SAGA

[SAGA] 'Komunisme Itu Kayak Liverpool. Pernah Hebat, Sekarang Enggak Relevan'

[SAGA] 'Komunisme Itu Kayak Liverpool. Pernah Hebat, Sekarang Enggak Relevan'

KBR, Jakarta - Gelak tawa pecah dari ruang auditorium Abdurrahman Saleh, Gedung RRI, Jakarta, Sabtu sore lalu. Tujuh ratusan orang terpingkal tiap kali menyimak bit atau lelucon yang ditembakkan seorang komika.

“Takut sama komunisme bangkit. Sekarang gini, kalau lu takut komunisme bangkit, di kepala lu tanamin gini; komunisme itu kayak Liverpool. Pernah hebat, sekarang enggak relevan. Lalu komunis dianggap bahaya laten. Di sini ada yang menganggap Liverpool itu bahaya laten? Tentu tidak,” seru Rindradana berstand-up comedy di atas panggung.


Dia adalah Rindradana. Dan itu hari menjadi pertunjukkan tunggalnya. Di atas panggung, sesekali ia meneguk botol air yang diletakkan di sebelahnya sembari menyeka keringat.


Dengan gayanya lugas dan agak terbata-bata, Rindra kembali menembakkan punchline-punchline yang berkisar tentang stigma, agama, dan segala hal yang dianggap tabu untuk dibicarakan.


Saya menyaksikan dua jam pertunjukan Rindra. Semua kursi penuh terisi. Dan Sabtu itu, ia tampil dua kali; siang dan malam.


Sejumlah syarat pun diberlakukan ketika menonton. Pertama, tak dibolehkan mengambil gambar atau merekam dengan telepon genggam sepanjang acara berlangsung. Kedua, begitu memasuki ruang auditorium telepon genggam harus dimatikan. Jika ada yang melanggar, panitia berhak menghentikan acara secara sepihak.


Tata tertib itu sengaja diberlakukan demi menghindari ketidaksukaan sejumlah orang –yang mengutip kata Rindra di Twitter, mereka yang merasa tidak semua hal bisa dibecandain. Apalagi belakangan dua komika; Joshua Suherman dan Ge Pamungkas dilaporkan Forum Umat Islam Bersatu ke polisi.


Rindradana mulai mengenal dunia standup comedy pada 2012. Sejak itu, ia merasa bertemu jodoh. Medium dimana dia bisa menumpahkan keresahannya yang selama ini cuma jadi candaan di lingkungan pertemanan.


Dari awal, isu SARA memang selalu jadi tema besarnya. Sebabnya dia gerah melihat agama dijadikan alat menuduh orang sebagai penista, sesat, dan kafir. Akibatnya, banyak orang takut membahas hal itu di ruang publik karena ngeri jadi sasaran pelaporan ke polisi. Kritiknya juga tak hanya berhenti di fanatisme agama. Ada pula tentang aborsi atau penutupan kawasan prostitusi Dolly di Surabaya.


Dan yang menjadi pemantik tawa para penonton, ketika Rindra menyindir homophobic.


“Takut sama homo. Homo homo homo! Homo itu katanya penyebar penyakit dan bertanggungjawab pada penyebaran setengah penyakit kelamin di dunia. Kalau setengahnya disebarkan sama homo, yang setengahnya lagi sama siapa? Ya sama yang enggak homo lah. Gimana sih?! Kenapa harus takut sama homo? Orang sama-sama nyebarin penyakit,” seru Rindradana berstand-up comedy di atas panggung.


Bagi Rindra, ada banyak topik yang ogah dibicarakan masyarakat. Padahal, sikap menghindar itu justru berbahaya. Melalui lelucon, ia berharap kritik bisa tersampaikan tanpa melukai perasaan.


“Enggak perlu jadi Tuhan buat orang lain. Kalau sudah kaku begitu, kita jadi mengesampingkan hal-hal yang patut dibahas. Buat saya, jalan yang tepat adalah menganggap SARA itu bukan sesuatu yang serius-serius amat. Kita berdamai dengan diri kita aja," tukasnya.


"Dengan kita bisa menertawakan sesuatu yang tabu, kita akan menyikapi sesuatu lebih santai. Tidak merasa benar karena beda pandangan, tidak merasa kecil karena minoritas. Kita berdamai dengan keadaan-keadaan yang membatasi kita bisa akrab sebagai masyarakat,” sambung Rindra.


Lima tahun menekuni standup comedy, dia sadar materi yang dibawakannya riskan. Beberapa kali Twitternya diserang dengan tudingan penghinaan dan diancam dibunuh. Selain Rindra, dua komika lain yakni Ge Pamungkas dan Joshua Suherman mesti berurusan dengan polisi lantaran materinya dianggap menghina agama Islam. Pihak yang mengatasnamakan Forum Umat Islam Bersatu itu melaporkan keduanya ke Bareskrim Polri.


Hal itu bermula dari video Ge Pamungkas dan Joshua yang viral di media sosial. Belakangan, ribuan cuitan dengan #BoikotGePamungkas dan #TangkapGedanJoshua bermunculan.

 

Hingga muncul perdebatan, apakah materi yang disampaikan Rindra, Ge, dan Joshua, bisa dikategorikan menghina agama?


Ramon Papana, salah satu pelopor standup comedy di Indonesia, mengatakan tidak ada batasan mengenai materi yang boleh dibawakan seorang komika. Hanya saja, seorang komika memang harus lihai mengolah bahan-bahan yang sensitif.


“Ini disebut juga personal comedy. Artinya yang dia bawakan isi hatinya dia, curhatnya dia, pengalaman hidupnya dia, pribadinya dia. Sangat personal. Di Amerika disebut smart comedy. Dia sampaikan isi hati dia dengan kecerdasan dan itu jadi bahan tertawaan orang, orang terhibur,” jelas Ramon ketika dihubungi KBR.


“Dengan kecerdasan seseorang bisa mengungkapkan perasaannya tanpa menista orang lain atau menyakiti orang lain. Kita kenal eufemisme, penggantian kata, pelembutan kata,” tambahnya.   


Seorang komika juga menurutnya, perlu menakar siapa audiens yang akan menyaksikan penampilannya. Menurut Ramon, biasanya setiap komika memiliki target audiens masing-masing. Dalam kasus Joshua dan Ge Pamungkas, hal itu jadi masalah ketika diunggah ke media sosial sehingga target audiens tidak lagi bisa dikontrol. Karena itu, akan sulit mengendalikan kemungkinan menyinggung seseorang.


Terlepas dari persoalan menghina atau tidak, dua jam pertunjukan tunggal Rindradana berjalan mulus. Tak ada cibiran, ujaran kebencian, maupun pelaporan polisi. Salah seorang penonton, Dika, menyikapi rentetan sindiran yang disampaikan Rindra di panggung dengan santai.


“Ketawa aja. Sebenarnya kalau di tongkrongan candaannya pasti keras. Tergantung orangnya aja nanggapinnya gimana,” ucap Dika.





Editor: Quinawaty

 

  • komika
  • standup comedy
  • rindradana
  • joshua suherman
  • lelucon
  • tabu
  • menghina agama
  • penodaan agama
  • komunisme

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!