Article Image

SAGA

Pergumulan Penyintas Kusta Lawan Stigma dan Berdaya

Dua penyintas kusta Agus Wala (kiri) dan Mustari (kanan) di Sekretariat Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata), Kota Makassar, Sulawesi Selatan. (Foto:KBR/Nurdin)

Pengantar: 

Hari Kusta Sedunia diperingati saban Januari. Itu artinya, penyakit yang sudah ada sejak berabad-abad lampau ini masih jadi ancaman, walau kasusnya terus berkurang. Di Makasar, Sulawesi Selatan, tercatat ada temuan 107 kasus kusta pada 2020 lalu, tiga di antaranya dalam kondisi cacat. Meski jumlah penyintas makin bertambah, mereka tetap dibayangi oleh stigma, diskriminasi dan kemiskinan. Jurnalis KBR Nurdin Amir berbincang dengan dua penyintas kusta di Kota Daeng tentang pergumulan mereka untuk pulih dan hidup mandiri.

KBR, Makassar - Suara peluit Mustari memekik setiap ada kendaraan masuk untuk parkir. Sudah sekitar 15 tahun, ia menjadi juru parkir di kawasan Jalan Veteran Utara, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. 

Tak banyak pekerjaan yang bisa dilakoni orang yang pernah menderita kusta seperti dirinya. 

Selain jadi juru parkir, Mustari juga mengayuh becak. Pendapatannya per hari sekitar 150 ribu rupiah untuk memenuhi kebutuhan istri dan empat anak. 

“Memang tidak ada yang menerima kita yang mengalami kusta. Sangat sulit. Parkir kan tidak terlalu dibebani, kalau kantor kan memerlukan ijazah. Sedangkan kita kan tidak memenuhi standar ijazah. Kalau yang sudah cacat tingkat tiga ini susah mau bekerja di kantor,” kata Mustari.

Pria 54 tahun ini terjangkit penyakit kusta saat duduk di bangku SMP di Polewari Mandar, Sulawesi Barat. Namun, kurangnya pemahaman membuat Mustari terlambat ditangani.

"Ada belang-belang, plak-plak di tubuh saya. Waktu itu saya belum kenal kusta. Membiarkan penyakit itu berkembang. Nanti inkubasinya dua sampai tiga tahun baru terasa. Waktu saya di SMA, saya merasa nyeri dan saya periksakan ke dokter, ternyata saya divonis kusta,” ujar Mustari.

Mustari bekerja sebagai juru parkir dan tukang becak. Penyintas kusta seperti dirinya sulit mencari pekerjaan. (Foto:KBR/Nurdin).

Di era 80-an kusta atau lepra masih dianggap kutukan dan sulit disembuhkan. Pengucilan dan stigma meruntuhkan kepercayaan diri Mustari. Apalagi dalam sejarah keluarganya, tidak ada satupun yang pernah menderita kusta.

“Waktu itu terganggu saya punya pemikiran. Akhirnya saya tinggalkan sekolah-ku itu dan pergi merantau ke Palopo. Stigma kusta masih ada. Saya tinggal sama orang (dititipkan). Saya pikir untuk menjaga keluarga itu, makanya saya tinggalkan,” kenang Mustari. 

Di Palopo, Sulawesi Selatan, Mustari diterima warga sekitar. Ia pun menjalani pengobatan. Sayangnya, kurang disiplin. 

“Kempes bagian tangan karena tidak teratur. Pengalaman saya berobat itu putus-putus. Kadang saya minum kadang tidak,” tutur dia.

Dukungan penuh orang terdekat mendorong Mustari terus berjuang melawan kusta sampai sembuh. Ia kemudian pindah ke Kompleks Kusta Jongaya, Makassar. 

“Diberi dorongan (berobat) dari istri saya, bahwa penyakit kusta itu tidak apa. Dia kan orang sehat. Saya jalani, saya kembali ke Makassar. Tahun 2000, saya masuk ke sini bersama anak dengan istri,” ujar Mustari, 

Kompleks Jongaya sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda pada 1936. Kompleks ini dibangun di atas tanah wakaf pemberian bangsawan Kerajaan Gowa. Kala itu memang ditujukan untuk penderita kusta yang dikucilkan masyarakat.

Baca juga: Lewat Seni, Berdayakan Penyandang Skizofrenia

Suasana Kompleks Jongaya, yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda pada 1936. Dulu kompleks ini ditujukan untuk penderita kusta yang dikucilkan warga. (Foto:KBR/Nurdin).

Kini, Kompleks Jongaya dihuni 400 jiwa dari 70 keluarga, termasuk Mustari dan penyintas kusta bernama Agus Wala. 

Agus divonis menderita kusta saat remaja. Sejak itu, stigma dan diskriminasi selalu menghampiri. 

“Selalu bilang karena ini angin atau guna-guna (ilmu sihir). Bahkan dalam keluarga pun tidak ada yang terima. Orang kampung paling takut yang namanya Kandala (penyakit kusta). Akhirnya saya terlambat (berobat),” kata Agus. 

Keluarga merahasiakan kondisi Agus lantaran status orang tuanya sebagai kepala dusun. Pada 1988, Agus nekat berobat ke Rumah Sakit Kusta Daya Makassar. Namun, karena kondisi yang sudah parah, kaki Agus harus diamputasi. 

“Bahkan saya di rumah sakit itu sudah hampir keluar masuk dari tahun 1988 sampai saya diamputasi baru saya tidak masuk rumah sakit (lagi),” tuturnya.

Sehari-hari Agus bekerja sebagai buruh bangunan. Pada 2007 silam, pria 48 tahun ini bersama Mustari dan penyintas lain di Jongaya mendirikan Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata) Makassar.

Baca juga: Akses Pendidikan untuk Asa Masa Depan Anak Pemulung

Ketua Perhimpunan Kusta (Permata) Makassar, Agus Wala. (Foto:KBR/Nurdin)

Lewat organisasi itu, para penyintas ingin mengedukasi masyarakat bahwa kusta bisa disembuhkan.

“Pada 2000, stigma masih banyak. Orang memberi uang itu dilempar-lempar. Dengan lahirnya Permata, kita menerobos ke pemerintah, ke masyarakat, ke berbagai kalangan untuk mempromosikan bahwa kusta bisa sembuh tanpa mengalami cacat, jika segera diobati,” terang Mustari.

Permata juga ingin menyetop stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta maupun penyintas.

Agus Wala selaku Ketua Permata menyebut masih banyak penyintas kusta yang terpaksa mengemis untuk menyambung hidup.

“Sebenarnya tidak ada yang mau mengemis. Cuma karena punya anak dan istri untuk dihidupi terpaksa lakukan itu. Memberikan bantuan kepada mereka, supaya bisa hidup layaknya. Kalau yang ada anaknya, tolong diberdayakan. Carikan pekerjaan,” harap Agus.

Tak jarang, Agus ikut mencarikan rekan-rekannya pekerjaan. Ia menegaskan bahwa penyintas kusta mampu berdaya dan mandiri seperti warga lain.

“Artinya betul-betul inklusif. Jangan cuma dikatakan, tapi muncul pada masyarakat bahwa sesungguhnya orang yang pernah mengalami kusta itu bisa melakukan apa yang bisa dia lakukan,” pungkas Agus.

Penulis: Nurdin Amir

Editor: Ninik Yuniati