Article Image

SAGA

Panjebar Semangat: Kisah Media Lokal Bertahan Lewati Krisis

"Panjebar Semangat masuk usia 90 tahun. Media lokal ini telah melewati banyak krisis dan kini muncul tantangan baru di era disrupsi."

Banyak orang bernostalgia kembali saat menemukan Panjebar Semangat masih terbit hingga sekarang. Foto: IG Panjebar Semangat

KBR, Jakarta - Arkandi Sari adalah generasi ketiga penerus majalah lokal berbahasa Jawa, Panjebar Semangat (PS). Sejak 2009 ia menjabat sebagai pimpinan perusahaan sekaligus pemimpin redaksi.

Panjebar Semangat didirikan pada 1933 di Surabaya oleh pahlawan nasional Dr. Soetomo, yang juga salah satu pendiri Budi Utomo.

Sebelum menerima tongkat estafet dari sang ayah, Arkandi hanya bekerja di belakang layar membantu suaminya mengelola Panjebar Semangat.

“Setelah bapak meninggal, sekarang kita memegang amanah untuk melanjutkan keberadaan Panjebar Semangat ini,” ceritanya.

Di awal berdiri, majalah lokal ini jadi alat menyebarkan semangat kemerdekaan, misalnya dengan menerbitkan pidato-pidato Dr. Soetomo. Kala itu, Panjebar Semangat belum berbentuk majalah seperti sekarang, tetapi berupa selebaran.

Baca juga: Potret Media Alternatif di Tengah Ancaman KUHP Baru (Bagian 1)

Arkandi Sari, Pemimpin Redaksi Panjebar Semangat. (Foto: Instagram Panjebar Semangat)

Sejak awal, Panjebar Semangat menggunakan Bahasa Jawa. Ragam ngoko alus dipakai agar mudah dimengerti masyarakat.

“Waktu itu masih sedikit masyarakat yang mengerti Bahasa Indonesia. Beliau (Soetomo) memakai Bahasa Jawa dengan pertimbangan agar pesan-pesan ini bisa lebih cepat sampai, lebih efisien,” kata Arkandi.

Panjebar Semangat pernah tidak terbit, kena bredel saat era penjajahan Jepang. Mereka kembali menyapa pembaca pada 1949 dan sejak itu tidak pernah absen.

Pasca kemerdekaan, jumlah rubrik kian bertambah, tetapi konsisten mengangkat tema kebudayaan, misalnya soal tata cara kehidupan tradisional, wayang, dan sejarah kerajaan di tanah Jawa. Para pembaca juga bisa berkontribusi dengan mengirimkan artikel, biasanya dalam bentuk cerita pendek dan surat pembaca. 

"Menurut jajak pendapat yang paling disuka (rubrik) Alaming Lelembut, itu cerita misteri, ternyata yang sering dikangeni oleh pembaca,” ujarnya.

Baca juga: Potret Media Alternatif di Tengah Ancaman KUHP Baru

Pelajaran aksara Jawa, salah satu rubik di Panjebar Semangat. (Foto: Instagram Panjebar Semangat)

Krisis moneter 1998 juga berimbas pada Panjebar Semangat. Mereka terpaksa mengurangi jumlah halaman demi memangkas biaya produksi. Arkandi berupaya majalah tetap terbit bagaimanapun kondisinya.  

"Jadi waktu itu kita sempat terbit hanya separuh halaman,” kenang Arkandi.

Panjebar Semangat berjaya pada era 1960-an sampai 1980-an. Tak kurang dari 70 ribu eksemplar dicetak tiap pekan dan didistribusikan ke kota-kota di Indonesia, bahkan ke luar negeri seperti ke Australia, Amerika Serikat, sampai Suriname.

Sayang, kini oplah PS terus tergerus, imbas digitalisasi. Perbulannya hanya dicetak 7 hingga 10 ribu eksemplar, dengan harga Rp19 ribu. Tantangan makin berat dengan datangnya pandemi Covid-19.

“Sebelum pandemi oplah itu sempat turun banyak. kemudian ini masih belum kembali seperti sebelum saat pandemi,” katanya.

Baca juga: Inisiatif Berbagi Konten Pembelajaran Gratis

Anugerah Kebudayaan Indonesia pada 2022 untuk Panjebar Semangat sebagai media tertua yang ikut melestarikan budaya Jawa. (Foto: dok pribadi)

Alih-alih berkelit dari tantangan, Arkandi memilih beradaptasi agar tetap relevan. Panjebar Semangat lantas merambah media sosial, Facebook dan Instagram. Bahkan, sejak 2017, PS hadir dalam format digital dan berhasil menggaet 500-an pembaca baru. Kontennya bisa diakses melalui aplikasi di Playstore bagi pengguna android, dan juga di website.

“Yang (langganan) online 1 bulan itu Rp40 ribu. Karena bagaimanapun harus menyesuaikan dengan kondisi sekarang. Kalau kita ga segera masuk digital, lama kelamaan saya khawatir PS akan semakin ditinggalkan,” jelas Arkandi.

Perjuangan PS yang konsisten melestarikan budaya Jawa, mendapat Anugerah Kebudayaan Indonesia pada 2022.

“Sebagai majalah tertua, dengan latar belakang yang panjang ini, karena usianya hampir 90 tahun, penilaiannya dari situ," katanya pada KBR.

Bagi Arkandi, penghargaan ini jadi cambuk untuk terus berkarya. Di sisi lain, Arkandi dan keluarga ingin Panjebar Semangat terus terbit. Mereka berharap pemerintah ikut mendukung kelangsungan majalah ini.

"Pelestarian budaya sebetulnya amat sangat membutuhkan campur tangan pemerintah. Bisa juga sebagai acuan untuk di kurikulum sekolah-sekolah, karena banyak di SD-SMP," pungkasnya.

Penulis: Valda

Editor: Ninik Yuniati