahil terlaksana.

“RDF itu harus kita jual. Mekanisme itu kan harus diatur. Kalau tidak ada koridor hukum, liar saya,” tambah Koen.

Akan tetapi, peringatan dilayangkan aktivis lingkungan Bali Fokus. Khrisna menyebut pengolahan sampah menjadi RDF akan memunculkan zat dioksin. Zat itu berbahaya bagi manusia karena bisa menyebabkan kanker, pengacau hormon dan memengaruhi sistem reproduksi.

Padahal, Indonesia telah meratifikasi konvensi Stockholm yang menyebut penggunaan RDF di pabrik semen merupakan sumber pelepasan emisi dioksin. Apalagi, kata Khrisna, Indonesia belum memiliki lembaga atau laboratorium yang mampu mengukur dioksin. Lebih dari itu, pengukuran kadar dioksin dalam udara memerlukan biaya sangat pahal.

"Kalau kemarin dari Holchim, katanya bisa menjamin tidak akan ada dioksin, tapi itu juga perlu dipastikan dan harus dipantau secara rutin," tutur Khrisna. 

Kritik atas RDF tak hanya itu. Khrisna mengatakan, ada keanehan dalam keputusan Pemkab Cilacap membuat pabrik RDF. Dia menilai, proyek itu bertentangan dengan amanat Undang-undang tentang Pengelolaan Sampah Nomor 18 tahun 2008.

Bagian penjelasan umum di Undang-Undang itu tertulis, paradigma pengelolaan sampah yang bertumpu pada pendekatan akhir sudah saatnya ditinggalkan dan diganti dengan paradigma baru. 

Penjelasan tersebut adalah amanat untuk Pemerintah Daerah. Menurut Khrisna, penggunaan teknologi RDF di Cilacap adalah bentuk pengelolaan sampah dengan pendekatan akhir atau hilir. Sebab, RDF membutuhkan banyak sampah di TPA agar tetap bisa beroperasi.

Padahal, Pemkab Cilacap mengklaim tengah fokus pada pengelolaan sampah di hulu, untuk mengurangi banyaknya sampah yang masuk ke TPA. 

Tapi di sisi lain, pengelolaan sampah lewat RDF bisa mengurangi Gas Rumah Kaca yang berasal dari TPA Jeruklegi maupun pabrik semen PT. Holchim. Di TPA Jeruklegi, Gas Rumah Kaca menyembul dari sampah basah yang mengeluarkan gas methana. Sedangkan produksi semen di pabrik PT. Holchim mengakibatkan Gas Rumah Kaca karena penggunaan batu bara. 

	<td>May Rahmadi&nbsp;</td>
</tr>

<tr>
	<td class="current">Editor:&nbsp;</td>

	<td>Quinawaty&nbsp;</td>
</tr>
Reporter: