Karyawan Inbis Permata Bunda tengah memberikan pelatihan desain kaos. (Foto: dok Inbis Permata Bunda)

SAGA

Inbis Permata Bunda, Wadah Difabel Mandiri Berkarya

"Mayoritas difabel sulit mengakses pekerjaan, kehidupan pasca sekolah jadi momok. Inbis Permata Bunda menginisiasi pemberdayaan difabel."

Rabu 19 Apr 2023, 18.30 WIB

KBR, Jakarta - Anggi Goenadi selalu merinding begitu terngiang ungkapan Rizki Erfanda, seorang remaja difabel tuli, pada awal 2013.

“Rizki bilang, 'kalau nanti Rizki sudah lulus sekolah, yang beliin Rizki beras siapa?'” ungkap Anggi.

Itu untuk pertama kalinya Anggi berinteraksi intens dengan difabel.

Padahal, istrinya memimpin Sekolah Luar Biasa (SLB) Permata Bunda di Bontang, Kalimantan Timur, menggantikan sang ayah yang sudah meninggal.

“Sebelum beliau (mertua) meninggal sempat ada pesan, ‘titip adik-adikmu. Kata ‘adik-adik’ ga me-refer ke adik kandungnya (istri), karena adiknya cuma satu” kisah Anggi.

Kala itu Anggi masih bekerja di perusahaan multinasional yang berlokasi di Bontang, dengan posisi tinggi, selevel general manager.

Ia tak pernah tertarik dengan aktivitas mertuanya, di bidang pendidikan untuk difabel.

Baca juga: Pembuktian Penyandang Down Syndrome di Panggung Profesional

Rizki Erfanda, difabel tuli, sukses berkarya di bidang kreatif di Inbis Permata Bunda. (dok Inbis Permata Bunda)

Momok bagi difabel

Sampai tiba momen di 2013 itu, saat Anggi terpaksa ke sekolah untuk menangani Rizki, siswa kelas 2 SMA.

“Saat itu lagi bandel-bandelnya. Di sekolah ngamuk, ga ada yang redam. Karena semua guru itu ibu-ibu, ga ada sosok laki-laki di sekolah. Si anak ini, ngamuk, sampai guru-guru dipukulin, ga ada yang bisa pegang,” ujar dia.

Anggi yang berbadan besar karena pernah jadi atlet Jujitsu, diminta menakuti Rizki agar berhenti berulah.

“Saya bilang, ‘kamu ikut jujitsu, nanti latihan sama bapak’. Kelihatan wajahnya agak khawatir, agak takut. Tapi akhirnya di situ, ngobrol. Saya tanya, ‘kenapa kamu begini?’. Intinya dia sedang berontak,” kata pemegang sabuk hitam Jujitsu ini.

Pengakuan Rizky, meski diterjemahkan, membuat Anggi terhenyak.

“Kalau kita, yang ngakunya normal, kelas 2-3 SMA kan kayaknya happy banget ya, sebentar lagi, bakal kuliah atau kerja, atau minimal bebas. Ternyata, mereka (difabel) mau lulus malah bingung. Mereka akan kehilangan panggung, fasilitas, karena sudah ga sekolah lagi, ga tahu mau ngapain,” tutur Anggi.

Ia tak menyangka kehidupan pasca-sekolah menjadi mimpi buruk bagi penyandang disabilitas. Seketika rasa sesal menggelayuti batinnya, karena sering mengomentari aktivitas mendiang mertua.

“Dulu saya sering banget ngecilin kerjaan beliau. Saya sering kritik, kalau sekolah ga ada pemasukan, keluarnya segitu banyak, ini ga feasible secara bisnis, bakalan tutuplah segala macam,” imbuhnya.

Baca juga: Resiliensi Komunitas Difabel Semarang untuk Berdikari

Anggi V Goenadi banting setir dari dunia korporasi ke pemberdayaan difabel. (Foto: dok pribadi)

Mulai bisnis

Kepada Rizky, Anggi berjanji bakal membantu. Janji adalah utang dan harus dibayar. Pria kelahiran Bontang, 25 Desember 1988 ini akhirnya memilih keluar dari pekerjaannya. Keputusan ini banyak ditentang.

“Saya sempat enggak teguran sama orang tua hampir setengah tahun. Wajar karena saya resign itu 2013, September. Anak saya yang pertama lahir bulan Februari 2013. Dan enggak punya rencana, ditanya mau bikin apa juga enggak tahu,” tutur alumni Universitas Brawijaya ini.

Bisnis pertama yang terlintas di benak Anggi adalah jasa pasang wallpaper. Ide ini tercetus dilatari minatnya pada desain interior.

“Pas Rizki ngerjain (wallpaper), saya melihat kayaknya ada potensi gede teman-teman tuli nih. Dia ngerjain lebih fokus, ga gampang ter-distract,mungkin juga karena dia -mohon maaf- ga dengar. Gangguan ga banyak. Detail-detail, saat cutting, peeling, dia jago banget,” kisah Anggi.

Anggi dan Rizki pun memulai bisnis dari nol. Hanya berbekal belajar singkat dari Youtube dan modal nekat.

“Berdua sama Rizki mulai jadi sales, keliling-keliling rumah orang, ketok-ketok pintu segala macam. Dan alhamdulillah bisnisnya bagus, 2014 kita mulai sewa ruko, punya tempat display. Dari satu si Rizki, terus nambah lagi, ada teman-teman tuli yang lain,” ujarnya.

Keberhasilan Rizki sontak jadi magnet bagi difabel lain. Anggi meresponnya dengan membuat lini-lini bisnis baru, mulai dari jasa cuci motor dan mobil, sablon, kerajinan tangan, hingga event organizer.

Untuk mewadahi berbagai usaha ini, Anggi dan istri mendirikan Inkubator Bisnis (Inbis) Permata Bunda.

Nama Inbis, terinspirasi dari anak Anggi yang lahir prematur.

“Filosofinya kan anak ini dianggap belum cukup umur untuk matang sebagai manusia, makanya dimatangin dalam inkubator. Difabel dianggapnya ga bisa ngelakuin sesuatu. Ya udah deh kita siapin wadahnya, namanya inkubator bisnis,” kata Anggi.

Baca juga: Sepeda Adaptif untuk Permudah Akses Difabel

Pada 2018 Menteri BUMN Rini Soemarno mengunjungi Inbis Permata Bunda dan Kampung Aren berdaya ramah difabel. (dok: Inbis Permata Bunda)

Krisis dan pendewasaan bisnis

Pada 2016, ujian pertama datang. Bontang dilanda krisis karena diterjang PHK massal akibat harga komoditas tambang jatuh. Daya beli warga anjlok, sehingga berdampak pula pada bisnis Inbis.

“Kota Bontang yang 160 ribu penduduknya, kehilangan 25 ribu-an orang di-PHK. Usaha kita kan semuanya di bidang yang non-kebutuhan pokok, kena dampak banget. Sampai ada di titik yang satu bulan, omset cuma Rp600 ribu. Sementara, teman-teman difabel yang kerja ada 15 orang,” ujar dia.

Lini-lini usaha Inbis yang sempat berkembang pun seret orderan, hingga nyaris bangkrut.

“Usaha kita kan semuanya di bidang yang non-kebutuhan pokok. Orang ga gajian, terus kepikiran pasang wallpaper di rumah, itu kan enggak mungkin kejadian,” jelasnya.

Anggi dan istri bertahan sekuatnya demi memenuhi wasiat orang tua. Aset-aset pribadi pun dijual demi menutupi kerugian Inbis.

Anggi mendapat pelajaran berharga.

“Saya salah ambil keputusan, bisnisnya kelihatan besar tapi keropos, utang sana sini, dan itu bikin bisnisnya ga sustain. Inbis itu ga bisa jalan cuma pakai niat gede, cuma ngandalin satu orang. Gimana caranya sustain?” kata Anggi berintropeksi.

Anggi kemudian berbenah, membuka diri untuk kolaborasi. Salah satunya dengan BUMN lewat program kewirausahaan berkelanjutan untuk penyandang disabilitas.

Programnya terdiri empat tahap, yakni pelatihan, pemagangan, penempatan kerja, dan pendampingan wirausaha.

Saban tahun, Inbis merekrut 24 difabel untuk dibina sebagai peserta program, yang paling jauh berasal dari Sumatera Utara. Para difabel belajar, didampingi fasilitator.

“Syarat paling utama cuma satu, orang tuanya komiten, mau mengikuti perkembangan anak-anaknya. Ada lima ragam ketunaan (di Inbis), yang paling banyak tuna grahita, kemudian tuna rungu, tunadaksa, cerebral palsy, autis juga ada,” lanjutnya.

Fase penempatan kerja menjadi yang terlama karena bisa berlangsung 5 tahun. Peserta tidak dipungut biaya, bahkan digaji ketika sudah di fase itu.

“Mereka juga punya tabungan dari gaji, langsung sisihkan buat modal usaha. Nanti saat sudah mentas, sudah ‘lulus’, siap punya usaha. Tabungan mereka dijadikan salah satu komponen modal, selebihnya porsi paling besar tetap dari Inbis,” terang Anggi.

Struktur usaha pun dirapikan. Belasan lini bisnis kemudian dimerger menjadi 4 klaster besar, yakni merchandise, kuliner, kreatif, dan event.

Baca juga: Kota Ramah Difabel di Mata Atlet Muda Berprestasi

Inbis Permata Bunda bekerja sama dengan BUMN Pupuk Kaltim sejak 2016 membuat program kewirausahaan bagi difabel .(Foto: dok Inbis Permata Bunda)

Kendala lingkungan

Ada peserta program yang sempat berwirausaha, dengan membuka bengkel otomotif di rumah. Namun, tak sampai sebulan, bisnisnya tutup. Problemnya bukan di difabel, tetapi keluarganya.

“Bukan karena ga ada pelanggan, bukan karena ga bisa jalanin. Tapi ternyata lingkungannya yang ga support. Jadi asetnya keburu habis, ada temannya, saudaranya datang mengambil alat, dijual, habis. Yang bisa diselamatin tuh tinggal kompresor sama ada satu tool box,” Anggi bercerita.

Ada juga difabel yang gajinya sering diminta keluarganya. Penerimaan lingkungan sekitar memang jadi pekerjaan rumah.

Tak jarang, Anggi ikut turun tangan mengedukasi keluarga anak binaannya. Beruntung, Inbis Pertama Bunda mampu eksis melewati berbagai tantangan ini.

“Dulu semuanya saya ngajarin, ngawasin, sekarang saya datang ke ruang produksi, bingung sendiri, ini nyalainnya gimana? Kalau becandaannya sama fasilitator, dulu Inbis dianggap usaha pribadi yang mempekerjakan difabel, lambat laun berubah, mereka merekrut kami yang katanya normal ini untuk hal-hal yang mereka ga sempat aja jalanin,” ucap dia.

Inbis mampu bertahan dan berkembang karena dikelola profesional. Mereka mampu bangkit dari situasi nyaris gulung tikar.

“Adik-adik buktikan bahwa dengan kesempatan yang besar, mereka sebenarnya mampu banget. Tutup buku 2018, surprisingly kita berhasil capai omset di Rp2,08 miliar,” ucap Anggi yang merupakan master trainer di Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Anggi ogah gembar-gembor tentang bisnis difabel. Ia ingin produk-produk Inbis diserap pasar bukan karena faktor iba.

“Mimpinya simple, Rizki dan teman-teman dikenal karena mereka punya karya. Orang-orang sekitaran sini, tahunya itu Rizki si jago sablon. Setelah itu ada kata-kata, ‘oh tapi dia tunarungu’, silakan saja, itu hak mereka,” kata Anggi yang kini fokus mengurusi Sekolah Public Speaking BOTA ini.

Baca juga: Aksi Bela Rasa ala Milenial

Inbis Permata Bunda meraih berbagai penghargaan di antaranya, Indonesia SDGs Award 2017 -2018 dan Maarif Award 2022. (Foto: dok Inbis Permata Bunda)

Komitmen Anggi pada pemberdayaan difabel membuatnya diganjar banyak penghargaan. Yang terbaru adalah Maarif Award 2022.

Anggi berharap Inbis bisa direplikasi ke banyak daerah. Menurutnya, mengadvokasi kesetaraan bagi difabel butuh nafas panjang dan komitmen.

“Mimpi besar boleh saja, tapi jangan lupa action-nya juga harus gede. Nah, kalau action-nya belum bisa gede, ya udah cicil aja dulu, cicil kecil-kecil. Inbis bisa bertahan, kalau bicaranya 9 tahun, kesannya kayak too good to be true. Tapi kalau tahu prosesnya, itu tidak selebar senyum saya hari ini. Sakit-sakitnya juga banyak, hampir putus asa juga sering,” ujar Anggi.

Anggi tak pernah sangsi dengan kemampuan difabel untuk mandiri berkarya. Daya adaptif mereka tinggi, asal diberikan kesempatan.

“Orang punya cara beda untuk berkarya, maka hargai cara berbedanya. Tagline kita yang paling besar adalah bersatu dalam karya, berkarya dalam beda. Harusnya diskriminasi, perlakuan yang tidak adil, bisa hilang, kesetaraan, inklusivitas itu pasti bukan lagi ilusi doang,” pungkas Anggi.

Penulis: Ninik Yuniati & Valda

Editor: Ninik Yuniati