Tampak depan gerbang masuk menuju TPA Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur. (KBR/Resky).

SAGA

Solusi Palsu Penanganan Sampah Perkotaan

"Pengolahan sampah dengan teknologi RDF digadang-gadang jadi solusi. Tapi, ini dilabeli palsu karena berdampak buruk pada lingkungan dan kesehatan "

Selasa 14 Mar 2023, 17.30 WIB

KBR, Sidoarjo - Deru mesin pemilah sampah terdengar sedari pagi di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Jabon, di Sidoarjo, Jawa Timur.

Sampah seperti plastik dan kertas karton dipisahkan untuk diolah menjadi pelet hingga briket.

Ini adalah bahan bakar alternatif pengganti batubara yang dihasilkan dengan teknologi refused derived fuel (RDF). Proses pengolahannya secara termal yakni dibakar dalam suhu tinggi.

"Material yang paling dominan kresek, kantong plastik. Kedua, kita sih nyebutnya atom ya, campuran kayak pet tutup galon. Jadi intinya kresek, atom, duplex, terus sak," ungkap staf teknis dan peralatan TPA Jabon Opi Wisnu Broto. 

Saban hari, TPA Jabon menerima 500 ton sampah dari seluruh Kabupaten Sidoarjo. Dari jumlah itu, sebanyak 60 ton sampah yang bisa diolah dengan teknologi RDF.

"Kapasitas di sorting plan, dari konsultan, karena kita ada project dari Jerman, itu 35 ton. Sebenarnya masih bisa di-up, jadi kemarin sudah coba di 50 ton, alhamdulillah bisa. Kendalanya pada proses pemilahan. Kalau kita kencengin suplainya, pasti banyak yang lolos, yang residu. Akhirnya kita cari komparasi yang mungkin cocok, itu di angka 50-60 ton," tutur Opi.

Baca juga: Dilema Perajin Tahu di Sidoarjo Tinggalkan Sampah Plastik

Mesin pemilah dan pengolah sampah di TPA Jabon, Sidoarjo. (KBR/Resky).

Menurut Opi, pelet dan briket dari TPA Jabon sudah diuji coba sebagai bahan bakar pengganti batubara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Awar-Awar di Tuban dan PLTU Paiton di Purbalingga.

"Di Tanjung Awar-Awar itu 80 ton, sementara di Paiton sekitar sama 80 ton juga," sebutnya.

Solusi palsu

RDF digadang-gadang pemerintah sebagai solusi permasalahan sampah di perkotaan. Sampah diubah menjadi energi terbarukan pengganti batubara.

Namun, ini disebut solusi palsu oleh Hermawan Some, founder LSM lingkungan Nol Sampah Surabaya. Kata dia, RDF justru bakal mencemari lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan.

"Tidak juga akan bisa membereskan semua sampah plastik dan yang paling bahaya ketika diolah dan kemudian dimanfaatkan itu berbahaya sekali, berdampak kesehatan. Jadi tujuannya untuk mengurangi jumlah plastik yang menumpuk, tapi sebenarnya memiliki dampak negatif terhadap lingkungan," imbuhnya.

Nol Sampah Surabaya tergabung dalam Aliansi Zero Waste Indonesia AZWI bersama sejumlah organisasi lain seperti Greenpeace, Walhi, ECOTON, Nexus3 Foundation, dan ICEL.

Baca juga: Jalan Terjal Desa di Bali Kelola Sampah Berbasis Sumber

Sampah hasil pengolahan melalui teknologi RDF berbentuk pelet untuk bahan bakar pengganti batubara yang dihasilkan TPA Jabon, Sidoarjo. (KBR/Resky).

Hermawan menyoroti pemerintah yang kerap menggonta-ganti istilah RDF. Misalnya, RDF disebut dengan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSA), Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL), insinerator, sampai Intermediate Treatment Facility (ITF). Ini berpotensi membingungkan masyarakat.

"Kalau dulu istilahnya kan insinerator tapi sekarang lebih diperhalus gasifikasi, sebenarnya kan sama. Sampah dipanaskan, uapnya dipakai untuk proses," jelasnya.

Sampah yang diolah secara termal tidak boleh mengandung bahan beracun, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.70 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan/atau Kegiatan Pengolahan Sampah secara Termal. Namun, hal itu sulit dilakukan, karena banyak sampah belum terpilah.

"Ada B3, kaca, vinyl dan PVC. Kita memang ada pemisahan sampah? Ga ada," katanya.

Hasil pembakaran sampah plastik akan menghasilkan zat beracun seperti dioksin dan furan, yang bisa memicu kanker.

Rangkaian dampak buruk ini mestinya menjadi alarm bagi pemerintah untuk menghentikan proyek pengolahan sampah secara termal.

"Ini jadi masalah serius. Ketika kita sudah melegalkan pemakaian itu untuk termal tapi aturan-aturan ini yang tidak dihargai dan tidak dihormati," pungkasnya.

Penulis : Resky Novianto

Editor : Ninik Yuniati