SAGA

[SAGA] Kali Pertama, Ujian Nasional Siswa Penghayat Kepercayaan

"Karena dianggap asing, beberapa temannya bertanya-tanya tentang apa itu penganut kepercayaan dan bagaimana tata ibadahnya."

[SAGA] Kali Pertama, Ujian Nasional Siswa Penghayat Kepercayaan
Septian Dwi Saputro (depan), siswa penghayat kepercayaan sedang mengerjakan USBN di SMP Gandungmangu 3 Cilacap. Foto: Muhammad Ridlo/KBR.

KBR, Cilacap - Sekolah Menengah Pertama (SMP) 3 Gandrungmangu di Cilacap baru saja menggelar Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN).

Dari ratusan siswa itu, ada Elma Septiani dan Septian Dwi Saputro. Keduanya –untuk kali pertama, bisa mengerjakan soal ujian, sesuai kepercayaan yang dianut. Sebab jauh sebelumnya, siswa yang menganut kepercayaan, harus mengikuti agama tertentu.

Begitu selesai ujian, saya menemui Elma dan Septian. Raut keduanya semringah. Kata Septian, total ada 45 soal yang terdiri dari pilihan ganda dan isian. Semua pertanyaan bisa dijawab, meski ada beberapa yang ragu-ragu. Elma misalnya, bingung ketika harus menjelaskan asal kelompok penghayat dari daerah-daerah di Indonesia. Sementara Septian mengatakan, kesulitan saat mengartikan doa-doa dalam bahasa Jawa kuno.

“Kesulitan sih pasti ada. Saya sulit di pilihan ganda yang mengartikan ayat-ayat (doa) dalam bahasa Jawa,” tutur Septian. 

Kata Kepala Sekolahnya, Saleh, pengajaran kepada siswa penganut kepercayaan sudah dimulai sejak 2016.

Itu bermula dari satu orangtua siswa yang meminta kepada pihak sekolah memuat pendidikan kepercayaan. Malah, si orangtua membawa surat permohonan bermaterai, supaya si anak betul-betul dilayani. Permintaan itu sebetulnya sesuai dengan lahirnya Peraturan Menteri nomor 27 tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tapi jarang diketahui. Belakangan, tak hanya satu orangtua yang minta, lima lainnya juga sama. 

Dihadapkan pada keinginan itu, Saleh menggelar rapat dengan seluruh guru. Sebab, tak ada satupun guru di SMP Gandrungmangu yang bisa mengajar. Ia lalu menemui Dinas Pendidikan Cilacap. Di situlah, ia mengabulkan permintaan para orangtua penghayat. 

“Kebingungan bagaimana memberikan hak anak sesuai dengan yang diinginkan,” kata Saleh.

Dalam catatannya, total ada lima siswa yang menganut kepercayaan. 

Selama proses belajar-mengajar penghayat kepercayaan, guru didatangkan dari Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (MKLI) Cilacap. Elma dan Septian pun, baru diajari ketika duduk di kelas 8 atau setahun setelah masuk SMP. 

Teman-temannya sempat kaget, tahu dua temannya itu penganut kepercayaan. Karena dianggap asing, beberapa temannya bertanya-tanya tentang apa itu penganut kepercayaan dan bagaimana tata ibadahnya.

“Ditanya cara ibadahnya seperti apa. Menyembah apa,” imbuh Elma.

Segala pertanyaan itu, sebetulnya kurang mengenakkan Elma atau Septian. Karena itulah, begitu lulus SMP, keduanya berencana melanjutkan ke sekolah inklusif. Kata Elma, siswa di sekolah semacam itu lebih beragam dan toleran. 

“Nanti melanjutkan sekolah di SMK Yos Sudarso. Di sana kan agama siswanya beragam,” sambungnya.

 red

Lantas bagaimana dengan pengajar penghayat kepercayaan? 

Kepala Sekolah SMP Gandrungmangu 3, Saleh, mengatakan melayani pendidikan penghayat kepercayaan pada anak didiknya adalah kewajiban. Meski ia menyimpan gundah, sebab bantuan operasional untuk para pengajar belum tersedia. Pasalnya, operasional bagi guru penghayat kepercayaan harus dibicarakan lebih dulu dengan Komite Sekolah. Setelahnya dimasukkan ke Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) tahunan.

Hingga kini, ia belum pernah membicarakan bantuan operasional itu. Ia khawatir, akan ada penolakan. Meski begitu, ia berjanji akan memberikan pemahaman kepada anggota Komite Sekolah. Sebab, mau tak mau guru penghayat kepercayaan harus mendapat tunjangan gaji karena sudah bekerja. 

“Walaupun tidak ada persyaratan, mengajar di sini kan perhitungannya termasuk jam mengajar. Namun, semuanya harus dibicarakan dengan komite,” kata Saleh.

Seorang guru penghayat, Kuswanto Heriyanto, mengakui ketiadaan dana operasional menyulitkan para pengajar. Di Cilacap saja, enam guru harus melayani sekitar 20 sekolah dengan jarak yang cukup jauh. Ia mencontohkan seorang pengajar yang harus menempuh perjalanan 30 kilometer dari rumah menuju sekolahnya.

Tapi bagi Kuswanto, perjuangan mengajar siswa penghayat sudah jadi bagian dari perjuangan panjang mereka sejak puluhan tahun lalu. Ia pun optimis, pemerintah akan memberi perhatian. 

“Teman-teman saya itu punya anak istri. Terus terang, seandainya anak saya dua atau tiga, kayaknya saya pun enggak bisa (mengajar),” tuturnya. 

Kuswanto sendiri mengajar lima sekolah. Dua Sekolah Dasar di Kecamatan Sidareja dan Gandrungmangu. Dua SMP di Kecamatan Gandrungmangu dan satu SMK di Kecamatan Sidareja. 

Sementara itu, Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (MKLI) Cilacap, Basuki Raharja bercerita, mengalami dilema berat. Di satu sisi, ia harus menyediakan guru penghayat kepercayaan tapi di lain sisi, tak bisa memaksa pemerintah menggelontorkan tunjangan. 

Kata dia, di Cilacap ada 20 sekolah yang membuat pengajaran pendidikan kepercayaan. Puluhan sekolah itu terdiri dari SD, SMP hingga SMA. Jumlah seluruh siswanya ada 75. 

Ia pun berjanji akan terus mendengungkan hak para pengajar penghayat kepercayaan agar mendapat gaji yang sesuai. 

“Ini (honor) akan saya angkat juga. Sudah membangun karakter anak bangsa masak tidak ada sesuatu dari pemerintah,” harap Basuki Raharja.

Editor: Quinawaty Pasaribu

 

  • penghayat kepercayaan
  • SMP Gandrungmangu 3
  • cilacap
  • USBN

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!