Jim Adhi Limas, pendiri Studiklub Teater Bandung kembali ke Indonesia setelah 50 tahun menetap dan berkarir di Prancis. Foto: Widia Primastika.

SAGA

“Saya Tetap Orang Indonesia Meski Berteater di Prancis”

Jumat 23 Feb 2018, 10.13 WIB

KBR, Jakarta - Sore di Galeri Cemara, Jakarta, Jim Adhi Limas beradu peran dengan Teuku Rifnu Wikana dalam reading penggalan naskah Waiting for Godot karya Samuel Becket yang diterjemahkan Bhakti Sumanto. 

Jim berperan sebagai Vladimir dan Wika sebagai Estragon. Meski usia keduanya terpaut jauh, 81 dan 38 tahun, tapi kemampuan akting Jim tak kalah dengan aktor terbaik Festival Film Indonesia 2018 itu. 

Tanpa bantuan pengeras suara, saya yang duduk di barisan belakang mampu mendengar dengan baik apa yang diucapkan Jim.

Lepas pertunjukan, puluhan orang berkumpul untuk mendengarkan sesi Bincang Teater bersama Jim. Hadir di sana pengurus Dewan Kesenian Jakarta, para pelaku teater, dan penikmat seni teater. Ragam pertanyaan pun bersahutan. 

Pria berperawakan kecil itu, adalah pendiri Studiklub Teater Bandung (STB). Sudah lima minggu ia menginjakkan kaki untuk kali pertama di tanah kelahirannya Indonesia, setelah setengah abad berkarir dan menetap di Prancis. 

Tiba pada 9 Desember 2017 lalu, pria keturunan Tionghoa ini pulang ke rumah orangtuanya dulu di Jalan Kartini Nomor 19, Bandung. Setelahnya, ia bersafari mengungjungi teman-teman lamanya di STB –yang satu persatu telah meninggal. 

Saya pun baru bisa menemui Jim di malam pertengahan Januari lalu. Saat ngobrol, beberapa kali tersendat. Itu karena ia lupa bahasa Indonesia. Tapi meski begitu, Jim mengaku masih tetap orang Indonesia. 

“Tidak ada perubahan, saya tetap orang Indonesia yang 30 tahun lahir dan pendidikan dan menjadi besar di indonesia. Pengalaman terbagus tetap STB Bandung. Meskipun pengalaman film dan teater di Prancis,” ujar Jim ketika ditemui KBR di Galeri Cemara, Jakarta.

Kepulangan Jim ini rupanya tak lepas dari klub teaternya. Katanya, ia hendak memberikan dokumentasi berdirinya STB –yang menjadi cikal bakal seni teater modern Indonesia.  

Studiklub Teater Bandung sendiri lahir pada 1958 yang kala itu terbentuk hanya untuk merayakan HUT ke-10 Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung. Dimana sang rektor meminta kepada mahasiswanya menggelar malam drama. 

“Djajaprana ini ditulis jadi drama lima babak oleh penulis Belanda, namanya Jef Last. Jadi kami memilih drama itu karena sudah ada terjemahannya oleh Rosihan Anwar. Kami mementaskan di Museum Kristen Bandung,” kenang Jim.

Tak disangka, pertunjukan Djajaprana yang disutradai Jim mendapat pujian dari banyak orang. Atas dasar itulah, ia bersama enam teman kuliahnya beserta seorang wartawan Pikiran Rakyat yang sangat menyukai pementasan teater mereka, mendirikan STB. Sebuah kelompok teater profesional yang tak hanya berorientasi pada pementasan, tapi juga tempat memperdalam ilmu teater.

Selama delapan tahun STB terbentuk, setidaknya ada 30 drama dipentaskan. Baik adaptasi atau saduran dari drama-drama asing, maupun naskah-naskah Indonesia yang ditulis khusus oleh penulis Indonesia untuk STB.

Tak hanya itu, Jim juga dikenal sebagai kritikus teater di Koran Pikiran Rakyat. Di situ, ia tak jeri mengkritik Festival Film Cina. Tapi karena tulisannya, Jim dikecam orang-orang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Ini karena karya-karya dari negara komunis seperti Cina dan Soviet selalu baik.

Persoalan muncul kala kelompok teaternya sempat ragu mementaskan Hamlet karya Shakespeare. Sebab segala hal yang berbau Barat dianggap tak sesuai dengan Indonesia. Dua tahun mempersiapkan pertunjukan, Jim tak ingin kandas begitu saja. Ia lantas mengubah setting-nya menjadi keraton Jawa dan nama pemain utama jadi Jaka Tumbal.  

Gelaran Hamlet dengan gaya Indonesia itu berjalan mulus. Bahkan, pemain-pemain yang tadinya mengundurkan diri karena takut, turut membantu dari balik layar.

Dari 30 pementasan, nama STB mulai dikenal masyarakat. Hingga suatu waktu, Jim bertemu Pierre Labrousse dari Badan Kebudayaan dan Bahasa Prancis di Indonesia. Pierre mengaku suka dengan pertunjukan Jim dan teman-temannya. 

Lembaga itu lalu menawari Jim untuk meninjau teater di Paris. Mulanya Jim berpikir, tawaran itu hanyalah basa-basi belaka. Namun setahun kemudian, Pierre Labrousse datang lagi dengan membawa beasiswa untuk Jim dari Centre Regional Des Aeuvres Universitaires et Scolaires atau Pusat Regional Kegiatan Universitas dan Sekolah.

“Tapi setahun kemudian datang lagi orang itu, kemudian dia bilang saya dapat beasiswa untuk sembilan bulan meninjau ke Paris. Saya agak terkejut. Saya enggak percaya ada tawaran dari Prancis benar serius apa enggak. Ternyata serius.”  

red

Setelah menyelesaikan teater terakhirnya di STB dan mendapat restu dari rekannya, Jim terbang ke Paris. Tepatnya di musim gugur 1967. Saat itu ia berusia 30 tahun. 

Mulanya, selama sembilan bulan Jim di Paris untuk mencari data kegiatan bidang teater dari Comedie Francaise, Conservatoire atau Sekolah Pantomim milik Jacques Lecoq, serta meningkatkan keterampilan seni drama di Universite Internationale du Theatre de Paris yang dibiayai oleh UNESCO. Ternyata bakat teater Jim diakui di Paris, dan ia pun mendapat tawaran perpanjangan di Paris.

“Ada seorang wanita Rusia yang tanggung jawab atas grup, bilang saya bisa perpanjang. Saya bilang kalau 9 bulan ya bisa lebih lama karena saya dari jauh,” kenang Jim.

Tawaran perpanjangan tersebut, mampir dua kali. Di perpanjangan kedua itulah, Jim mulai diminta bermain di teater profesional untuk naskah tentang Aljazair karya seorang Prancis asal Afrika Utara, Jean Pelegri. Jim pun mendapat peran utama sebagai Slima dalam Slimane ou l’homme-cailloun (Slimane atau Orang Batu). 

Tahun berganti tahun, Jim terus mendapat tawaran dalam seni peran; teater hingga televisi, film, dan iklan. Sayangnya, kata Jim, tak banyak peran bagus yang bisa didapatkan orang-orang Asia. Sebagian besar pemain Asia hanya mendapatkan peran klise atau pemeran pembantu, tak pernah mendapat peran sebagai tokoh utama. 

Satu-satunya peran utama yang pernah ia dapatkan saat bermain dalam film La fee carabine (Peri yang bersenapan). Dalam film tersebut, Jim bermain peran sebagai seorang komisaris polisi keturunan Asia yang menyelidiki pembunuhan janda-janda tua di Belleville. Jim pun beradu peran dengan aktor terkenal Prancis, Fabrice Lucchini.

“Saya main peran utamanya, menjadi komisaris polisi. Dia (Fabrice Lucchini) jadi komisaris polisi. Karena yang dibunuh itu janda janda tua, saya diminta menyaru sebagai janda tua, saya pakai rambut palsu, pakai pakaian janda orang Vietnam tua seperti wanita. Dirias supaya ketangkep pembunuh itu. Itu termasuk film yang saya senangi sekali. Kira-kira tahun 1980an.”

Meski begitu, Jim tetap senang berperan di Prancis. Tak hanya di Prancis saja, kiprahnya di dunia seni peran merambah ke berbagai negara di Eropa. 

Jim mengenang salah satu serial televisi yang ia mainkan jelang pensiun, yakni serial The Young Pope, karya sutradara Italia terkenal Paolo Sorrentino, dengan pemeran utama Jude Law. Meskipun ia hanya mendapat peran pada 8 episode dari 10. Namun baginya, itu adalah capaian di kelas internasional.

“Fiction tentang bagaimana terpilihnya Paus baru yang ternyata nasionalisnya Amerika, jadi Kardinal Amerika. Dan itu satu seri yang panjangnya 10 kali 50 menit, jadi panjangnya 10 episode 50 menit dan  disiarkan oleh HBO di Amerika, oleh Sky di Inggris, oleh Cannal Plus di Prancis.” 

Kini, Jim telah kembali ke Prancis. Tapi bagi Teuku Rifnu Wikana, Jim tak kalah piawai dari aktor-aktor muda. 

“Pertama, ini orang 81 tahun kok bisa kuat banget gini ya pendengarannya? Masih bagus. Matanya masih bagus, apa sih hal yang membuat dia bisa seperti ini? Jarang sekali kan 81 tahun masih aktif,” ungkap Wika.

Begitu pula dengan Afrizal Malna, Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta. Ia pun menganggap Jim aktor yang patut diacungi jempol diusianya yang sudah tak lagi muda. 

	<td>Widia Primastika&nbsp;</td>
</tr>

<tr>
	<td class="current">Editor:&nbsp;</td>

	<td>Quinawaty&nbsp;</td>
</tr>
Reporter: