SAGA

Setungku Ubi untuk Muda-Mudi Wamena

"Orang Papua mengenal sejumlah penganan pokok seperti sagu, ubi jalar dan singkong. Dari penganan itu, hanya dua jenis yang populer di sana. Sagu bagi masyarakat pantai dan ubi jalar untuk masyarakat yang tinggal di pedalaman. Kini makanan pokok itu tera"

Setungku Ubi untuk Muda-Mudi Wamena
petani, ubi, beras, wamena, oxfam

KBR68H - Orang Papua mengenal sejumlah penganan pokok  seperti sagu, ubi jalar dan singkong. Dari penganan itu, hanya dua jenis yang  populer di sana. Sagu bagi masyarakat pantai dan ubi jalar untuk masyarakat yang tinggal di pedalaman. Kini makanan pokok itu terancam tersingkir, seiring masuknya beras impor. Kondisi ini diperparah enggannya generasi muda seperti di Lembah Baliem  berladang. KBR68H berbincang dengan sejumlah petani di Bumi Cendrawasih.


Wa..wa..wa..wa..


Mulut Petrus Wenda merapalkan doa-doa. Wujud rasa syukur atas panen raya ubi jalar di Kampung Yonggime, Distrik Piramid, Kabupaten Jaya Wijaya, Papua. Dia adalah pimpinan kelompok tani yang tinggal bersama belasan keluarga di empat Honai, rumah adat khas Papua berbahan kayu dengan atap jerami. Meski terik matahari menyengat siang itu (7/3) pria paruh baya ini tampak khidmat memimpin upacara adat dengan bahasa Ibu mereka.

Dalam bahasa Dani, upacara ini disebut Yugum Yugi atau bakar batu. Sebuah prosesi memasak penganan pokok masyarakat adat yang tinggal di Lembah Baliem. Dalam prosesi itu, perempuan dan lelaki mempunyai peran yang berbeda.  “Mama” sebutan perempuan di Papua bertugas menggali gundukan ubi dan mencari rerumputan di ladang. Sedang lelaki seperti Petrus menyiapkan tungku, batu dan perapian.

Menurut Petrus, panen ubi kali ini tidak terlalu banyak. Hanya sekitar seratusan kilogram dari lahan seluas 8,5 hektare. Namun, baginya itu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh keluarga yang ia pimpin dan sebagian lagi diberikan untuk puluhan hewan ternak. Bahkan, saat KBR68H dan lembaga nirlaba asal Inggris, Oxfam mengunjungi Petrus, terlihat beberapa noken atau tas tradisional khas setempat berisi lusinan ubi yang sengaja disisihkan untuk dijual.

“Ini ubi jalar semua. Kita setiap hari, setiap minggu kami hidup dengan ubi. Tidak bisa diganti beras. Saya tidak biasa makan beras. Satu buah ubi saya makan dengan minum sudah puas. Setiap hari. Sore makan, bisa tidur sampai pagi,” jelasnya. 

Bagi orang Papua, keberadaan ubi jalar sangat penting. Itu senilai dengan manusia dan babi. Namun sayang, kata Petrus, generasi muda di kampungnya enggan bertani. Mereka lebih tertarik menempuh puluhan kilometer mengadu nasib di kota. Bekerja sebagai tukang becak sampai melacur dan merampok.

“(Mereka lebih banyak menjadi) Pencuri baru, perampok itu banyak mati di sana (di kota) karena tidak mau kerja ini (berladang). (Pernahkah ada pemuda di sini mati di sana?) Banyak meninggal di situ. Perempuan itu bukan yang tua-tua. Muda-muda sudah, susu belum keluar. Mondar-mandir di situ. Akhirnya lapar,” katanya. 


Mengapa kaum muda enggan bertani?

  • petani
  • ubi
  • beras
  • wamena
  • oxfam

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!