SAGA

[SAGA] Bidan Sunat Perempuan: Dulu Saya Pernah Menoreh Pakai Jarum, Aduh Kasihan

[SAGA] Bidan Sunat Perempuan: Dulu Saya Pernah Menoreh Pakai Jarum, Aduh Kasihan

KBR, Jakarta - Nia Karlina, seorang muslim dan mengenakan hijab. Perempuan 24 tahun ini mengaku, melakukan sunat pada putri sulungnya lewat bidan yang membantu persalinannya. Kata dia, sunat telah menjadi warisan keluarga.

 

“Semua keluarga disunat. Mama, bibi, dan saya juga disunat. Kalau saya (disunat) saat bayi. Kan di Islam juga ada dalilnya,” tukas Nia ketika dihubungi KBR.

 

Nia juga hakul yakin dengan sunat bisa ‘menjaga’ laku putrinya kala dewasa nanti. Bahkan, sunat bisa memudahkan proses melahirkan, meski ia sendiri agak ragu. Sebab pengalamannya berkata lain.

 

Tapi baginya, sunat ampuh mengendalikan hasrat ketika berhubungan seks. Kata dia, nafsunya tak lagi menggebu.

 

“Mama bilang proses melahirkan jadi gampang, tapi yaa... biasa saja melahirkan sakit juga. Tapi kalau untuk berhubungan (seks) jadi tidak ada, gimana yaa... biasa saja gitu nafsunya. Malahan jadi malas,” sambung Nia.


Kasus Nia Karlina yang menyunat anaknya, menurut catatan LSM Institut Kapal Perempuan, masih terjadi hingga sekarang. Pada 1995, bahkan angkanya paling tinggi. Yakni 50 persen penduduk Indonesia, pasti melakukan sunat pada anak perempuannya. Tapi pada 2015, jumlahnya menurun jadi 37 persen.  

 

Direktur LSM Institut Kapal Perempuan, Misiyah, mengatakan sunat merupakan kekerasan pada perempuan. Sebab bukan hanya melukai secara fisik tapi menciderai harga diri perempuan dengan stereotip ‘perempuan tak bisa mengendalikan nafsu’.

 

“Ada anggapan bahwa perempuan makhluk yang harus dikendalikan terutama nafsunya, supaya tidak binal. Kalau itu dilekatkan pada anak-anak perempuan loh kok bayi sudah distereotip ya,” tukas Misiyah.

 

Sunat juga kata Misiyah, memakan korban jiwa. Di beberapa daerah di Sulawesi, tak sedikit yang meninggal karena pendarahan saat melakukan sunat.

 

Tapi seperti apa praktik sunat saat ini? Saya menemui Lili –bukan nama sebenarnya. Bidan asal Kuningan, Jawa Barat ini mengatakan sudah beberapa kali melakukan sunat. Malah, 50 persen pasien yang ditangani, memintanya melakukan sunat pada si bayi.  

 

Namun, dia berani menjamin jika sunat yang dilakukan tak melukai seperti memotong. Akan tetapi, hanya ditorehkan obat antiseptic sebagai simbol kepada si keluarga.

 

“Dulu saya pernah menoreh pakai jarum steril, aduh kasihan. Jadi (sekarang-red) dibersihkan aja,” tutur Lia.

 

Lili, sudah menjadi bidan sejak lima tahun lalu. Dia pun tak bisa mengelak untuk tak menyunat bayi-bayi itu. Tapi paksaan pihak keluarga pasien, membuatnya tak bisa menolak –meski harus berpura-pura. Kalau tidak, si keluarga akan memboyong anak perempuan itu ke paraji atau dukun. Kalau sudah begitu, pasti berbahaya. Sebab dukun, biasanya memotong bagian klitoris. Efeknya, bisa infeksi bahkan meninggal.

 

“Pernah saya kekeuh enggak mau (sunat-red) dan saya jelaskan. Akhirnya keluarganya mengalah. Tapi di belakang saya, malah bilang 'katanya pipisnya sakit karena enggak disunat'.”  


Polemik sunat perempuan sempat jadi perhatian pemerintah. Pada 2006, Kementerian Kesehatan melarang keras praktik tersebut. Tapi sayang, larangan itu berbenturan dengan kebijakan Majelis Ulama Indonesia yang mendalilkan makrumah.

 

Sehingga pada 2010, pemerintah melunakkan larangannya dan mengizinkan sunat dengan batas tertentu. Yakni tak memotong, tapi hanya melakukan torehan kecil.

 

Hanya belakangan kala 2014 silam, aturan yang membolehkan dengan batasan tertentu itu, dicabut. Dalihnya, sunat bukan tindak kedokteran, sehingga Kementerian Kesehatan tak ikut andil dalam menerbitkan aturan.

 

Dan, pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada MUI membikin pedomen dalam melaksanakan sunat perempuan. Komisioner Komnas Perempuan, Nina Nurmila, mengatakan sunat pada perempuan sama seperti kebiri.

 

“Jadi setiap orang termasuk perempuan, berhak untuk menikmati hubungan seksual. Tapi ketika alat untuk menikmati hubungan seksual itu dipotong berarti itu menutup hak dia untuk menikmati hubungan seksual. Itu sudah merebut dan melanggar hak asasi perempuan,” terang Nina.

 

Nina juga mengatakan hingga saat ini Komnas Perempuan terus mengkampanyekan bahaya dan dampak sunat. Bahkan istilah sunat perempuan sudah tak lagi dipakai. Tapi mengubahnya jadi Pelukaan atau Pemotongan Genital Perempuan (P2GP). Istilah itu dianggap lebih bisa menyadarkan masyarakat bahwa ada perlakuan menyakiti perempuan. Berbeda dengan istilah sunat yang lebih agamis.

 

Itu mengapa Komnas Perempuan, LSM Perempuan, serta bidan mengimbau masyarakat lebih memikirkan kembali niatan untuk melakukan sunat kepada anak mereka. Jika memang tidak melihat dalam segi hak asasinya, maka orangtua harus memikirkan dampak terburuk yang bisa merenggut nyawa buah hati mereka.






Editor: Quinawaty

 

  • sunat perempuan
  • MUI
  • dalil agama

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!