CERITA

Eko Hadi: Sulitnya Melepas Jerat Rokok

Eko Hadi: Sulitnya Melepas Jerat Rokok

KBR, Jakarta - “Pipih nggak boleh ngerokok, kalau ngerokok nanti lehernya bolong...” celoteh Arimbi Putri Hadi pada sang ayah, Eko Hadi. Bocah berusia enam tahun itu melayangkan protes kecil padanya agar stop merokok. Pasalnya, pria asal Bogor, Jawa Barat, ini sudah merokok sejak usia 15 tahun.

“SMP kelas 2, karena pergaulan. Awalnya teman-teman itu selalu nawarin, mau nggak? Ya saya jawab, boleh lah. Karena dulu rokok itu salah satu syarat pergaulan. (Sampai akhirnya kecanduan?) SMA. SMA sudah kecanduan. Jadi segala hal apapun dilakukan. Akhirnya ketika SMA juga dibebasin merokok juga, jadi tidak sembunyi-sembunyi,” katanya.


Eko juga bercerita, sedikitnya dua bungkus rokok habis dalam sehari. Jika dikalkulasikan, uang yang ia ‘bakar’ untuk rokok saban bulan mencapai Rp500 ribu hingga Rp1 juta. Angka itu setara dengan uang belanja keluarganya. “Kalau dulu pas zaman ngerokok, kalau dihitung-hitung mikirnya pasti bakal nyesel. Tapi kalau dihitung-hitung sekarang ya, banyak juga yah 500 ribu,” ungkapnya.


Tapi kini, ia tengah berjuang dari candu rokok. Selain karena alasan kesehatan, ia juga tak ingin mencemari keluarganya dengan asap rokok. Pasalnya, ketika Arimbi –putrinya—masih dalam bayi, ia tak bisa mendekat karena bau rokok yang menyengat. “Nggak bisa, saat sebelum dan sesudah lahir anak pertama itu tidak bisa. Karena kita tahu juga ya bahayanya,” katanya.


Perubahan baru terjadi ketika ia, betul-betul meninggalkan rokok dua tahun lalu. Dan itu tidaklah mudah. “Kalau dibayangin memang susah yah, tapi jangan dibayangin. Dijalanin saja, itu akan gampang nantinya. Terus harus siap mental, sama niat yang kuat. Kenapa saya bilang mental, karena jangan kaget, jika berhenti merokok pasti berat badan meningkat,” jelasnya.


Kini, Eko bisa dengan leluasa menggendong Arimbi. Dan yang utama, terhindar dari sakit akibat rokok semisal gangguan pernapasan. Udara di dalam rumah pun lebih sehat. “Udara lebih  bersih, terus lebih tenang lah jadi tidak khawatir lagi ada asap. Terus tidak ada asbak berceceran, terus anak juga tidak khawatir lagi,” ucapnya.


Eko Hadi, bukan satu-satunya warga Bogor yang berjuang melepaskan diri dari jerat rokok. Syarif Hidayattulah, juga punya pengalaman serupa.


Bedanya, ia lepas dari candu rokok setelah mengalami serangan jantung, setahun lalu. “Jadi awalnya pertamanya sakit, ternyata dari sakit itu dokter menyarankan untuk berhenti merokok. Karena akan ada perubahan katanya. Nah dari situ saya menjalankan arahan dari dokter. Tapi ternyata berat ketika dilakukan, perlu berbagai strategi untuk melakukan itu. Saya perokok berat, satu hari bisa sampai tiga bungkus, malah sering berganti-ganti rokok,” imbuhnya.


Sadar, hidupnya terancam, ia pun berniat menghentikan kebiasaannya merokok. Sempat gagal. Tapi nyatanya ia bisa bebas dari rokok. “Awal-awal berhenti merokok itu tiga bulan, tapi gagal. Lalu saya terus coba lagi, saya coba bulan pertama sehari tiga batang. Lalu bulan kedua, sehari satu batang. Dan sampai bulan ke lima, saya bisa total berhenti merokok. Setelah lepas dari itu, saya mengakui kalau ternyata berhenti merokok itu tidak segampang orang berbicara. Tapi intinya, merokok itu harus dilakukan dengan niat yang kuat,” kata Syarif.


Niat itu datang dari sang istri dan anak. "Ketika sudah sembuh dari sakit, anak saya sempat bilang. 'Sudah atuh yah, berhenti ngerokoknya'. Nah di situ yang menguatkan saya, di situ saya bertekad untuk berhenti merokok," ungkapnya.


Belakangan, Syarif kerap mengajak teman-temannya berhenti merokok. "Saran saya buat yang mau berhenti merokok. Pertama harus dengan niat yang kuat, lalu dijalani. Memang tidak gampang, tetapi akan mudah jika dijalani. Dan menurut saya, dengan berhenti merokok itu bisa sangat luar biasa enaknya dan bisa mengubah pola hidup," jelasnya.


Jika kesadaran dari perokok sudah timbul, lantas bagaimana Pemda Bogor mencegah lahirnya perokok muda? Simak kisah bagian kedua.




Editor: Quinawaty Pasaribu

 

  • candu rokok
  • Eko Hadi
  • Pemkot Bogor

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!