KBR, NTT - Di Dewa Waitabula, Kota Tambolaka, Sumba Barat Daya, kebun sayuran terhampar. Tapi jangan salah. Bagi warga Desa Waitabula, hasil kebun itu tak untuk dijual. Tapi sebagai jaring pengaman pangan atau food security. Kalau pun berlebih, barulah mereka sisipkan untuk dijual.
Dan untuk menyalurkan sisa panen itu, pada 2007, para petani membentuk kelompok simpan pinjam. “Ini kelompok tani dulu. Tahun 2007 kami bentuk simpan pinjam kelompok tani, karena hasil sayur itu tidak bisa dimakan habis, jadi dijual. Kami rapat lagi, bahwa kalau ada hasil, kita sisipkan sedikit untuk kita jadikan simpan pinjam. Setelah itu, kami didatangi dinas koperasi dan bilang ‘mama sudah bisa berbadan hukum ini’ ya sudahlah kami urus badan hukum,” ungkap anggota kelompok tani, Wilhelmina M Dappa.
Bermula dari situlah, para anggota –yang semuanya perempuan—kemudian melegalkan kelompok tersebut dalam bentuk koperasi. Tiga tahun mereka bolak-balik Waitabula-Kupang untuk mengurus akta pendirian. Uang pun habis Rp 2,5 juta. Hingga akhirnya pada 2010 silam, dalam rapat anggota koperasi, nama Ole Dewa atau Teman Sejiwa, lahir.
Dalam perjalanannya, Koperasi Ole Dewa punya 50 anggota. Dan mereka harus menyetor simpanan wajib Rp10.000 perbulan dan simpanan sukarela.
“Kalau wajib harus, tidak bisa tidak. Karena wajib, kalau tidak dia bukan anggota. Dia malu toh… maka dia kasih masuk. Iya kita harus omong begitu sudah keputusan awal.”
Layaknya koperasi, anggota bisa meminjam uang untuk membangun usaha. Tapi, kata Wilhelmina, pinjaman diprioritaskan untuk biaya sekolah anak.
“Tiap kali kalau mau meminjam, sudah daftar di seksi perkreditan. Dia daftar nanti seksi itu yang kontrol. Seperti survey untuk apa uang itu digunakan. Tapi kita lebih prioritas pinjaman untuk anak sekolah. Karena untuk anak sekolah penting. Apalagi yang kuliah sangat prihatin dan kita mendorong, dia pengganti ahli waris ke depan.”
Dan beruntungnya, berbekal pinjaman koperasi itu, anak-anak dari para anggota tak ada yang putus sekolah. Malah bisa lanjut hingga ke bangku kuliah.
Mencoba mengembangkan diri, Koperasi Ole Dewa, lantas melahirkan anak usaha berupa kios sembako. “Kalau cerita kios ini, akhir tahun 2015, Oktober. Dari hasil produksi kopi. Ini usulan anggota biar kita tidak belanja ke orang lain. Nanti kita hitung aset dan keuntungan. Anggota yang belanja kan dapat SHU tapi omzetnya masih sedikit, kalau ada rejeki dibesarkan lagi. Kalau anggota buka kios kecil, anggota bisa belanja ke sini.”
Sesuai kesepakatan pula, kios sembako ini sengaja dititipkan di salah satu rumah anggota.
“Jadi tiap bulan itu harus ada masuk uang wajib 500 ribu. Tiap bulan. Karena sembako yang paling laris. Dulu hanya ada satu lemari, sekarang dua. Ada beras ada kopi. Awalnya gula, mie. Kalau mau rapat cari mie, mending ada kios langsung beli. Sekarang memudahkan.”
Ole Dewa menjadi koperasi yang paling maju di Desa Waitabula. Ketua Koperasi, Wilhelmina mengatakan, banyak orang studi banding membangun koperasi ke Ole Dewa.
“Kalau untuk di desa saya, ada tiga koperasi. Yang paling berkembang dan rajin transaksi di sini, kalau petugas datang mereka tahu kita rapat tanggal 16. Dan rapat anggota juga. Banyak yang studi banding, belajar administrasi.”
Belakangan, Koperasi Ole Dewa menerima tambahan anggota petani laki-laki. “Perempuan semua, baru tahun 2016, karena bupati bilang ‘harus terima laki’-laki’. Jadi kita baru terima laki-laki sekarang, baru empat orang. Selama ini tidak terima sama sekali.”
Tahun ini, modal Koperasi Ole Dewa mencapai Rp100 juta. Beragam penghargaan pun sudah dikantongi. Ibu enam anak ini, mengatakan kunci bertahannya Ole Dewa hanyalah keterbukaan. Itulah yang dipegang seluruh anggota.
“Saling menghargai saja. Anggota bicara kita hargai. Dan kita harus tahu watak tiap-tiap anggota. Pengurus ketua semuanya harus saling terbuka. Begitu juga anggota. Semua transparan terlebih keuangan. Dan semua harus keputusan anggota. Jadi keputusan tertinggi di rapat anggota.”
Koperasi Perempuan Ole Dewa, Penyambung Pendidikan Anak Waitabula
Beruntungnya, berbekal pinjaman koperasi Ole Dewa, anak-anak dari para anggota tak ada yang putus sekolah. Malah bisa lanjut hingga ke bangku kuliah.

Anggota Koperasi Ole Dewa di Waitabula, Sumba Barat Daya, NTT. Foto: KBR
BERITA LAINNYA - SAGA
Kampung Liu Mulang Teladan Hidup Selaras dengan Alam
Tradisi menjaga lingkungan dilakoni dan diwariskan antargenerasi
Sampah Makanan Penyumbang Emisi
Badan Pangan Dunia FAO bahkan menyebut sistem pangan global sebagai pendorong terbesar kerusakan lingkungan
Menangkal Asap Rokok dan Covid-19 dengan Kampung Bebas Asap Rokok
Momentum pandemi jadi sarana efektif untuk edukasi bahaya asap rokok
Kesehatan Bumi dan Mental
Organisasi psikiater di Amerika Serikat, the American Psychiatric Association, menjelaskan bagaimana krisis iklim ini mengganggu kesehatan mental
Bendrong Menuju Dusun Mandiri Energi dan Pangan
Program rintisan biogas dikembangkan menjadi sistem pertanian terpadu. Ekonomi meningkat dan lingkungan terjaga.
Make Up Baik Untuk Iklim
Tren pemakaian make-up alias dandanan tak pernah mati. Tengok saja YouTube dan media sosial, di sana bertabur aneka konten tutorial berdandan.
Kulon Progo Terus Melawan Asap Rokok
Kebijakan antirokok tetap berlanjut meski ganti pemimpin
Bahaya E-Waste untuk Iklim
Sampah elektronik atau e-waste juga menjadi sumber emisi, sehingga bumi makin panas
Jernang Emas Rimba yang Terancam Punah
Jernang bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga bagian dari tradisi Orang Rimba menjaga lingkungan
Most Popular / Trending
Recent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Vaksinasi "Drive Thru" Pertama Indonesia
Pahlawan Gambut
Kabar Baru Jam 8
Kabar Baru Jam 10