Article Image

SAGA

Buruh PT Nanbu Plastic: Kami diPHK Karena Tidak Sopan, Bingung yaa...

Rabu 30 Mei 2018, 16.40 WIB

Atika Nafitasari (kiri) dan Deris Dewantika (kanan), buruh di PT Nanbu Plastic Indonesia, Bekasi, yang diPHK sepihak. Foto: Dian Kurniati/KBR.

KBR, Jakarta - Kawasan industri di Cibitung, Kabupaten Bekasi, mulai ramai oleh lalu-lalang kendaraan roda dua. Penunggangnya adalah para buruh pabrik yang hendak berangkat kerja. 

Tapi di salah satu pabrik; PT Nanbu Plastic Indonesia, 40-an buruh yang kebanyakan perempuan dan mengenakan seragam, duduk lesehan di depan pagar. Mereka melakukan aksi diam, sebagai tanda protes atas tindakan perusahaan yang memberhentikan delapan buruhnya tanpa alasan yang jelas. Delapan buruh itu berstatus kontrak, atau bekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). 

Tak hanya itu, masih ada 35 buruh lainnya yang juga diberhentikan tanpa alasan yang jelas. Bedanya, 35 orang ini telah berstatus pegawai tetap. Aksi diam seperti tersebut sudah dilakukan sejak 9 April 2018. 

Dimulai sejak pukul 07.00 pagi hingga 09.00. Beberapa kali, mobil patroli Satpam Kawasan Industri Cibitung mondar-mandir –mengawasi aksi para buruh. 

Seorang di antara buruh itu Atika Nafitasari. Dia mengalami kecelakaan kerja pada 26 September tahun lalu. Seruas jari tengah tangan kanannya, putus. Di saat itu pula, kontrak kerjanya dihentikan dengan alasan yang baginya, tak masuk akal; kinerjanya buruk dan tingkat kehadiran rendah.

"Alasan PHK karena penilaian jelek," ujar Atika ketika ditemui. 

Di PT Nanbu, Atika bertugas di bagian ekstrusi –yang memeriksa kualitas produk-produk plastik komponen mobil. Selain di bagian ekstrusi, ia diberi pekerjaan tambahan; mengoperasikan mesin press untuk produk Ts-Tech dengan tipe model Trim Cord 04 L 65. Tapi di pekerjaan tambahan itu, Atika hanya diberi penjelasan singkat dan tanpa pelatihan khusus. 

Hingga hari sial itu tiba. Ia yang seharusnya pulang pukul 5 sore, mesti lembur karena pesanan sedang tinggi. Saat itu kira-kira pukul 6 sore. Atika yang merasa kelelahan, mengalami kecelakaan; jarinya dilibas mesin press plastik. Seruas jari tangannya putus. Begitu sadar terluka, ia tak langsung mendapat mendapat pertolongan pertama. Sebab klinik pabrik tutup pukul 5 sore. Dia pun diboyong ke RS Hermina. 

Sampai di rumah sakit, dokter mengatakan agar segera dioperasi untuk menyambung ruas jari yang putus. Tapi tindakan itu harus tertunda, karena ia tak mengantongi kartu BPJS Kesehatan. Seorang asisten manajer yang mendampingi Atika, segera menghubungi bagian HRD untuk meminta kartu BPJSnya. Namun, pihak HRD mengaku tak tahu. 

Dini hari, tak ada kejelasan tentang kartu BPJS-nya. Kartu itu pun baru sampai di rumah sakit keesokan hari. Pukul 1 siang, atau sekitar 19 jam sejak kecelakaan kerja, luka Atika baru bisa ditangani. Sialnya, potongan jari yang tersimpan di freezer rumah sakit, tak bisa disambung. Sebab daya tahan sel hanya berumur delapan jam. 

Tak sampai sebulan untuk pemulihan, Atika sudah kembali bekerja di pabrik. Akan tetapi, ia harus tersiksa karena pertumbuhan kuku jarinya tak normal. Malah, muncul luka baru –jarinya membengkak dan mengeluarkan darah serta nanah. Luka itu bertahan berbulan-bulan, hingga membuatnya harus bolak-balik periksa ke dokter. 

Januari 2018, Atika justru mendapat kabar buruk dari tempatnya bekerja. 

"Tetapi perusahaan mengakhiri hubungan kerja saya. Padahal dari Serikat sudah membantu membicarakan masalah saya, karena saya sudah (kecelakaan-red) begini. Saya mau cari kerja juga ke mana?".

Ketika saya ingin melihat jarinya, Atika tampak malu. Kata dia, rasa ngilu masih terasa meski kondisinya sudah jauh lebih baik dibanding bulan-bulan sebelumnya. 

Sejak di-PHK, Atika tak bekerja. Kata dia, sulit mendapat pekerjaan baru dengan kondisi catat. Sementara ia sendiri, masih berharap PT Nanbu mau mempekerjakan kembali. 

Bersama tujuh temannya, Atika mengadu ke Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi. Tapi, aduan itu tak menjadikan kecelakaan kerja sebagai pokok masalah, melainkan sistem kerja kontrak atau bekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). 

Serikat Buruh Bumi Manusia (Sebumi) PT Nanbu menyebut, subkontraktor PT. Toyota Motor ini tak bisa menerapkan sistem kerja PKWT lantaran proses produksi yang berlangsung terus menerus. Wakil Ketua Sebumi, Saiful Anam, mengatakan perusahaan yang bisa menerapkan PKWT hanya yang berproduksi jika ada pesanan.

Meski begitu, aduan juga tetap memuat perusahaan yang mengabaikan korban kecelakaan kerja, dengan melakukan PHK serta menolak bertanggung jawab atas nasib Atika yang kini cacat. Sebab dalam Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perusahaan wajib bertanggung jawab pada pekerjanya yang mengalami kecelakaan hingga pulih, baik yang sudah atau belum terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.

Namun, Nanbu menolak menerimanya bekerja ketika luka Atika kembali memburuk. Dalihnya RS Hermina sebelumnya menyatakan Atika telah sembuh. Sial karena PT Nanbu tak serius menyelesaikan sengketa di Disnaker.  

Aduan Atika dan kawan-kawannya dilayangkan ke Disnaker Kabupaten Bekasi sejak 6 Maret 2018. Sesudahnya, digelar pertemuan antara buruh dan manajemen dengan mediator dari Disnaker. Tapi pertemuan tetap buntu. 

"Kami melihatnya, begitu ada masalah berarti ada perselisihan. Bahasa kerennya ya, kami harus hadir di situ, walaupun mungkin sebatas memberi saran dan pertimbangan yang sifatnya lisan," kata Kepala Bidang Hubungan Industrial Disnaker Kabupaten Bekasi, Nur Hidayah. 

Kesewenang-wenangan PT Nanbu Plastic Indonesia juga terjadi pada Deris Dewantika. Ia di-PHK dalam kondisi hamil 7 bulan.  

red

Deris Dewantika bersama 40-an buruh –yang kebanyakan perempuan dan mengenakan seragam, duduk lesehan di depan pagar PT Nanbu Plastic Indonesia. Mereka melakukan aksi diam, sebagai tanda protes atas tindakan perusahaan yang memberhentikan delapan buruhnya tanpa alasan yang jelas. Delapan buruh itu berstatus kontrak, atau bekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). 

Tak hanya itu, masih ada 35 buruh lainnya yang juga diberhentikan tanpa alasan yang jelas. Bedanya, 35 orang ini telah berstatus pegawai tetap. Aksi diam seperti ini sudah dilakukan sejak 9 April 2018. 

Dimulai sejak pukul 07.00 pagi hingga 09.00. Beberapa kali, mobil patroli Satpam Kawasan Industri Cibitung mondar-mandir –mengawasi aksi para buruh. 

Seorang buruh tetap yang diPHK itu adalah Deris Dewantika. Ia telah bekerja selama dua tahun. Tapi pada 2 April lalu, diberhentikan dalam kondisi hamil tujuh bulan.

Kabar buruk itu datang melalui pengeras suara yang ada di tiap sudut pabrik. Namanya dan tiga pekerja lain dipanggil dan diminta ke ruang rapat. Padahal pagi itu, ia sedang bekerja seperti biasa di bagian baritori –yakni membersihkan sisa plastik yang masih menempel pada produk. 

Waktu dipanggil itu, tak ada firasat buruk. Hingga manajer PT Nanbu, Richard Sinanu, mengatakan mereka diPHK. 

"Alasan PHK dibilang karena tidak sopan. Kami bingung ya, kenapa kena pengurangan, tapi ada rekrutmen baru, dan itu enggak sedikit," cerita Deris. 

"(Perekrutan itu) kami tanyakan. Jawabannya cuma, 'suka-suka saya, itu hak saya'," sambungnya. 

Deris meragukan kebenaran alasan PHK itu. Ia menduga, sikap perusahaan memberhentikannya karena ia tergabung dalam Serikat Buruh Bumi PT Nanbu Plastic Indonesia. 

Deris dan tiga temannya lantas diberi waktu 15 menit untuk berkemas dan diminta langsung meninggalkan area pabrik.

"Terus kami disuruh keluar (pabrik) dengan memanggil sekuriti," ujarnya kesal. 

Wakil Serikat Buruh Bumi PT Nanbu Plastic Indonesia, Saiful Anam berkukuh, PHK itu melanggar Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain karena dasarnya diragukan dan tak diberi surat PHK, juga perusahaan dianggap tak bisa memPHK buruh yang sedang hamil. 

"Ketika kami bertanya alasannya apa kok diPHK? Dia bilang, 'introspeksi diri saja, kalian keluar, tidak becus bekerja'," kata Saiful mengulang pernyataan perwakilan perusahaan.

Dua alasan itulah yang dipersoalan para buruh dan membawanya ke meja bipartit. Jumat sore, 20 April 2018, digelar pertemuan antara buruh dan perusahaan di pabrik PT Nanbu. Ada sekitar 30 orang yang mendatangi pabrik, tetapi hanya lima orang yang diizinkan masuk dan mengikuti pertemuan, termasuk Deris dan anggota serikat lain yang juga diberhentikan kerja.

Sayangnya, dari pertemuan itu, tak tercapai kata sepakat. Perusahaan berkukuh pada keputusannya dan ngotot membawa sengketa tersebut ke Disnaker Kabupaten Bekasi.

"Dia tetap menganggap bahwa kita diPHK. Tapi PHK itu tidak ada suratnya," jelas Saiful.  

red

Pasal 163 Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diatur ketentuan mengenai PHK. Dikatakan bahwa setiap PHK wajib dirundingkan sesuai mekanisme bipartit, baik perundingan mengenai alasan PHK maupun perundingan menyangkut hak-hak atau kewajiban yang harus ditunaikan. 

Apabila perundingan gagal, maka PHK hanya bisa dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelelesaian perselisihan hubungan industrial, atau Pengadilan Hubungan Industrial.

Hingga tulisan ini diturunkan, PT Nanbu Plastic Indonesia, tidak menerima permintaan wawancara KBR. Saat menyambangi pabrik pun, KBR tak diperbolehlan masuk. Sementara permohonan melalui telepon, tak pernah direspon perusahaan. 

Sementara, Disnaker Kabupaten Bekasi siap memediasi buruh dan perusahaan. Kepala Bidang Hubungan Industrial Disnaker Kabupaten Bekasi, Nur Hidayah, menjanjikan bakal menyelesaikan perselisihan itu.  

	<td>Dian Kurniati&nbsp;</td>
</tr>

<tr>
	<td class="current">Editor:&nbsp;</td>

	<td>Quinawaty Pasaribu&nbsp;</td>
</tr>
Reporter: