Reporter: | Eli Kamilah, Ninik Yuniati |
Editor: | Quinawaty |
“Kapten bilang nyebur-nyebur. Tapi saat itu posisi di bawah dek, di luar ada satu keluarga yang nggak mau nyebur. Bapaknya gendong bayi, ibunya bawa dua anak."
Foto: Antara
Senin, 30 Januari 2017
KBR, Jakarta - “Pulang kerja kalau sore itu kayak mayat, lemes. Ya sehabis kecelakaan nggak istirahat. Tapi kita kasih kebijaksanaan juga ya, karena mamanya (majikan-red) jadi korban juga,” ujar Partni ibu Dewi Wahyuni.
Partini menceritakan kondisi sang anak; Desi Wahyuni. Di rumahnya yang terletak di kawasan Mangga Besar, Jakarta Pusat, perempuan sepuh ini begitu mencemaskan anaknya. Bagaimana tidak, pasca kejadian mengerikan yang terjadi awal tahun baru, Desi, masih harus bekerja. Tapi selang sepekan, Desi tak tahan lagi dan akhirnya meminta izin. Oleh dokternya, ia mesti istirahat selama dua hari.
Insiden yang menimpa Desi dan keluarga majikannya, sungguh tak diduga. Pagi, 1 Januari 2017, Desi bersama empat keluarga majikannya, pengasuh dan satu rekan kerjanya hendak ke Pulau Tidung, Kepulauan Seribu; berlibur.
Seperti biasa, begitu sampai di Kali Adem, Muara Angke, mereka membeli tiket untuk tujuh orang. Di tiket tertera, kapal yang bakal ditumpangi; Zahro Express. Tak lama, rombongan Desi, memberi tiket pada salah satu ABK dan dipersilakan naik kapal. “Sampai di Muara Angke kita langsung disuruh masuk. Ini bang 7 orang, karcis langsung dikasih abangnya, kita langsung duduk aja di bawah dek nggak pakai nomor langsung duduk aja,” kata Dewi.
Kapal yang dijadwalkan berlayar pukul 07.00 pagi, rupanya molor sejam. Saat hendak meninggalkan dermaga, tak ada pula imbauan agar memakai jaket pelampung. Namun baru beberapa waktu kapal melaju, Desi merasa ada yang tak beres. “Jalan kayak nggak jalan. Ini sudah jalan belum sih kapalnya.”
Desi duduk di dek bawah --persis di samping ruang mesin kapal. Di situlah, ia mendengar dentuman kecil. "Kita duduk di barisan belakang dekat mesin. Mamanya, saya, suster sama teman saya si Ratna. Terus kedengaran mesin bunyi bletak. Eh makin lama keluar asap putih, dari asap putih mulai jadi hitam, mulai pada panik."
Melihat kepulan asap, penumpang yang berada di dek bawah, panik, lalu seketika memaksa keluar. Desi merasakan matanya pedih dan sesak nafas. Saling dorong pun tak terhindarkan di tengah tebalnya asap. Desi hampir saja pingsan, tapi akhirnya ia bisa keluar dek karena terdorong penumpang lain. Meski tanpa pelampung dan tak bisa berenang, ia lantas nekat terjun ke laut.
“Sampai kemudian aku keluar kedorong-dorong orang. Terus pas berhasil keluar, aku diam kayak orang bingung. Di situ sudah ada api, sudah berebut pelampung. Terus aku lihat air, aku nggak bisa berenang,”
- kenang Desi.
(Dua korban selamat dari kecelakaan terbakarnya kapal motor Zahro Express menunggu keluargan mereka yang masih hilang, di Rumah Sakit Atma Jaya, Jakarta Utara, Minggu (1/1).)
Entah berapa lama Desi terombang-ambing, hingga akhirnya berpegangan pada gabus yang mengambang di laut. Saat itu, Desi hanya melihat seorang temannya, sang majikan beserta suami dan anaknya. Namun ia tak melihat keluarga majikannya yang lain; yakni ibu, saudara majikan pun pengasuh keluarga tersebut. Hingga belakangan, ibu majikan dan pengasuh ditemukan –tewas terpanggang.
Desi dan puluhan penumpang lainnya kemudian diselamatkan kapal pengangkut sampah. Saat saya bertanya bagaimana keadaan di kapal, sebelum Desi memutuskan terjun. Dia terdiam sejenak. Memejamkan mata dan mengingat serpihan peristiwa yang merenggut salah satu keluarga majikannya. “Kan yang di atas sudah pada pakai pelampung, kenapa ke bawah semua? Tapi memang salahnya nggak pada mau nyebur.”
Salah satu Anak Buah Kapal (ABK) Zahro Express, Misan, tahu ada yang tak beres di dek bawah dari salah satu penumpang. Si penumpang itu, melapor ada asap dari ruang mesin. Misan –yang saat itu berada di dek atas, hendak ke ruang mesin. Tapi belum juga sampai, terdengar bunyi dentuman.
“Ada laporan dari salah satu penumpang. Mas-mas ada asap terbakar. Saya bilang kapten. 'Kapten ada asap kebakaran'. Kapten langsung lari liat kondisi mesin. Saya mau masuk ke dalam, tapi penumpang pada keluar. Saya arahin ke atas dek. Langsung dievakuasi tuh. Asapnya muncul dari dalam mesin,” ungkap Misan.
Misan masih ingat, api begitu cepat menyambar dari arah belakang . Detik itu juga, ia dan kapten kapal Zahro Express, Muhamad Nali, membagikan jaket pelampung –berharap penumpang mau menyeburkan diri ke laut. Tapi banyak penumpang justru tertahan di pinggir kapal. Padahal api kian membesar.
“Kapten bilang nyebur-nyebur. Tapi saat itu posisi di bawah dek, di luar ada satu keluarga yang nggak mau nyebur. Bapaknya gendong bayi, ibunya bawa dua anak. Feeling saya 3 tahun dan 6 tahun. Itu mereka penumpang terakhir. Mereka nggak mau nyebur, tapi sudah pada pake life jacket,”
- kata salah satu ABK Zahro Express, Misan.Misan, masih syok. Sebab, sebelum berangkat, tak ada masalah di mesin. “Mesin itu di dalamnya bahan bakarnya Solar. Kalau Solar, ada api butuh waktu api membesar, nggak langsung nyamber. Ini beda, saya nggak tahu deh, ini beda ketika kebakar, cepat. Satu kapal itu habis . Saya juga nggak ngerti, bingung.”
Pasca kejadian nahas itu, kapten Zahro Express ditetapkan sebagai tersangka atas pasal kelalaian. Hukuman 10 tahun penjara menunggu. Tapi, persoalan tak berhenti di situ. Sebab belakangan diketahui jumlah penumpang di kapal dengan manifest di Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Muara Angke, berbeda. Dalam manifest tercatat 100 orang, tapi di atas kapal jumlahnya sekitar 230 orang.
Membengkaknya jumlah penumpang itu lantaran ada limpahan penumpang dari kapal Hasbi Jaya dan Dolphin sekira 60 orang. "Sebenarnya saat Zahro mau berangkat, kan nungguin kapten yang lagi melapor. Tanpa sengaja, penumpang Hasbi Jaya, mau masuk kapal, karena dari pengakuan sudah over load kemudian minta dinaikin ke Zahro Ekspres.”
Misan mengakui, semestinya kapten Muhamad Nali melaporkan penambahan penumpang itu ke KSOP. Sial, urung dilakukan –alasannya sudah menjadi kebiasaan.
Terbakarnya kapal Zahro Express masih diselidiki Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Kepala Subkomite Investigasi Kecelakaan Pelayaran, Aldrin Dalimunte, menyebut KNKT membawa dua dinamo dari olah tempat kejadian perkara bangkai kapal. "Barang bukti ini akan kami perdalam lagi dan akan perdalam lagi dan akan kami bawa ke laboratorium di knkt, untuk analisa lebih lanjut. (Yang dibawa?) dinamo aja, (yang dalam box?) dinamo juga hanya dari tempat yang berbeda.”
Dugaan sementara, kapal Zahro terbakar karena korsleting listrik. Namun begitu, buruknya pengelolaan dan manajemen kapal wisata ke Kepulauan Seribu, menunjukkan bahwa transportasi laut tak pernah terurus.
Foto: Antara
Rabu pagi di Pelabuhan Kali Ade, Muara Angke, Jakarta Utara, suasana begitu ramai. Ratusan orang berhamburan sembari memegang tiket. Di sana, sudah ada lima kapal yang bersandar; di antaranya KM Trans Pasifik, KM Colombus, KM Rindu Alam, KM Diamond 21, dan KM Miles. Kapal-kapal itu akan berlayar –mengangkut para penumpang ke Kepulauan Seribu.
Wisnu, baru saja pulang dari Pulau Tidung, Kepulauan Seribu. Selama tiga hari dua malam, ia bersama enam anggota keluarganya berlibur ke utara Teluk Jakarta itu. Kepada saya, ia bercerita, bagaimana perlakuan awak kapal yang agak ketat dari biasanya. Semisal, imbauan kepada para penumpang agar memakai jaket pelampung sebelum berangkat.
“Semenjak kejadian kemarin itu, memang ada perubahan drastis. Semua disediakan lengkap dengan ada pelampung. Didata lengkap, sebelum berangkat semua nama-nama, usia dan jenis kelamin semua dicatat. Di sana juga sama didata akurat,” ucap Wisnu.
Padahal dulu, boro-boro ada pemberitahuan, didata saja tidak. “Kalau dulu nggak ada imbauan-imbauan. Jadi kalau mau naik-naik aja, nggak didata sama sekali. Life jacket nggak ada,” sambungnya.
Tapi kejadian awal tahun 2017, mengubah semuanya. Minggu pagi itu, kapal Zahro Express terbakar, 23 penumpangnya mati terpanggang. Dari situ pula, persoalan bobroknya pengelolaan transportasi laut terbongkar. Mulai dari manifest yang tak jelas, lemahnya pelaksanaan prosedur keselamatan, hingga konstruksi kapal yang tak sesuai standard kelaikan. Hal itu diakui Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Andri Yansah. “Insya Allah kita dapat kewenangan pengelolaan yang akan diserahkan ke Dishub dan Provinsi,” jelasnya.
Di Pelabuhan Kali Adem, Muara Angke, total ada 41 kapal yang beroperasi –hilir mudik mengantar para pelancong ke pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Puluhan kapal itu, milik perorangan. Sehingga, siapa pun bisa saja membuat dan menjalankan bisnis sebagai kapal wisata. Paling agar diakomodasi keanggotaannya, para pemilik bergabung dengan PT Samudera Sumber Artha (PT SSA).
Dinas Perhubungan DKI Jakarta pun mengklaim, puluhan kapal itu layak berlayar artinya mengantongi Sertifikat Kelaikan Kapal Penumpang Tradisional. Sertifikat itu, kata Staf Pengawasan Keselamatan Pelayaran (PKP) Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Muara Angke Jakarta Utara, Ichwan Darwanto, diterbitkan berkala; antara enam atau setahun sekali. "Masa berlaku sertifikat bervariasi. Jadi artinya masing-masing kapal itu dokumennya berbeda-beda. Artinya berlakunya sesuai dengan akhir dokumen itu.”
Sertifikat kelaikan kapal penumpang itu juga harus memenuhi beberapa kelengkapan sarana keselamatan; alat navigasi, radi0 komunikasi VHF dan pelampung.
“Sesuai dengan makmulat Dirjen Perhubungan No.167/PHBL/11 jadi di situ ada petunjuk untuk terbitnya sertifikat kapal tersebut harus dilengkapi seperti rakit penolong tegar, yang dapat penampung seluruh pelayar. Jadi penumpang dan awak kapal, ada pelampungnya minimal dua buah. Baju penolong sejumlah pelayar, penumpang plus awaknya. Kemudian rangkat isyarat tanda bahaya seeprti cermin dan senter, alat navigasi seperti kompas seperti merah hijau itu, mesinya, jangkar dan tali jangkar minimal satu buah, dan alat pemadam kebakaran minial 1 buah dekat mesin,”
- Staf Pengawasan Keselamatan Pelayaran (PKP) Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Muara Angke
(Kusnadi, nakhoda KM Colombus. Foto: Eli Kamilah.)
Saya pun melihat-lihat kapal yang dikemudian Kusnadi –nakhoda KM Colombus. Kepada saya, ia menunjukkan kapal warna biru putih berbobot 77 grosston. Kapal ini dibuat pada 2012, dimiliki seorang warga Kepulauan Seribu bernama Hidayat dengan kapasitas 180 orang. Sepekan sekali, kapal ini biasa berlayar memboyong wisatawan ke Pulau Kelapa. Dalam sehari, bisa mengangkut 50-an penumpang.
KM Colombus terdiri dari dua tingkat. Di dek bawah terbagi dua; untuk penumpang dan mesin. Untuk penumpang, dibuat lebih luas hingga memuat 90-an kursi –dengan bentuk memanjang, muat hingga tiga orang. Sementara ruang mesin, ada di belakang kapal –tertutup rapat. Ukuran ruang mesin kira-kira 4x3 meter dengan kedalaman 1,2 meter. Untuk genset, kata Kusnadi, sengaja dipepetkan dengan mesin.
“Itu di sebelah mesin ada gensetnya. (Memang biasanya gensetnya di sini?) Ada yang jadi satu di kamar mesin, ada yang di atas. Kalau ini saya taruh di sini lebih aman, karena Solar. Kalau Premium kan uap panas saja sudah ngeri,” tukas Kusnadi.
Dari penuturan Kusnadi, selama ini kapal-kapal tradisional lazimnya menggunakan genset dengan bahan bakar jenis Solar atau Premium. Genset digunakan untuk penerangan, kipas angin ataupun charger handphone. Sedang tabung pemadam kebakaran berada di sisi kanan kiri kapal. Total, ada lima tabung yang disiapkan. Sayangnya, sebelah kanan dan kiri mesin, dipasangi kursi-kursi penumpang. Padahal, untuk standar keselamatan yang ditetapkan Kementerian Perhubungan, ruang mesin dan penumpang harus terpisah.
Foto: Antara
Para nakhoda dan Anak Buah Kapal (ABK) di Pelabuhan Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara, terlihat sibuk. Sebelum berlayar mereka harus mempersiapkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) yang dikeluarkan Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan. Tak hanya itu, nakhoda juga harus mengantongi SKK dan PAS.
Surat Keterangan Kecakapan (SKK) adalah surat yang menyatakan nakhkoda cakap dalam mengemudikan kapal, tahu lalu lintas air dan paham olah gerak kapal. Jika digambarkan, maka SKK layaknya SIM kendaraan bermotor. Sementara PAS adalah Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia. Ada dua jenis PAS yang diberikan kepada kapal. Satu PAS Besar untuk kapal dengan berat diatas 7 grosston dan PAS Kecil dengan berat dibawah 7 grosston.
Menurut Pasal 163 UU tentang Pelayaran, kapal yang terdaftar di Indonesia dan berlayar di laut diberikan Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia. Itu untuk memberikan identitas kapal secara fisik yang diperlihatkan dengan bendera kebangsaan kapal. Jika lolos cek kelengkapan, petugas di Syahbandar kemudian memeriksa kapal. Pihak Syahbandar berpesan, jika ada penambahan penumpang, nakhoda wajib melapor kembali.
Kondisi ini jauh berbeda saat belum ada insiden terbakarnya kapal Zahro Express pada awal tahun 2017. Itu pagi, 200-an penumpang hendak ke Pulau Tidung. Tapi baru 1 mil, terdengar bunyi dentuman dan kepulan asap. Tak lama, seluruh badan kapal habis dilalap api, 23 penumpang tewas.
Staf Pengawasan Keselamatan Pelayaran (PKP) Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Muara Angke Jakarta Utara, Ichwan Darwanto, mengakui perubahan tersebut. Bahkan, kini ada lima petugas jaga saban hari. Petugas, akan mengecek semua kapal yang akan berlayar. Mulai dari kelengkapan keselamatan hingga navigasi. "Jadi sekarang cek dan ricek, kita libatkan operator, dishub. Kita sama-sama ke kapal untuk memeriksa penumpangnya.”
Bahkan nakhoda diwajibkan melaporkan ulang manifest, mesin, dan mengimbau penumpang memakai pelampung. Malah di dermaga, spanduk terpasang, salah satunya bertuliskan; Penumpang Pelabuhan Kali Adem Dilindungi Asuransi.
Nakhoda KM Diamond 21, Zaenuddin saat mengajukan Surat Persetujuan Berlayar (SPB), bercerita sebelumnya tak pernah ada pengecekan ulang seperti sekarang. “(Bapak sudah lapor biasanya ngecek ke bawah?) Iya sekarang ngecek ke bawah, tapi kalau dulu nggak,” kata Zaenuddin.
Di Pelabuhan Kali Adem, Muara Angke, total ada 41 kapal yang beroperasi –hilir mudik mengantar para pelancong ke pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Puluhan kapal itu, milik perorangan. Sehingga, siapa pun bisa saja membuat dan menjalankan bisnis sebagai kapal wisata. Paling agar diakomodasi keanggotaannya, para pemilik bergabung dengan PT Samudera Sumber Artha (PT SSA).
Mayoritas kapal di sana, dibuat oleh Muslim. Pria paruh baya ini mengaku sudah merakit 20 kapal. Kepada saya, ia bercerita pembuatan kapal selama ini berdasarkan pesanan. Konstruksi kapal buatannya pun, diklaim sesuai standar. Mulai dari kelistrikan yang menggunakan kabel khusus tahan air dan tak mudah terbakar, hingga tata letak mesin juga penyimpanan bahan bakar. Dimana, genset ia sarankan berada terpisah dari mesin. Tujuannya mencegah korsleting.
"Jadi kapal misal panjangnya 30 meter. Jadi dari belakang sekitar 10 meter itu mesin. Sisanya nakhoda dan penumpang. (Kalau genset dilengkapi?) Saya lengkapi dan itu di atas tidak boleh di dalam. Kalau Zahro Express di dalam, dia pikir maunya bersih tampilannya. Tapi kalau korslet dia nggak tahu. Kalau kapal tradisional memang harusnya taruh di atas, memang ya rada ruwer sedikit,”
- Muslim.
(Kapal Zahro Express. Foto: Misan)
Material yang digunakannya pun tidak sembarangan. Semisal tempat penyimpanan bahan bakar yang terbuat dari drum besi. Dengan drum besi, maka tak mudah terbakar dan tak gampang rusak. Penggunaan kabel juga dibuat terbatas, hanya ada di kamar mesin. Itu pun digunakan sebagai penerangan saat malam. Salah satu pemesan kapalnya adalah Mutia Prima Yodi –pemilik Zahro Express. Dia meminta Muslim, merakit kapal sesuai rancangannya. Sementara terkait perizinan, ia tak tahu menahu.
Padahal dalam situs Kementerian Perhubungan tertulis; harus menyerahkan rancang bangun terlebih dahulu jika akan membuat kapal penumpang. Rancang bangun, menurut Direktur Perkapalan dan Kepelautan Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub, Rudiana, menjadi satu syarat sebelum mengajukan izin.
“Ke depannya, sebelum dia membangun, dia harus memberikan desain kepada kita. Desain gambarnya seperti apa, penataan mesinnya di mana. Baru kita hitung stabilitasnya. Untuk kapasitas berapa, untuk perairan mana, keselamatannya seperti apa. Komunikasinya seperti apa. Baru kita hitung penempatannya. Selesei kita evaluasi kapalnya, itu nanti kita serahkan ke pembuat,” jelas Rudiana.
Sementara untuk penyimpanan bahan bakar dan tata letak mesin yang selama ini ada di kapal tradisional, menurutnya tak sesuai standar. Seharusnya, ruang mesin terisolir, tidak menyatu dengan penumpang. Tempat bahan bakar pun terbuat dari tangki, bukan drum atau jerigen.
“Harusnya untuk keselamatan, kadang-kadang masih belum disiplin penumpang kita, misalnya rokok dll. Bahan bakar harusnya disimpan di tanki, jangan di drum atau di dirigin. Itu pun harus terisolir jauh dari penumpang. Tapi kan ini kapal tradisional, karena ini kan kapal tradisional kecil. Intinya tanki bahan bakar, ruang mesin, genset harus dipisah, jangan disimpan dekat penumpang,”
- Rudiana.Transportasi laut, nyatanya masih jauh dari perhatian pemerintah. Padahal bagi warga di Kepulauan Seribu, tak ada lain selain kapal. Bahkan, ribuan orang saban pekan melancong ke sana. Pembenahan mesti jadi prioritas, karena keselamatan tak bisa ditawar.