SAGA

Goresan Tinta Korban 'Bullying' (2)

"Diena mengatakan, sampai kini praktik bullying masih menghantui sekolah. Pemerintah nilainya belum maksimal mengatasi masalah ini semisal mengenalkan materi antibullying"

Rony Rahmatha

Goresan Tinta Korban 'Bullying' (2)
Depok, bullying, anak, Azzam, Carringteen Community

Bullying Hantui Sekolah

Bagi Ariesya perilaku bully yang paling ia ingat saat Masa Orientasi Sekolah atau MOS di SMP. Kini Ariesya  duduk di kelas II SMK.”Kalau saya pribadi itu banyak saat MOS. Tapi kebanyakan ya, setelah MOS kelar, jadi tetap saja teringat. Oh itu orang yang bully gue, jadinya agak-agak kesal sedikit, jadi jengkel.”

Lain lagi pengalaman buruk Hamdi. Menurutnya pelaku bullying adalah rekan sepermainannya. “Karena saya tidak sekolah formal sejak dari TK. Ini sempat diejek, saya tidak sekolah dan mau jadi apa kalau sudah besar. Saya bilang pada teman-teman saya, OK kita sama lihat, kalau sudah besar kamu jadi apa dan saya jadi apa. Saya juga dimotivasi keluarga, kamu harus membuktikan pada mereka yang mencaci maki itu.”

Kini Hamdi sudah berusia 15 tahun. Ia aktif mengikuti kegiatan LSM Semai Jiwa Amini atau Sejiwa. Yayasan yang berkantor di Kalibata, Jakarta ini punya perhatian membantu  korban bullying.  Menurut Direktur LSM Sejiwa Diena Haryana ada lebih 30 anak di Indonesia yang mengambil jalan pintas bunuh diri akibat menjadi korban bullying. Ini merupakan survei yang dilakukan pada pertengahan  2002 hingga 2005. Hasil survey inilah yang digunakan untuk menggugah kesadaran siswa , pihak sekolah, sampai masyarakat umum agar lebih peduli terhadap dampak buruk bullying.

“Isunya sudah jelas waktu itu. Jadi 2004 itu kita tahu isunya bullying. Maka 2005 kita membuat pelatihan-pelatihan ke beberapa sekolah sebagai pilot project. Ternyata para guru dan anak-anak memberikan respons, ya ada masalah tentang bullying. Anak-anak pun mulai terbuka, bahwa mereka melakukan pembullian. Ada yang mulai sadar, bahwa MOS syarat pembullian. Kami sudah memulainya itu pada 2005,” jelas Diena.

Diena mengatakan, sampai kini praktik bullying masih menghantui sekolah. Pemerintah nilainya  belum  maksimal mengatasi masalah ini semisal mengenalkan materi antibullying. “Pembelajaran tentang antibullying ini mulai dari SD, mungkin anak-anak kelas 4 lah. Kalau di luar negeri, TK sudah diberitahu. Bullying itu bagaimana mengatasinya. Cukup dua jam saja. Tiap tahun di ulang, jadi makin sadar, terus sampai SMA. Sistemnya beda-beda semakin menyentuh psikologis.”

Meski demikian kata Diena lembaganya tetap berkomitmen membantu mengatasi perilaku bullying. Salah satu programnya membentuk CaringTeens Community (CTC). Ini wadah untuk anak-anak korban bullying untuk berbagi bersama dan saling memotivasi. Salah satunya yang terlibat adalah Hamdi. “Jadi bukan orang dewasa lagi yang berbicara atau memberikan perpektif tentang bullying tapi anak-anak sendiri. Jadi ini komunitas ini semacam anak bimbingan dari Sejiwa. Berapa orang yang terlibat? Ada sekitar 15 orang, umurnya dari SMP hingga SMA, umur remajalah,” katanya.

Komunitas itu beberapa waktu lalu meluncurkan situs di alamat www.caringteen.org. Lewat laman internet tersebut masyarakat umum dapat  mengetahui dan lebih peduli terhadap bahaya bullying.   

Rencananya pertengahan tahun ini mereka juga akan menerbitkan buku yang ditulis anak-anak korban bullying.

  • Depok
  • bullying
  • anak
  • Azzam
  • Carringteen Community

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!