SAGA

Kardono, Baca dan Tulis dalam Gelap

"Mendung menggelayut di langit Sunter, Jakarta Utara. Lelaki hampir paruh baya itu mengetuk-ketukkan tongkat besi ke aspal jalanan. Gang menuju rumahnya ramai anak-anak. Sejumlah warga terlihat bercengkarama, petang itu. KBR68H menyapanya. Lelaki ini hidu"

Nurika Manan

Kardono, Baca dan Tulis dalam Gelap
difabel, tunanetra, sastrawan

KBR68H - Menulis cerita pendek, menceritakan suasana, menggambarkan latar cerita dilakukan laki-laki ini tanpa melihat. Mengalami kebutaan sejak kecil, jelas membuatnya susah untuk menulis laiknya orang normal. Tapi keterbatasan fisik tak menghalangi minatnya menekuni dunia sastra. KBR68H mengunjungi Kardono, seorang difabel yang tengah menggapai impiannya.


Mendung menggelayut di langit Sunter, Jakarta Utara. Lelaki hampir paruh baya itu mengetuk-ketukkan tongkat besi ke aspal jalanan. Gang menuju rumahnya  ramai anak-anak. Sejumlah warga terlihat bercengkarama, petang itu. KBR68H menyapanya. Lelaki ini hidup sebatang kara di ibukota. Agar bisa bertahan hidup, ia mencari uang lewat jasa pijat keliling.


“Nama saya Kardono, lahir di Pati, Jawa Tengah tanggal 15 Oktober 1966. Kegiatan sekarang, sebagai tunanetra, saya menjadi tukang pijat keliling. Muter-muter mencari pelanggan, sambil mengembangkan hobi menulis. Tadinya menulis puisi, saya kembangkan ke menulis cerpen,” katanya membuka pembicaraan.


Ruangan tempat tinggal Kardono luasnya sekitar 6 x 4 meter. Terlihat remang, karena pijaran cahaya hanya dari lampu kamar mandi. Ruangan yang disewanya tersebut terdiri dari ruang utama sekaligus tempat tidur dan kamar mandi.

Di sisi kanan ruangan terdapat seperangkat komputer dan radio yang sudah rusak. Komputer itu menjadi harta paling berharga. Komputer khusus untuk kaum tunanetra tersebut ikut membantu minatnya menekuni kegiatan sastra, membaca dan menulis. Komputer itu  ia dapat setelah menabung lima tahun.


“Akhirnya ini, baru sekitar tahun 2010. Saya harus nunggu waktu sekian lama. Ya ini, saya nyarinya sedikit demi sedikit. Saya tukang pijet keliling. Cuma karena senang (menulis) saja, kalau tidak, untuk apa duit dibuang-buang begini. Saya harus menunggu dari tahun 2005 sampai 2010, menunggu lima tahun baru bisa beli. Ini saja masih suka rewel-rewel. Akhirnya ada punya temen yang lagi nganggur akhirnya saya bayarin sekalian,” ceritanya.


Kardono mulai menekuni kegiatan menulis sejak 20-an tahun silam. Minatnya muncul berawal dari sebuah acara  radio di Kudus, Jawa Tengah yang disimaknya. Dalam acara di Radio Muria tersebut  pendengar boleh mengirimkan karyanya, baik cerpen maupun puisi. Lalu karya itu dibaca dan dikomentari oleh sang penyiar. Karya sastranya suatu waktu terpilih.


“Komentarnya waktu itu, sebagai penulis pemula ya puisinya masih polos. Dan ungkapan-ungkapannya belum puitis, masih ungkapan biasa, keseharian. Tapi jangan berkecil hati, saya disemangati. Terus menulis dan kirimkan ke sini (ke Radio Muria). Nanti akan coba kita ulas dan mudah-mudahan bisa jadi tempat pelatihan yang baik. Dan itulah yang saya turuti sampai akhirnya karya saya bisa tembus ke media massa,” jelasnya.

Berikut cuplikan karya sastra Kardono. “…Untuk mengetahui apa itu arti sangkala cukuplah kiranya kau membuka ingatan barang sedikit tentang masa lalumu, tepatnya masa kecilmu saat nenekmu atau kakekmu, atau bapakmu atau ibumu mendongeng tentang sesosok raksasa yang selalu dilanda kelaparan.”


Tak hanya di radio, karyanya berupa artikel, puisi dan cerita pendek beberapa kali dimuat di koran lokal Jawa Tengah dan Yogyakarta. Puisinya pun pernah terpampang di media sastra dan budaya terkemuka, Majalah Horison. Kebutaan yang didapat sejak kecil, memang terkadang menghambat saat mendeskripsikan apa yang ia tulis.  Namun hal itu tak membuat semangat menulisnya surut. “Makanya, itu adalah bagian tersulit bagi saya. Karena kalau deskripsi kan lebih mengarah ke penglihatan ya. Ya misalnya setting. Kadang saya itu, wah gimana ya. Makanya kadang saya mesti nanya sama orang,” ucapnya.

Kardono belajar sastra dengan cara meminta adik-adiknya membacakan karya sastra untuknya. Sumbernya bisa dari buku di perpustakaan sekolah, surat kabar sampai  radio. “Makanya hobi saya itu ya nyimak-nyimak. Itu kaset saya banyak sekali. Adik saya itu baca tak rekam, jadi kalau suatu saat saya perlu. Banyak sekali. Yang di sini juga ada saya ngerekam di radio-radio, buat referensi buat nambah wawasan. Selain cerpen, saya baca artikel politik juga, ngikutin itu juga. Yak karena seneng juga. Siapa tahu saya suatu saat pengen nulis juga,” bebernya.


Pria yang pernah mengecap bangku kuliah ini, mengaku sangat menyukai buku. Kardono sadar, membaca, bagi seorang penulis sama dengan mencari ruh untuk tulisannya. “Saya tu pengen jadi essais. Referensi bacaannya, paling tidak yang jelas bacaan-bacaan itu nanti akan berpengaruh ke daya kreasi kita. Itu secara sadar maupun tidak sadar, itu juga akan berpengaruh.”Belakangan, Kardono sempat putus asa. Usahanya menembus surat kabar nasional seperti tak ada hasil. Dari sekian karya cerpen yang dikirimkan tahun ini baru satu karya yang dimuat salah satu surat kabar nasional pada Januari lalu.
 
“Ketika saya coba melukiskan setting tertentu. Bahkan saya waktu itu dari membaca referensi itu, saya pernah membuat cerpen remaja yang berlatar belakang di Hongkong.Padahal saya nggak tahu apa-apa, cuma ada beberapa referensi objek wisata di Hongkong. Tapi nggak dimuat, tapi saya pernah coba itu. Ya bermula dari membaca. Harus banyak baca mba, referensinya harus banyak,” katanya.


Cita-citanya agar bisa diakui sebagai sastrawan yang menguatkannya untuk tetap menulis. “Walaupun ini cuma hobi, selain memberikan kesenangan. Siapa tahu bisa muncul di media massa, bisa mengangkat harkat dan martabat saya sebagai manusia yang tidak sekadar manusia tunanetra yang kurang berguna. Tetapi memiliki sedikit keunggulan yang bisa dibanggakan.”

Bagaimana sastrawan kenamaan menilai karya Kardono?

Belum Maksimal

“Ya, akulah Sangkala itu, akulah raksasa itu. Bapakku dewa, ibuku samudera. Aku bengis seperti api, aku kejam seperti waktu, aku liar,karena selalu dihantui rasa lapar.


Itu tadi petikan cerita pendek karya Kardono. Judulnya Sangkala. Cerpen itu memadukan kisah Batharakala dalam pewayangan dengan kehidupan masa kini kelas menengah atas. Cerita ini berakhir dengan tewasnya dua anak dari kelas menengah atas itu lantaran dimakan Si Batharakala.


Sastrawan kenamaan Nirwan Dewanto menilai cerpen itu. “Pertama tentu saja bahasa, bahasanya cukup baik dan bersih. Dan relatif tidak bermasalah. Artinya banyak sekali penulis yang membuat kalimat saja itu belum bisa. Artinya, tata bahasanya, akurasi dari ejaan-ejaannya, itu relatif tidak ada dalam cerpennya Kardono Sangkala. Jadi mestinya kemampuan bahasa yang mendasar sudah tidak ada masalah. Tapi sebuah cerpen itu kan lebih dari itu. Sebuah cerpen kan komposisi, bagaimana suatu cerita itu digarap dengan suasana yang tepat,” jelasnya.

Nirwan juga mengkritisi soal pembabakan cerita yang dinilai belum baik. “Cerita itu lebih lancar di bagian pertama. Dan cukup unik sebenarnya sudut pandangnya. Karena si aku-nya itu kan Batharakala, kan tokoh wayang tidak pernah ngomong aku, selalu diceritakan oleh pihak ketiga. Tapi begitu cukup lancar, lalu tiba-tiba jrek berhenti pindah ke bagian kedua jadi tidak lancar.“


Meski demikian Editor Rubrik Sastra Koran Tempo tersebut menilai kemampuan menulis Kardono belum sepenuhnya terlihat maksimal. “Justru menurut saya, kelebihannya itu harus dikeluarkan. Jangan-jangan itu ,malah memperkaya. Yaitu saya persepsi bagaimana cara dia melihat dunia. Saya tidak mengatakan dia harus menceritakan pengalamannya. Tapi dunia sekitar atau setting atau gambaran dunia yang dia lihat menurut caranya sendiri itu seperti apa. Menurut saya itu justru harus dikatakan. Akan sangat menarik jika Mas Kardono itu menggambarkan benda-benda sekitar,“ katanya.

Terlepas dari kekurangannya, semangat Kardono menulis  mendapat acungan jempol. Kembali Sastrawan Nirwan Dewanto menuturkan,“Untuk Mas Kardono ini kan sudah luar biasa, bahwa dia dengan kondisinya itu mengerjakan karya-karya tulisan cerita. Ya artinya tidak menyerah dengan kondisinya. Sikap tidak menyerah pada kondisinya itu layak diapresiasi tinggi-tinggi. Dan kalau saya boleh berharap, jangan-jangan dia punya kelebihan yang tidak kita punya. Bagaimana dia mempresepsikan dunia visual tapi menurut cara dia, karena dia tidak melihat itu. Dan itu harus digali, digarap oleh beliau sendiri. Ya sama dengan penulis-penulis yang lain, penulis yang lain itu kan juga perlu latihan. Dia tentu membaca, tapi kemudian kan dia mempresepsikan itu lagi menurut dia.”


Kardono sangat senang menerima kritik dan masukan dari orang lain. Dengan demikian ia bisa mewujudkan cita-citanya menulis karya sastra yang bermutu dan dibaca khalayak. “Seneng banget mbak saya menulis itu. Karena ya waktu itu sebelum saya menemukan dunia saya itu saya kan masih bingung. Tapi ooh ternyata menulis itu juga bisa menghasilkan duit ya. Terus saya itu berkomitmen untuk bisa menghidupi diri saya dari menulis. Walaupun kemudian ternyata menulis ini ya menghabiskan otak ,” katanya seraya tertawa.

Temannya sesama difabel juga memberi sokongan kepada Kardono. Seperti dituturkan Yuniarti. 

“YUNI: Ya kalau pas waktunya siang ya istirahat untuk keliling nanti malamnya. Nanti kalau sudah keliling, itu biasanya dia cari-cari artikel trus menyempatkan untuk nulis.
KBR68H: Memang suka baca ya mba, Mas Kardono?
YUNI: Iya, dia memang suka cari-cari artikel.
KBR68H: Sering liat Mas Kardono baca di komputer bicaranya?
YUNI: Wah sering sekali. Makanya sering saya ganggu kalau pas lagi nyimak itu. Kebetulan pas dia lagi nyimak artikel-artikel itu, langsung saya panggil, nanti dia hentikan sebentar gitu.”
Nur Jannah, karibnya yang lain, ikut menimpali.  “Ya mudah-mudahan berhasil sih mbak. Dia kan hobinya nulis, bikin puisi. Saya dukung terus sih mbak. Mas udah maju terus, jangan mudah putus aja.”

(Ika, Fik)

  • difabel
  • tunanetra
  • sastrawan

Komentar (1)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • Ali3 years ago

    Dapatkah saya tau alamat bapak kardono