Article Image

HEADLINE

Dugaan Manipulasi Dokumen Ekspor Toba Pulp Lestari

Rabu 05 Feb 2020, 11.50 WIB

Kayu yang baru dicacah untuk dijadikan dissolving wood pulp di kompleks pabrik PT Toba Pulp Lestari, 28 November 2019. (Foto: Indonesialeaks)

PT Toba Pulp Lestari Tbk diduga memanipulasi dokumen ekspor bubur kayu ke Cina untuk memindahkan keuntungan mereka ke luar negeri. Sejumlah media yang tergabung dalam IndonesiaLeaks menelusuri kasus ini dalam setahun terakhir. 

KBR, Medan- Gunungan cacahan kayu terlihat ditumpuk rapi saat tim Indonesialeaks memasuki areal Pabrik PT Toba Pulp Lestari Tbk di Porsea, Medan, Sumatera Utara, November 2019 lalu. Di pabrik inilah, bahan baku bubur kayu atau dissolving wood pulp (DWP), bahan baku pembuatan viscose staple fiber (serat tekstil), diproduksi.

Dari pabrik, bubur kayu jenis DWP lantas menuju Pelabuhan Belawan, Medan untuk diekspor ke berbagai negara seperti Cina, India, Bangladesh, dan Thailand.

Kepala Hubungan Masyarakat PT Toba Pulp Lestari Tbk Norma Patty Handini Hutajulumengatakan, pabrik sudah memproduksi bubur kayu jenis Pulp-Dissolving Grade atau DWP sejak tahun 2005.

“Jika yang dimaksud DW adalah Pulp-Dissolving Grade, maka Pulp-Dissolving Grade pertama kali diproduksi sejak tahun 2005,” ujarnya saat ditemui tim Indonesialeaks akhir November 2019.

Rantai perjalanan produk Toba Pulp Lestari berlanjut dari pelabuhan ini. Yang tak banyak diketahui publik, Toba Pulp punya hubungan dengan dua perusahaan asing yakni DP Macao dan Sateri Holdings yang ada di daratan Tiongkok. Ini tercantum dalam dokumen Prospektus Sateri tahun 2010 yang bisa diakses bebas oleh publik. Prospektus merupakan profil resmi dan laporan tahunan yang memuat informasi seputar perdagangan perusahaan.

Setiap tahun, bubur kayu produksi Toba Pulp dijual ke Sateri melalui DP Macao. Sateri merupakan salah satu penghasil serat tekstil terbesar di dunia, juga memasok bahan baku untuk brand pakaian ternama seperti Zara, H&M dan Uniqlo.

Pada akhir 2018,  IndonesiaLeaks dikirimi sejumlah dokumen yang memperlihatkan adanya transaksi mencurigakan antara Toba Pulp dan dua perusahaan terafiliasinya itu. Dokumen dikirim informan publik yang mengambarkan praktik lancung Toba Pulp yang diduga memanipulasi dokumen pencatatan ekspor di bea cukai yang ada di pelabuhan Indonesia. Dari dokumen itulah, tim IndonesiaLeaks melakukan verifikasi lebih lanjut. 

Transaksi itu diduga dibuat untuk menyembunyikan keuntungan perusahaan hingga ratusan miliar rupiah pada 2007-2016.  

Pabrik PT Toba Pulp Lestari. (Foto: Indonesialeaks)

Masalah muncul karena ada perbedaan dokumen ekspor yang dilaporkan Toba Pulp kepada pemerintah Indonesia pada periode 2007-2009. Hasil penelusuran tim IndonesiaLeaks menemukan fakta: jenis bahan baku yang dikirim dari Pelabuhan Belawan ke Cina adalah bleached hardwood kraft pulp (BHKP). 

Ini dilihat dari laporan bulanan Perkembangan Data Ekspor Hasil Hutan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ada juga pada laporan ekspor Indonesia di Badan Pusat Statistik (BPS). Semua menunjukkan, ekspor bubur kayu Indonesia ke Cina pada periode itu didominasi jenis BHKP, bukan DWP.

DWP biasa dipakai untuk bahan pembuat tekstil, sementara BHKP untuk kertas.

Kejanggalan ini bisa dilihat dari penggunaan kode klasifikasi barang alias HS Code yang sudah diatur lewat aturan perdagangan internasional. HS Code produk BHKP berbeda dengan DWP. 

Produk BHKP diklasifikasikan dengan nomor 4703.29.00.00, sementara bubur kertas DWP memiliki HS Code 4702.00.00.00. Data IndonesiaLeaks menemukan bahwa pelaporan data ekspor PT Toba Pulp Lestari hingga 2016 mencantumkan HS Code 4703.29.00.00 alias BHKP.

Menanggapi temuan itu, Kepala Hubungan Masyarakat PT Toba Pulp Lestari Tbk Norma Patty Handini Hutajulu berdalih dalam periode itu TPL memang memproduksi dua jenis bubur kertas, yakni BHKP dan DW.

“Di antara periode 2008-2014 tersebut, TPL ada memproduksi Pulp Kertas dan Pulp-Dissolving Grade," katanya dalam surat elektronik yang diterima tim Indonesialeaks. 

red 

Dari segi harga, kedua produk ini punya selisih cukup jauh. Perbandingan selisih harga ini bisa dilihat dengan membandingkan volume dan nilai transaksi keduanya dalam laman data perdagangan yang dikelola Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations Commodity Trade Statistics Database (UN Comtrade). Harga bubur kertas jenis DWP sekitar USD 1,5 per kilogram atau lebih mahal 30-40 persen dibanding BHKP.

Kepala Balai Besar Pulp dan Kertas Kementerian Perindustrian, Saiful Bahri membenarkan bahwa harga DWP lebih mahal ketimbang BHKP. Perbedaan itu terjadi lantaran penggunaan produk DWP untuk bahan baku kain rayon, kosmetik dan lainnya.

“Lebih mahal dissolving karena bahan untuk rayon, prosesnya lebih lama/panjang,” katanya.

Di sisi lain, dalam laporan keuangan Sateri, perusahaan itu mengaku membeli bahan baku DWP dari DP Macao. Sementara, PT Toba Pulp, dalam laporan ke KLHK mengaku menjual produk BHKP kepada DP Macao.

Perbedaan ini membuat PT Toba Pulp terus-menerus membukukan keuntungan yang tak optimal selama periode waktu 2007-2009.

Di Indonesia, hanya ada dua perusahaan yang bisa membuat DWP, yakni PT Toba Pulp Lestari dan Asia Pacific Rayon (APR). Sesuai keterangan di laman resmi perusahaan, APR diketahui merupakan salah satu anak perusahaan Royal Golden Eagle (RGE), milik Sukanto Tanoto. APR baru memproduksi bubur kayu jenis DWP sejak 2017. 

Komplek pabrik PT Toba Pulp Lestari. (Foto: Indonesialeaks)

Komplek pabrik PT Toba Pulp Lestari. (Foto: Indonesialeaks)

Ketidaksesuaian Toba Pulp mencatatkan dokumen ekspor  dengan produk yang dijual, sejatinya selesai ketika pemerintah menjalankan program pengampunan pajak (tax amnesty).

Pada 27 Maret 2017, Toba Pulp menerima Surat Keterangan Pengampunan Pajak. Namun nilai harta yang dideklarasikan kala itu tak sesuai jika dibandingkan dengan nilai keuntungan yang diperoleh DP Macao.

Dalam surat pengampunan pajak itu disebutkan bahwa PT Toba Pulp menarik dana dari luar negeri sekitar USD 367 ribu atau setara Rp5 miliar. Uang tebusan yang mereka bayar sebesar Rp250 juta atau 5 persen dari nilai deklarasi harta.

Padahal, jika melihat dalam laporan keuangan Sateri, yang mendapat pasokan utama DWP dari PT Toba Pulp Lestari tahun 2008 saja, keuntungan yang disembunyikan mencapai ratusan miliar.

Atas temuan Indonesialeaks itu, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo enggan berkomentar.

“Kami terikat oleh aturan yang melarang mengomentari atau menyampaikan data wajib pajak secara spesifik,” tuturnya.

Pengamat pajak Yustinus Prastowo menilai Direktorat Jenderal Pajak sebenarnya bisa menagih sisa kurang bayar jika wajib pajak tidak membuat deklarasi harta sesuai dengan kondisi sesungguhnya. Ini sesuai Pasal 18 Undang-Undang Tax Amnesty.

Kata Yustinus, aturan itu mengikat seumur hidup dan tak mengenal istilah kadaluwarsa. Ia menyarankan Ditjen Pajak menelusuri setiap laporan untuk menguji benar-tidaknya profil keuangan setiap wajib pajak.

“Aturan tersebut mengikat seumur hidup dan tidak mengenal istilah kedaluwarsa,” ujarnya. 

red

Temuan Indonesialeaks ini memantik reaksi dari pihak berwenang.

Direktur Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Fadjar Doni Tjahjadi, mengatakan bakal mempelajari dan menelusuri dugaan manipulasi ekspor berupa pelanggaran aspek kepabeanan yang diduga dilakukan PT Toba Pulp Lestari. Salah satunya melalui pemeriksaan klasifikasi HS Code yang digunakan Indonesia dan Cina.

“Kalau terjadi sengketa penerapan HS Code, instrumen penyelesaiannya akan dibawa ke World Customs Organization,” ucapnya.

Kepala Sub-Direktorat Komunikasi dan Publikasi pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Deni Surjantoro, mengatakan ekspor produk bubur kertas wajib dilengkapi dokumen V-Legal sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 33 Tahun 2017.

Dalam dokumen itu, dicantumkan data tentang produk yang akan diekspor, seperti harga, uraian barang, termasuk HS Code.

“Dari sisi aturan bea, tidak ada potensi penghindaran kewajiban. Tapi pelaporan yang tidak benar akan berdampak pada penurunan omzet dan perhitungan pajak badan. Pelanggaran atas aturan itu bisa berdampak sanksi administratif atau pidana,” kata Deni. 

Cacahan kayu di pabrik PT Toba Pulp Lestari. (Foto: Indonesialeaks)

Indonesialeaks.id merupakan ikhtiar bersama sejumlah media di Indonesia untuk merespons temuan dan informasi yang berasal dari informan publik. Program yang dirilis dua tahun lalu ini menyediakan ruang kepada siapa pun untuk berbagi informasi yang layak ditelusuri melalui kerja-kerja jurnalisme investigasi. Informan boleh merahasiakan identitas dirinya demi alasan keselamatan.