SAGA

Catatan Sejarah Sang Demonstran (3)

Nur Azizah

Catatan Sejarah Sang Demonstran (3)
Rizky Rahmawati Pasaribu, Trisakti, Tragedi Mei, Reformasi, Jakarta

Menjadi Pengacara

“Jadi aku belajar soal Kejawen seorang Raja mengangkat anaknya jadi punggawa, dia pasti akan jatuh. Ada kepercayaan seperti itu. Nha waktu itu aku bekerja di tabloid Olahraga namanya Go. Begitu saat itu pak Harto menang dan mengangkat Tutut jadi menteri…”

Itu tadi Beawiharta. Fotografer  kantor berita asing, Reuters ini salah satu saksi sejarah Tragedi Trisakti 12 Mei 1998. Saat itu ia bekerja di salah satu media cetak dan sempat mengabadikan peristiwa kelam yang menewaskan 4 mahasiswa .  

Aksi mahasiswa di berbagai kota di Indonesia dipicu krisis ekonomi yang menghajar sejumlah negara Asia Tenggara. Januari 1998 nilai rupiah Indonesia tembus hingga 17 ribu per dolar AS. Harga kebutuhan pokok melambung. Pada 10 Maret 1998 Soeharto kembali terpilih sebagai Presiden Indonesia untuk kali ketujuh. Dia lantas mengumumkan Kabinet Pembangunan VII. Satu diantaranya Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut yang merupakan anak sulungnya untuk menduduki kursi menteri sosial. Berbagai persoalan itu akhirnya memaksa mahasiswa berunjuk rasa menuntut reformasi.

Kembali ke fotografer Beawiharta. Dia mengenang kembali peristiwa 12 Mei 1998. “Pada hari itu aku ke DPR. Pada saat itu Amien Rais di DPR itu yang pakai peci dan ikat kepala reformasi. Nah terus waktu itu masih zaman alat komunikasi pager. Aku di pager, mahasiswa Trisakti mau ke DPR banyak banget di depan kampus. Trus dapat lagi diblokir. Trus aku dari DPR ke Trisakti. Benar itu sudah diblokir. Jadi kira kira 500 meter ke arah DPR itu mereka diblokir. Sudah banyak fotografer di situ, wartawan, nah aku di situ.”

Amin Rais yang disampaikan Bea tadi,  Ketua Pengurus Pusat Muhamadiyah saat itu dikenal sebagai lokomotif yang menuntut perubahan sosial politik.   “Pada saat itu, sudah berhadap hadapan (mahasiswa dan aparat- red)pokoknya bertahan. Trus sore itu mahasiswa Trisakti memutuskan tidak jadi ke DPR. Jadi mereka balik ke kampus. Selesai kan. Aku balik badan cari orang asongan, makan. Karena aku mikir sudah selesai. Pada saat itu aku berdiri di situ karena di depan ada Julian,” ceritanya.

Julian yang diucapkan Bea tadi, lengkapnya mendiang Julian Sihombing, fotografer Kompas. Jepretannya saat itu berhasil merekam gambar salah satu korban luka Tragedi Trisakti  Rizky Rahmawati . Mahasiswi Fakultas Hukum tersebut terkapar di aspal jalan depan kampus. Diduga ia tertembak peluru karet aparat saat membubarkan massa.    

“Nah kebetulan itu semua lari. Kiky itu tergeletak. Aku melihat. Trus aku berhenti pakai lensa panjang aku bidik. Pas aku bidik. Dulu kan foto masih manual fokus, enggak secepat sekarang. Jadi ya pas aku dapat Kiky ditarik sama polisi, berdiri, trus dipapah, kufoto. Ya, polisi menghardik hardik lah. Dia nempelin senapan itu di belakangku. Udah kamu ke sana ke sana. Kamu mau saya tembak atau pergi. Pokoknya begitu lah,” kenang Bea.

Dia melanjutkan, “Yang aku inget itu Cuma banyak sekali mahasiswa Trisakti yang berteriak histeris. Ada yang tolong... tolong..ampun.. ampun, pak.. stop, pak..stop.. sudah jangan nembak. Kamera saja tak taruh di bawah. Aku pengen banget motret tapi nggak berani. Mau lari ke Ciputra banyak juga polisi [pada nyari nyari mahasiswa di situ. Jadi aku enggak ada tempat buat lari. Jadi diam aja di situ. Peluru itu kadang berdesingan. Kadang kena logam yang sampai ceteng-ceteng bunyinya.. Nah diantara itu teriakan mahasiswa Trisakti enggak berhenti sampai hari gelap.”

Zaman bergerak. Kini, salah satu korban penembakan aparat di Kampus Trisakti, Rizky Rahmawati Pasaribu bekerja sebagai pengacara. Berjuang membela masyarakat kecil mencari keadilan.  “Ya di situlah aku merasa bahwa ternyata perjuangan tahun1998 itu, ya, ibarat kata itu masih kulitnya saja deh, dan belum apa apa sama sekali. Ya itu yang akhirnya bikin aku terus kontinyu berjuang. Biarpun kadang capek ngelihatin negara kayak gini. Tapi ya, kalau misalkan aku berhenti, kadang ntar dari teman teman yang lain hallo, kita butuh orang orang yang macam lo nih. Kalau misalnya lo berhenti gimana dong. Trus kalau yang kayak lo aja udah capek, trus gimana dong selanjutnya. Ya udah akhirnya aku berfikiran. Kalau memang aku harus berjuang, berjuang dengan cara lain dan enggak menyerah saja,” tegasnya. 

Lima belas tahun sejak gerakan reformasi di suarakan Kiky dan mahasiswa di tanah air, perubahan mulai dirasakan masyarakat. Ada yang sesuai harapan. Tapi ada yang masih jauh panggang dari api nilai Kiky.  “Kalau untuk di dunia hukumnya sendiri, aku sih menilai banyak kecewanya. Aku banyak kecewanya karena kotor. Kotor sekali di situ. Kan aku ngadepin sendiri, ya, gimana kotornya sistem, bukan sistemnya si, orang orangnya, oknum oknumnya yang ada di kepolisian, alat penegak hukum. Ya miris sih, karena di satu sisi aku tetap pertahanin, kan. Kita kerja sebagai pengacara mestinya, kan, dengan hati nurani, kan, yak. Bukan dengan gimana caranya supaya klien menang dan terus melakukan segala cara. Itu bukan style nya aku,” pungkasnya.

***
Editor: Taufik Wijaya

  • Rizky Rahmawati Pasaribu
  • Trisakti
  • Tragedi Mei
  • Reformasi
  • Jakarta

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!