Lewat Kopi Merekatkan Toleransi

Beberapa seteru terjadi lantaran minimnya ruang dialog antarumat beragama. Gelisah dengan situasi ini, Petrus Saragih dan sahabatnya yang seorang biksu menggagas komunitas Kopi Toleransi.

Petrus Saragih atau akrab disapa Siol. (Foto: KBR/ Budhi S)

Selasa, 05 Maret 2019

-

NINIK YUNIARTI, NARATOR:

Harum semerbak kopi Sidikalang seketika menyebar di ruang ibadah Vihara Sakyamuni, Kota Medan.

[AUDIO SUARA PENGGILING MANUAL BIJI KOPI]

Siol, nama lengkapnya Petrus Saragih, duduk lesehan sambil menggiling biji-biji kopi…. tak terusik dengan patung dewa-dewi Budha, buah-buah persembahan dan banyak dupa.

Di sampingnya duduk seorang pria berkepala plontos, pakai jubah warna kuning kunyit. Dia adalah Bhante Dhirapunno, seorang biksu.

[AUDIO SIOL DAN BHANTE DHIRA BERBINCANG]

Mereka berdua sahabat karib meski berbeda keyakinan. Siol yang beragama Katolik, tak canggung keluar masuk vihara 

SIOL: Kalau di vihara ini memang ada tempat tidur khusus saya di perpustakaan. Karena mereka (VIhara) termasuk yang terbuka juga. Ikut ibadah juga, jam setengah 7 itu kan pindah. Bante keluar mengambil persembahan umat-umatnya, kita ikut dari belakang. Sampai ke paginya ada doa di depan, doa bersama bante dan umatnya. kita ikut juga.

Begitu juga Bhante Dhira. 

Hidup di tengah keberagaman sudah dijalaninya sedari kecil. Ia rajin blusukan ke forum lintas agama sejak 5 tahun lalu.

DHIRA: Makanya pertemanan di lintas itu banyak. Bahkan saya bisa hidup bukan di kalangan Buddhis pun bisa, di kalangan pesantren saya bisa, di kalangan misionaris Kristen, kependetaan bisa juga. Beberapa kali tinggal di pesantren, itu memang untuk menjalin kebersamaan di sana. Dari agama-agama lain juga tidak jarang ke sini juga dan di sini terbuka untuk siapa saja.

Siol dan Bante Dhira bertemu di forum pemuda lintas iman di Yogyakarta dua tahun silam. Saat itu, Siol berdialog langsung dengan berbagai pemeluk agama dan keyakinan.

Sejumlah prasangkanya, terutama soal Islam dan terorisme, luruh seketika.

SIOL: Ketika kita baru datang, berdebat, mempertentangkan suatu hal, dan itu tidak bisa kita terima. Dan ketika kita dikirimkan, diberikan waktu untuk live in, mencari jawaban dari pertentangan hati kita. Ada yang dikirim ke pesantren, ada yang dikirim ke kuil maryaman, ke vihara, ke parmalin, bangso batak. Ketika itu tidak ada lagi perdebatan, pertentangan, yang ada hanya penerimaan. Dan sebenarnya inti dari toleransi adalah saling menerima dan terbuka.

Sepulang dari Kota Pelajar, Banthe Dhira dan Siol bertekad menyebarkan bibit toleransi di Sumatera Utara. Mereka menggagas komunitas “Kopi Toleransi”. 

DHIRA: Kami datangkan dan masyarakat yang datang dari berbagai agama juga. Di situ, menggambarkan kebersamaan dalam secangkir kopi itu tidak melihat agama, ras suku, ataupun budaya. Di situ kita satu sebangsa setanah air yaitu bangsa Indonesia itu sendiri. Kenapa kita memilih “Kopi Toleransi”? Anak muda sekarang lebih suka yang enjoy, tidak terlalu monoton, itu akan lebih mudah kita ajak diskusi, lebih mudah kita menjelaskan tentang perbedaan, tetapi tetapi kita menghargai satu sama lain.

Bante Dhira mengakui Medan dan wilayah lain di Sumatera Utara rentan konflik antarumat beragama. 

Contoh terbaru adalah kriminalisasi terhadap warga Tanjung Balai, Meliana. Perempuan etnis Tionghoa beragama Kristen ini dipaksa masuk bui, hanya karena memprotes volume toa masjid.

DHIRA: Tapi kenapa kok ini terjadi, baru belakangan ini. Usaha kita ya untuk mengingat kembali perjalanan-perjalanan dulu, bagaimana bisa terwujudnya kerukunan itu. Tentu kalau saling memahami di situ kan. Karena konflik-konflik yang terjadi selama ini ada pengaruhnya dari luar juga. Pemahaman yang kurang dan pengaruh dari orang luar ini disulut. Jadinya di situlah meledaknya. 

Siol dan Bante Dhira bertemu di forum pemuda lintas iman di Yogyakarta dua tahun silam. Saat itu, Siol berdialog langsung dengan berbagai pemeluk agama dan keyakinan.

Sejumlah prasangkanya, terutama soal Islam dan terorisme, luruh seketika.

SIOL: Ketika kita baru datang, berdebat, mempertentangkan suatu hal, dan itu tidak bisa kita terima. Dan ketika kita dikirimkan, diberikan waktu untuk live in, mencari jawaban dari pertentangan hati kita. Ada yang dikirim ke pesantren, ada yang dikirim ke kuil maryaman, ke vihara, ke parmalin, bangso batak. Ketika itu tidak ada lagi perdebatan, pertentangan, yang ada hanya penerimaan. Dan sebenarnya inti dari toleransi adalah saling menerima dan terbuka.

Sepulang dari Kota Pelajar, Banthe Dhira dan Siol bertekad menyebarkan bibit toleransi di Sumatera Utara. Mereka menggagas komunitas “Kopi Toleransi”.

DHIRA: Kita datangkan dan masyarakat yang datang dari berbagai agama juga. Di situ, menggambarkan kebersamaan dalam secangkir kopi itu tidak melihat agama, ras suku, ataupun budaya. Di situ kita satu sebangsa setanah air yaitu bangsa Indonesia itu sendiri. Kenapa kita memilih “Kopi Toleransi”? Anak muda sekarang lebih suka yang enjoy, tidak terlalu monoton, itu akan lebih mudah kita ajak diskusi, lebih mudah kita menjelaskan tentang perbedaan, tetapi tetapi kita menghargai satu sama lain.

Bante Dhira mengakui Medan dan wilayah lain di Sumatera Utara rentan konflik antarumat beragama.

Contoh terbaru adalah kriminalisasi terhadap warga Tanjung Balai, Meliana. Perempuan etnis Tionghoa beragama Kristen ini dipaksa masuk bui, hanya karena memprotes volume toa masjid.

DHIRA: Tapi kenapa kok ini terjadi, baru belakangan ini. Usaha kita ya untuk mengingat kembali perjalanan-perjalanan dulu, bagaimana bisa terwujudnya kerukunan itu. Tentu kalau saling memahami di situ kan. Karena konflik-konflik yang terjadi selama ini ada pengaruhnya dari luar juga. Pemahaman yang kurang dan pengaruh dari orang luar ini disulut. Jadinya di situlah meledaknya.