SAGA

Media, Politisi dan Luviana

"Siapa yang menguasai media, dialah yang menjadi raja atau penguasa. Ungkapan klasik itu dipahami betul para pengusaha televisi yang terjun ke dunia politik. Frekuensi penyiaran sebagai ranah publik, diselewengkan untuk kepentingan politik jangka pendek."

Indra Nasution

Media, Politisi dan Luviana
Media, Metro TV, Politisi

KBR68H - Siapa yang menguasai media, dialah yang menjadi raja atau penguasa. Ungkapan klasik itu dipahami betul para pengusaha televisi  yang terjun ke dunia politik. Frekuensi penyiaran sebagai ranah publik,  diselewengkan untuk kepentingan politik jangka pendek. Ruang redaksipun ikut terkontaminasi. Tak jarang yang mempersoalkan hal itu, ikut menjadi  korban. Seperti yang dialami Jurnalis Metro TV, Luviana.


Kedua jempol tangan perempuan berambut ikal sebahu itu tak henti menari di atas keypad telepon selular. Ia sibuk membalas pesan yang masuk ke telepon pintarnya.  Luviana nama perempuan itu. Bekas wartawan televisi tersebut,  di PHK  perusahaannya Metro TV sejak tahun lalu. Alasannya karena berniat mendirikan serikat pekerja untuk perbaikan kesejahteraan karyawan. Luvi juga menuntut ruang redaksi  televisi yang dimiliki Politisi Partai NasDem, Surya Paloh itu bebas dari kepentingan politik.


Sesekali ponsel Luvi berdering. Kali ini  temannya, Sutradara Film Dokumenter, Ucu Agustin yang menghubungi. Beberapa waktu lalu  perempuan  itu, ikut sibuk membantu pemutaran film dokumenter besutan Ucu Agustin. Film bertajuk “Di Balik Frekuensi” tersebut bercerita tentang perselingkuhan politisi dengan media-massa di ranah publik penyiaran. Dalam  film ini kasus Luvi  ikut diceritakan.


Tak hanya  karibnya  yang diajak nonton, Luvi juga mengabarkan mertuanya.  Ayah mertuanya, Nur Hasan memberi dukungan.  “Kalau saya mensuport saja, karena dia di sana untuk mencari sesuatu yang masih dalam kegelapan, apa sih maksud dan tujuan, sampai menyingkirkan Luviana, kalau ada masalah kan kita bisa saling mengingatkan, tujuan itu bukan hanya untuk menang, saling menguntungkan saling membangun kalau hanya untuk sama yang memang siapa yang berkuasa itu kan hukum perang,” tegasnya.


Di rumahnya,  Luvi bercerita tentang kisah hidupnya melawan konglomerasi media. Keresahan  bekas asisten produser di program unjuk wicara 8-11  Metro TV tersebut bermula dari kondisi ruang redaksi yang tak netral. “Surya Paloh yang suka berpidato itu hanya omongan doang, di kalangan teman-teman, tetapi teman-teman tidak berani mengkritik, kalau aku sih mengkritik di rapat program talkshow  8-11, tayangan bias gender, kan aku di 8-11, ada talkshow berbayar aku mengkritik itu,  loh kita tidak boleh berbohong oleh publik,” terangnya.


Bersama rekannya Luvi mulai berjuang dari dalam redaksi. Mereka mulai mempertanyakan tentang kewajiban menayangkan kampanye Surya Paloh yang saat itu masih aktif di Organisasi Kemasyarakatan, Nasional Demokrat (NasDem). Kini Paloh memimpin Partai NasDem.  “Teman-teman ku yang dua orang ini juga mengkritik soal itu, soal ada uang yang tidak jelas maksudnya misalnya ada liputan tetapi wajib ini ada uangnya, namun tidak jelas tayangan apa, pokoknya wajib tayang surya paloh wajib tayang, mau teman-teman kesal seperti apa wajib tayang, kalau dipotong bisa geger itu ,kita kan tahu ini berita layak dan tidak layak, tetapi kita punya posisi tawar.”


Luvi dan kawan-kawan mulai berani menyindir kesewenangan Surya Paloh memanfaatkan televisi untuk kepentingan politik. “Ya teman-teman nyindir-nyindir saja, wah ini tayangan wajib ya, tayangan bapak ya, dijawablah sama wapemred yaiya lah orang dia yang punya Metro  TV, tetapi itu sebatas nyindir, kalau di rapat kecil persoalan ini selalu dibahas.”


Luviana bercerita, di dalam manajemen Metro TV, ada tim khusus untuk memantau dan menyiarkan kegiatan NasDem. Kewenangan tim ini sangat besar. Bahkan  dapat memotong acara utama di televisi swasta itu. “Ini tim khusus untuk Nasdem, jadi tim ini adalah tugasnya mengelola  divisi khusus program NasDem, jadi apapun yang terjadi di NasDem harus melalui tim ini dan harus tayang, Metro TV  sering live event khusus NasDem kan, waktu NasDem mendaftarkan ke KPU kita live sepanjang hari, misalnya Surya Paloh, kemana ke daerah dan harus live lewat ini.”


Namun tak banyak karyawan  yang berani melawan seperti Luvi. Mereka takut terhadap kekuasaan Surya Paloh yang besar. “Lebih banyak yang takut, karena anggapan teman-teman ini yang kita hadapi pemilik media besar, dia pemilik partai besar, dia uangnya banyak, jaringannya banyak, terus ketika aku tanya, teman-teman bilang begini, ya sudahlah biar tuhan yang menegur bapak, aku bilang perjuangan dikonkritkan tidak dalam bentuk doa, doa urusan kita dengan tuhan, tetapi teman-teman di Metro TV tidak mau, terakhir pemicu nya adalah ketika semuanya kita temui.”


Sudah tentu banyak yang tak suka dengan perjuangannya. Berbagai cara dilakukan untuk menjegal. Termasuk menyebar fitnah. “Ternyata majemen redaksi menyiarkan ke teman-teman bahwa aku ini dibayar oleh Partai Golkar dan Demokrat. Dan teman-teman percaya loh, dia itu digerakan oleh Partai Golkar dan Demokrat yang ingin mematikan nasdem,” kata Luvi.


Dia menambahkan, “Aku sebelumnya tidak yakin, manajemen bilang kalau aku digerakan oleh Partai Demokrat dan Golkar tetapi setelah aku ketemu, setelah aku ketemu memang benar itu, aku memang salah ngomong, memang teman-teman lebih percaya dengan manajemen.”
Sejak saat itu, satu persatu rekannya mulai menjauhi Luvi. Waktu beranjak sore. Sebelum  pergi menyaksikan pemutaran film “Di Balik Frekuensi” Luvi menyempatkan bermain dengan anak semata wayangnya. Candid, usianya empat tahun. Sebelum berangkat ke bioskop di Jakarta Pusat, Luvi dan suaminya Hendra Betrix menyapa para tetangga. 


Setibanya di tempat pertunjukan, rekan-rekan  Luvi menyambut hangat.  Pukul 8 malam, film berdurasi dua jam lebih itu diputar. Selepas pemutaran film, rekan-rekan Luvi memberikan dukungan moral atas perjuangannya.  Banyak pelajaran yang diambil Luvi dari keserakahan pemilik media yang memanfaatkan frekuensi publik untuk kepentingan politik. “Aku hanya ingin mengatakan bahwa, kamu boleh melakukan ini sama aku, tetapi aku punya cara yang lain untuk menyelesaikan ini, jadi kalau ada ibuku, kalau tuhan menutup pintu, dia akan membuka jendela kamu tidak usah takut apapun juga,  dan itu yang terjadi sampai sekarang dan aku percaya, jadi apapun itu akan terus kita lawan,” tegasnya.


Konsumen Kritis


Pemilik media yang menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan politik dinilai merugikan masyarakat, tegas Sutradara Film “Di Balik Frekuensi” Ucu Agustin. “Sangat berbahaya ya, menurut  aku itu akan menjadi penyesatan informasi karena bagaimana warga bisa berpartisipasi, kan harusnya kita tidak hanya jadi konsumen namun harus  berhak atas informasi kalau seperti ini dimana hak kita, mau bagaimana mau kritisi newsroom kita semua protes langsung kan enggak bisa, pada akhirnya dikendalikan oleh pemilik media sendiri, kalau semua pemilik media begitu, informasi busuk tidak sehat informasi milik siapa akan sampai ke kita,” terangnya.


Lewat film  tersebut Ucu mengajak konsumen media berpikir kritis mencerna informasi yang diterima.  “Masyarakat ingin melek informasi, terus lebih mengkritisi ini, jangan menerima infomasi begitu saja tetpai liha siapa pemiliknya kepentingan seprti apa, berpihak kepada warga negara tetapi apakah benar, tetapi sulitnya, kalau harapan itu, jadi dengan film ini, ada diskusilah film ini akan menjadi mediator anatara apa yang terjadi di  dalam industri media dengan warga yang mermang sangat sterildari dari informasi informasi, tentang apa yang  di balik dari industri media,” paparnya.


Menurut  aktivis pemerhati media dari LSM Remote TV,  Roy Taniago  lewat media yang dimilikinya,  pengusaha yang aktif di partai politik jor-joran mengiklankan partainya, tanpa dibatasi durasi waktu. Seharusnya sebagai ruang publik,  media harus steril dari kepentingan politik. “Saya melihat media itu sebagai ruang publik sebagai tempat masyarakat mengkomunikasikan gagasan tempat masyarakat menyampaikan pesan sehingga media butuh sehat yang kedua juga, ditengah konglomerasi media kita tidak bisa membiarkan media bergerak tanpa aturan, sehingga potensi untuk penyelewengan media saat ini,” jelasnya.


Tak adanya aturan terkait pemutaran iklan politik sebelum  masa kampanye Pemilu,  dimanfaatkan para pengusaha berkantong tebal dan politisi.  Oleh sebabnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)  bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) beserta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tengah menyiapkan regulasi.


Ketua KPI Muhammad Riyanto menuturkan,“Kategori yang melanggar, misalnya menyampaikan pesan mengajak menyampaikan program partai,  dan ada nomor urut partai itu yang kita batasai, bolehkan partai mensosialisasikan partainya untuk kepentingan masyarakat saya kita boleh saja, sepanjang tidak memunculkan logo dan nomor urut partai,  ini kan belum kita formulasikan bersama-sama dengan KPU.”
Anggota Bawaslu Nelson Simanjutak meminta masyarakat selaku konsumen media aktif terlibat mengawasi parpol.  “Tetapi kita berharap sebetulnya kalau ada menemukan pelanggaran melaporkan ke bawaslu, karena kami juga sibuk mengurusin yang lain, hanya saja kita butuh partisipasi semua pihak kalau ada pelanggaran kita bisa terbantu menangani pelanggarannya.”


Aturan jika tidak disertai sanksi terang Koordinator LSM pemantau pemilu, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Yusfitriadi akan percuma. “KPI harus tegas jangan mau ditekan oleh coporate media, tetapi faktanya tidak sudah dicabut izin tayangnya tetapi mucul lagi dibiarin, KPU juga harus mempunyai rekam jejak partai yang sudah mengiklankan jadi tahu siapa yang paling banyaj mengiklankan.”


Dan tak kalah penting seperti pesan Sutradara Film “Di Balik Frekuensi”  Ucu Agustin, konsumen tak begitu saja menelan informasi yang dijejalkan media.   “Masyarakat ingin melek informasi, terus lebih mengkritisi ini, jangan menerima infomasi begitu saja tetpai liha siapa pemiliknya kepentingan seprti apa, berpihak kepada warga negara tetapi apakah benar…”


(Ind, Fik)

  • Media
  • Metro TV
  • Politisi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!