Article Image

SAGA

Menjaga Bentang Karst Karawang

Kamis 18 Mei 2017, 14.00 WIB

Batu kapur dari Gunung Sanggabuana yang terletak di Kecamatan Pangkalan, Karawang. Foto: Ninik Yuniati/KBR.

KBR, Jakarta - Baret sedang menikmati jeda istirahatnya. Di sebuah warung makan sederhana, ia melahap pisang goreng. Dari jarak 100 meter tempat makan ini, terhampar deret bukit batu kapur yang penuh geroak. Di situlah, Baret bersama puluhan pria dewasa lainnya bekerja. Menambang batu gamping untuk dijadikan bahan baku semen.

Lokasi bukit kapur ini berada di Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang. Sementara penambangnya mayoritas berasal dari Desa Taman Sari. Dari tambang rakyat inilah, mereka menggantungkan hidup selama berpuluh tahun.

“Dari muda sampai sekarang sudah punya cucu saya nambang. Sebelum saya ada juga, mungkin orangtua kita. Dulu ya hidupnya dari sini, dari pembakaran-pembakaran kapur," cerita Baret. 

Penambang seperti Baret, bekerja secara berkelompok. Tiap kelompok pasti punya tungku pembakaran kapur atau disebut lio. Total ada 100 lio di sana. Tapi, usaha penambangan tersebut tak punya izin alias illegal. Hanya saja, batu kapur dari Pangkalan rupanya sudah menjalar dijual hingga ke Bekasi dan Cilegon.

Kecamatan Pangkalan berada di sebelah selatan Karawang dan terletak di daerah Gunung Sanggabuana. Dari 30 kecamatan yang masuk Kabupaten Karawang, Pangkalan memiliki banyak potensi mulai dari sumberdaya alam sampai wisata alam. Sumberdaya alam yang paling tenar adalah tambang kapur atau batu gamping yang luasnya mencapai 375 hektar. Maka tak salah, kalau bukit kapur itu sudah ditambang sejak jaman Belanda. 

Ketika KBR ke sana, para penambang kebanyakan masih menggunakan peralatan seadanya; linggis dan palu. Saban hari, sekira lima truk besar mengangkut batu kapur itu. Baret sendiri, dibayar Rp150 ribu jika bisa memenuhi target lima mobil berukuran kecil. 

Hanya saja, ketenangan Baret dan teman-temannya terancam dengan ditetapkannya bukit kapur Pangkalan sebagai Kawasan Bentang Alam Karst oleh Kementerian ESDM pada 2015. Penetapan itu sesuai Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Nomor 3606 K/40/MEM/2015. Itu artinya, semua penambangan di area tersebut harus dihentikan. Sebab kawasan karst Pangkalan sebagai ekosistem resapan air alami harus dijaga dan dilindungi. 

Jika hal itu terjadi, maka Baret dan penambang lain harus menyingkir. Pria berusia 41 tahun ini pun khawatir bakal kehilangan mata pencahariannya. Sementara ia harus menghidupi istri dan dua anaknya yang masih kecil.  

Desakan menutup tambang di Pangkalan datang dari Koalisi Melawan Tambang (KMT). Koalisi menilai kawasan karst sebagai penyerap dan penyimpan air bakal rusak, kalau dibiarkan digerus. 

Dan dampaknya sudah dirasakan masyarakat Karawang kala banjir bandang melanda tahun 2014 silam. Juru Bicara KMT, Yuda Febrian Silitonga mengatakan, bukit kapur tak mampu menahan tumpahan air hujan. 

“Banjir tahun 2014 itu jadi mimpi buruk. Sebab dari 30 kecamatan, 29 terkena dampak bencana banjir. Yang terparah itu Karawang Utara, sampai atap rumah. Jadi memang besar banget dampak banjirnya, sampai Presiden SBY datang ke Karawang dan menjadi darurat bencana,” ungkap Yuda Febrian. 

Setidaknya dua kali upaya penutupan dilakukan. Terakhir pada awal tahun ini. Tapi Baret dan warga Desa Taman Sari melawan. Mereka takut menganggur apabila tambang ditutup lantaran tidak punya ijazah untuk mencari pekerjaan lain. “Pendidikan kurang, ijazah nggak punya. Kemana lagi? Selain ke batu kapur. Saya pun cuma tamatan SD,” ujar Baret. 

Sementara itu, Sekretaris Desa Taman Sari, Dedy mengaku tak kuasa menolak tuntutan warga. Pemerintah desa kemudian melobi kecamatan agar penutupan penambangan ditunda. Tapi sampai kapan, tak disebut. Alhasil hingga detik ini, warga tetap diizinkan menambang, dengan syarat tidak boleh menggunakan bahan peledak.  

Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Karawang, tengah mempersiapkan kawasan karst Pangkalan menjadi lokasi wisata.  

Proses pembakaran batu kapur di Kampung Pakapuran, Karawang. Foto: Ninik Yuniati/KBR.

Sebagai kawasan karst, bukit-bukit kapur di Pangkalan memang memiliki banyak goa –yang menyimpan tumpahan air hujan selama puluhan tahun. Tapi keinginan menjadi objek wisata, masih belum sempurna. Sementara, wisata yang kini berjalan dikelola secara mandiri oleh warga. Dan ketika diminta membeberkan konsepnya pun, pemkab Karawang enggan. 

Kembali ke Baret. Ia dan yang lain tak punya pilihan pun tak keberatan kalau harus pensiun sebagai penambang batu gamping. Asal, pemerintah menjamin adanya lapangan kerja bagi warga setempat. "Kalau dikasih lapangan kerja, mau aja. Tapi kalau lapangan kerja nggak ada, ya tetap aja masyarakat kecil teriak. Persoalan perut soalnya," kata Baret. 

Sementara, Kepala Urusan Ketentraman dan Ketertiban Desa Taman Sari, Adi Permana meminta pemerintah Karawang mematangkan rencana ini agar masyarakat bersedia beralih pekerjaan. “Kalau nanti dialihprofesikan, nanti hanya membuat kerajinan. Ya akan menjadi beban buat masyarakat kami,” kata Adi Permana. 

Sedang, Pakar Geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Budi Brahmantyo mendukung pengembangan wisata di Pangkalan. Gagasan ini dinilai tepat untuk menutup penambangan. 

Budi memaklumi kencangnya suara penolakan dari kelompok penambang rakyat. Namun, pengalihan menjadi daerah wisata bukan sesuatu yang mustahil. Budi menyodorkan kisah suksesnya ketika menyulap kawasan penambangan Citatah, Bandung, menjadi wisata alam. Menurutnya, yang dibutuhkan adalah konsistensi dan komitmen dari pemerintah daerah. 

“Karena mereka belum terbayang, kalau pariwisata itu keuntungannya dari mana? Kasus di Citatah dulu juga sama, tahun 2000 saya berjuang untuk menjadikan wisata alam. Baru mereka sadar tahun 2014, setelah 14 tahun itu yang namanya stone garden menjadi booming. Dan itu dikelola masyarakat kampung di situ,” sambungnya. 

	<td>Ninik Yuniati&nbsp;</td>
</tr>

<tr>
	<td class="current">Editor:</td>

	<td>Quinawaty Pasaribu&nbsp;</td>
</tr>
Reporter: