Article Image

SAGA

Karena Konflik, Persaudaraan Itu Terputus

Ngarjani, warga Desa Pohlandak, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, mulai mendulang pada 2003. Foto: Ria Apriyani.

KBR, Jakarta - Pria itu mencoba menghubungi satu nomor dari telepon genggamnya, tapi tak ada jawaban. Dia lantas bergegas mengembalikan gawainya ke saku. Katanya, sudah dua minggu nomor itu belum bisa dihubungi.

Ngarjani menyebut pemilik nomor itu sebagai saudara. Namanya Enis Magay –warga dari Distrik Ilaga yang belasan tahun terakhir menyewakan lahan pendulangan emas di area tambang PT Freeport kepadanya.

“Kami di situ berlindungnya sama suku yang ada di sana. Sempat selama saya tinggal satu bulan, yang mengamankan orang-orang situ. Kami bersyukur penghidupan tiap hari, makan, tidur, dia (Enis Magay) yang mengawal. Jadi macam keluarga sudah,” ujar Ngarjani. 

Ngarjani bukan orang baru di bisnis pendulangan. Sudah 13 tahun ia mendulang ampas dari produksi perusahaan asal AS tersebut. Aturan mainnya pun kala itu, tak ada bayar sewa kepada warga setempat. Barulah pada 2014, ada sewa-menyewa. 

Pria 53 tahun ini, sudah belasan tahun mendulang di tempat yang sama dan dengan penyewa yang sama pula. Dia juga bercerita, jarang ada perselisihan antara pendulang dan warga asli Papua. 

“Sempat ada yang memecah kami. Tapi orang itu (penyewa) baik, kumpul sama saya enggak ada gejolak. Selama tinggal di situ, keluarganya (Enis Magay) menjaga saya sama teman-teman saya.”

Ngarjani malah pernah mendorong seorang warga desa agar menyekolahkan anaknya di Pulau Jawa. Dan Ngarjani pun bersedia membantu mengurus sekolah hingga tempat tinggal.  

red

(Lokasi para pendulang ampas emas Freeport di aliran Kali Kabur. Di bibir kali, tenda-tenda pendulang didirikan. Foto: Samuel.)

Meski begitu, ketegangan biasa terjadi hanya saat seorang pendulang baru, masuk ke kawasan itu. Samuel Yudroko, pendulang asal Demak, merasakannya. Pada 2010 ketika berstatus ‘anak baru’, ruang geraknya terbatas. 

“Kalau masyarakat sana, lihat pendatang kayak gimana gitu. Kedatangan kita kayak mengusik mereka,” kenang Samuel. 

Meski begitu, selama di sana, Samuel tak pernah adu fisik dengan warga. Pun ketika perang suku terjadi, pendatang tak pernah diusik selama tak ikut campur.

Para pendatang terbiasa hidup berkelompok dan bergabung dengan teman se-daerah, atau yang berangkat bersamaan. Samuel sendiri biasa berkelompok dengan sepuluh orang Demak lainnya. Mereka berbagi tenda, patungan uang sewa, dan bergantian membeli bahan makanan di kios-kios.

Jauh dari keluarga, para pendulang mau tidak mau mesti bergantung satu sama lain dan pada warga asli Papua. Dari merekalah Ngadirin, seorang pendulang asal Rembang, belajar mengonsumsi Papeda sebelum punya uang membeli beras. Sekali waktu ia pernah terserang malaria. 

Baginya, orang Papua memiliki jiwa sosial yang tinggi. Bahkan, kadang melebihi sesama pendatang.

“Dulu itu saya datang ke sana, tidak kenal. Itu saja dikasih makan dan tidur. Kalau tidak ada selimut, dikasih selimut. Belum ada tempat, suduh tinggal di rumahnya situ,” kenang Ngarjani. 

Mereka pun tak paham mengapa belakangan disebut sebagai ancaman dan pembawa masalah oleh Polri. Hal itu dikatakan Kapolri, Tito Karnavian, ketika Polisi-TNI memulangkan paksa para pendatang ke daerah asal. Ini dilakukan setelah aparat memukul mundur TPN/OPM setelah sebulan menguasai tiga kampung di sana; Kimbeli, Utikini, dan Banti. 

Kapolri Tito pun menyebut, pemulangan pendatang itu sebagai ajang bersih-bersih area tambang dari pendulang ilegal. Akan tetapi, pernyataan Tito tersebut membingungkan mereka. Sebab, mengapa baru sekarang semua itu dipersoalkan. Sementara orang-orang seperti Ngarjani, Ngadirin, dan ratusan pendatang lainnya sudah berulang-kali bolak-balik ke kawasan sejak belasan tahun.

Belasan tahun mendulang secara ilegal, tak pernah sekalipun mereka dilarang ataupun diusir. Tapi malam di tanggal 21 Oktober itu, insiden pengisolasian dimulai. Pertama kalinya, sejak menginjakkan kaki di Papua, mereka merasakan suasana mencekam. 

Aparat keamanan masuk ke Desa Kimbeli yang sebulan diisolasi TPN/OPM.

Selama itu, aktivitas mendulang ampas emas dari produksi PT Freeport terhenti. Para pendulang juga tak bisa ke Tembagapura karena akses jalan dihadang TPN-OPM. Kelompok itu berkumpul di bekas pos penjagaan Desa Utikini, menghadang orang yang keluar-masuk.

Hal itu menurut komandannya Hendrik Wanmang, demi menghindari kontak senjata dengan aparat Polisi-TNI. 

"Masyarakat dalam keadaan aman. Mereka berkebun, mencari, berjualan, bebas. Tidak ada yang menghalangi," kata Hendrik dalam video yang direkam dan diunggak ke Facebook. 

Tiap hari, Samuel memantau kondisi. Dia mencoba mencari celah agar keluar dari pengisolasian yang dilakukan TPN/OPM. Untuk bertahan, ia makan seadanya. Ketika itu, kios-kios kelontong masih menjual bahan makanan. Mereka bertahan dengan beras, mi instan, dan bahan lainnya yang terbatas.

Pada Minggu malam, 29 Oktober. Samuel tak ingat persis jam berapa, tiba-tiba saja pintu-pintu digedor. Menurut dia, pasukan TPN/OPM memaksa masuk dan menggeledah seluruh bangunan. Mereka membawa senjata api dan senjata tajam. Beruntung, ia tak menerima kekerasan. Pun teman-temannya sesama pendulang.

red

(Aparat keamanan memasuki tiga desa di area Freeport yang sebulan lamanya diisolasi kelompok TPN/OPM. Foto: Samuel.)

Hampir satu bulan Samuel dan ratusan pendatang lainnya terkunci di sana. Hingga Jumat 17 November pagi, terdengar letusan satu kali. Ia tahu itu tembakan peringatan. 

Masyarakat juga pendatang lalu diminta berkumpul jadi satu di Koramil Desa Banti. Di situ mereka dikelompokkan kemudian diarahkan berjalan kaki sekitar 500 meter dari Utikini.

“Kami menunggu anggota (polisi) turun dari gunung. Ada baku tembak. Lalu ada 12 bus penjemputan. Penjemputan pertama sampai kedelapan enggak ada baku tembak. Saya ada di bus pertama,” jelas Samuel. 

Setelahnya, Samuel dan ratusan pendatang dibawa turun ke Tembagapura, area mil 68. Di sana mereka diinterogasi aparat keamanan.

“Dibawa ke mil 68 untuk diinterogasi. Ditanya apakah ada yang pernah disakiti atau dirampas? Didata semuanya. Itu sebentar saja di mil 68. Sorenya sudah turun ke Timika,” sambungnya. 

Samuel dan ratusan orang lainnya lantas dititipkan kepada paguyuban Orang Jawa di Timika. Mereka menumpang tinggal di sekretariat sampai akhirnya dipulangkan dengan ongkos pemerintah daerah masing-masing beberapa hari kemudian.

Dua minggu di rumah, Samuel mengaku masih sulit tidur. Kejadian di Papua masih terbayang-bayang dan menyisakan trauma. 

Namun begitu, versi lain justru diceritakan salah seorang warga Banti, Martina. Menurut dia, kawasan Banti, Utikini, dan Kimbeli justru diisolasi oleh TNI dan Polri. Warga dihadang masuk Tembagapura dan semua bahan makanan yang dibeli diawasi ketat.

Di hari evakuasi dilakukan, aparat keamanan hanya membawa para pendatang yang bekerja sebagai pendulang ilegal dan penadah emas. Sejumlah orang Papua ikut dibawa turun, tapi menurut Martina mereka bukan penduduk asli tiga desa. 

Sementara Peneliti Yayasan Pusaka, Franky, mencurigai isu penyanderaan oleh TPN/OPM cuma dimanfaatkan sebagai kambinghitam bersih-bersih kawasan itu dari para pendatang. Sebab, area yang puluhan tahun menjadi tempat operasi pendulangan ilegal itu, masuk kawasan tambang PT Freeport.


Baca juga: Para Pelimbang Liar Ampas Emas Freeport 

	<td>Ria Apriyani&nbsp;</td>
</tr>

<tr>
	<td class="current">Editor:&nbsp;</td>

	<td>Quinawaty&nbsp;</td>
</tr>
Reporter: