KBR68H - Pulau Cangkir di Tangerang, Banten contoh nyata kerusakan lingkungan akibat penebangan pohon mangrove di pesisir pantai. Akibatnya pulau ini nyaris tenggelam. Secara ekonomis, mata pencaharian warga setempat sebagai nelayan juga ikut terganggu. KBR68H pergi ke pulau gersang tersebut. Melihat upaya warga menyelamatkan Cangkir.
Mentari siang itu terasa terik. Jalan setapak lumpur padat bercampur pasir terasa kering. Nyaris di kanan kiri jalan menuju Pulau Cangkir tak terlihat pepohonan. Hanya terlihat ilalang, air keruh dan sampah. Pulau ini berada di Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Tidak perlu menyeberang untuk ke sana. Cukup berjalan kaki melewati jalan setapak.
Di sebuah gubug seorang pria tengah sibuk menyiapkan kopi. Junaedi namanya. Ia dulu nelayan di sana. Di usia 50 tahun, kakek 4 cucu ini kini membuka warung. Ia mengenang puluhan tahun lalu, laut di sekitar Pulau Cangkir kaya dengan ikan. Keindahan alamnya mencuri perhatian turis lokal dan luar negeri.
Pulau Cangkir dikenal sebagai tempat wisata sejarah dan alam. Di sana ada makam keramat tokoh penyebar Islam di Banten, Syekh Waliyudin yang dijuluki Pangeran Jaga Lautan Pulau Cangkir. Menurut masyarakat setempat dia anak Sultan Banten Maulana Hassanudin.
Menurut Junaedi pada dekade 1950-an penduduk pesisir Tangerang sejahtera. Karena alam sudah menyediakan semua. Namun itu hanya cerita masa lalu. “Sekarang itu istrinya yang beli ikan di pasar-pasar. Ke mana aja, Curug, Jasinga, dan Rangkas. Apa lagi Cikupa dan Sentiong yah. Sampai orang Kluwud itu datang. Dari Jasinga dan Kluwud serombongan. Dulu kan orang sini yang jual, tapi sekarang orang sini yang beli,” jelasnya.
Kini lingkungan di Pulau Cangkir rusak parah. Penduduknya terbelit kemiskinan. Kebanyakan warganya bekerja sebagai buruh pabrik di Tangerang atau bekerja serabutan. “Putus asa yah. Sekarang ini nelayan orang Kronjo-nya pada jadi tani. Dagang. Dulunya mereka nelayan. Cari ikan susah, modal susah. Sekarang sedikit yang jadi nelayan, 10 persej juga nggak ada,” imbuhnya.
Menurut warga setempat, Junaedi, kemiskinan mulai membekap warga sejak 1980-an. Seiring ditebanginya hutan mangrove untuk membuka lahan tambak warga. Kondisi ini diperparah dengan proyek reklamasi untuk menghubungkan Pulau Cangkir dengan pesisir Tangerang. “Tahun 85-86 itu tambak masuk, tambak udang dan bandeng masuk. Perhutani mengizinkan bikin tambak itu, kondisi kedua memang tanah nggak ada, jadi (mangrove) pada terbarik mati. Panjang itu, puluhan hektar. Sekarang udah nggak ada. Memang salahnya itu diizinkan Perhutani tambak masuk. Dipotongin kan pohon-pohon untuk tambak, ditabangin mangruf untuk tambak. Kalau pohon tunggak itu nggak ditebangin, katanya ada zat asam. Makanya ditebangin. Gundul,” jelasnya.
Sejak pohon mangrove ditebang, bibir pantai mulai terkikis ombak. Pada 1990-an, air mulai masuk daratan dan menenggelamkan pulau. Sebelum kerusakan lingkungan terjadi luas Pulau Cangkir mencapai 5 hektar. Kini tinggal setengah hektar saja. Sisa daratan tenggelam sepanjang 20 tahun terakhir. “Perahu bisa keluar masuk dari sini, lewat. Jadi pulaunya habis kena abrasi, pasirnya dikumpulin untuk mempemudah lewat orang. Sambungin, air pasang kalau orang mau jalan susah. Harus ngoyor, celananya digulung,” jelas Junaedi.
Rusaknya lingkungan memaksa Junaedi dan sebagian nelayan lain memutuskan berhenti mencari ikan di laut. Dulu, sekitar 10 meter dari bibir pantai, puluhan kilogram ikan sudah bisa terjaring. Hal ini diceritakan nelayan setempat, Adi. “Kalau dulu nelayan nggak usah ngomong, jalan bentar aja ke laut, Rp 200 sampai Rp 300 ribu itu sudah dapat. Udah enak itu, sehari. Atuh sekarang mah udah susah nyari duit seratus di laut. Sekarang mah susah udah musim-musim begini, sekarang lagi musim barat. Udah mau masuk ke barat. Kalau Desember- Januari kita nggak bisa kelaut.
Jika nelayan tidak melaut akibat cuaca buruk, mereka terpaksa menjual perabotan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Pertengahan Desember, akhir Desember kita mah nggak bisa kelaut. Kalau nggak bisa kelaut sampai jual-jual panci, kenceng untuk makan. Sekarang juga gitu, ujung-ujungnya juga begitu. Kan susah dapat ikan.
Adi dan nelayan lain di Pulau Cangkir mencari ikan sampai perairan Lampung, Kalimantan dan perbatasan Malaysia yang jauhnya hingga ratusan kilometer. Mereka pergi berbulan-bulan dan bertaruh nyawa saat melaut karena hanya menggunakan perahu kecil. “Memang risikonya nyawa, badai. Sudah banyak korban di sini, banyak korban ke laut nggak ketahuan jasadnya. Dalam setahun, 2 sampai 3 yang tewas. Mereka yang menantang,” katanya.
Terancam tenggelamnya Pulau Cangkir membuat sebagian warga sadar. Mereka lantas membentuk komunitas konservasi lingkungan yang diberi nama Tabur Mangrove. Komunitas itu dimotori Guntur, warga asli pesisir Tangerang.
Guntur menjelaskan mangrove sangat penting untuk ekosistem pesisir. Tanaman di perairan payau tersebut berguna sebagai pemecah ombak sekaligus penyedia makanan untuk ikan..Guntur mencatat dari 51 km panjang pesisir Tangerang, hanya 2 km yang masih ditumbuhi mangrove. Sisanya rusak. “Kalau mangrove di sini banyak, tapi air semakin meningkat kan akan merusak gitu. Karena garis pantainya berubah. Bukan melulu mangrove yang dirusak masyarakat, nggak melulu itu juga. Tapi yang lebih besar dampaknya itu, pesisir di Banten ini ada perubahan fisik, yang itu akiba ulah manusia yang ada di sekitar pulau cangkir,” jelasnya.
Guntur menegaskan penanaman mangrove di Pulau Cangkir dan Pesisir Tangerang harus dilakukan. Jika tidak ingin sisa peradaban di pulau ini hilang akibat kerusakan lingkungan.
Menyelamatkan Pulau Cangkir dengan Mangrove
Kini lingkungan di Pulau Cangkir rusak parah. Penduduknya terbelit kemiskinan.

Senin, 13 Jan 2014 14:03 WIB


mangrove, pulau cangkir, pemanasan global, abrasi
Kirim pesan ke kami
WhatsappBERITA LAINNYA - SAGA
Derita dan Luka Korban Kawin Tangkap (Bagian 2)
Upaya menghapus kawin tangkap di NTT
Derita dan Luka Korban Kawin Tangkap (Bagian 1)
Kawin tangkap merendahkan martabat perempuan
Melani Budianta, Guru Besar yang Selalu Ingin Menjadi Guru Kecil (Bagian 2)
Krisis-krisis yang mendewasakan Melani Budianta
Melani Budianta, Guru Besar yang Selalu Ingin Menjadi Guru Kecil (Bagian 1)
Sarwono Award 2023, pengakuan atas dedikasi Melani Budianta
Potensi Kriminalisasi Pasal Penghasutan KUHP Baru
Dampak kriminalisasi terhadap aktivisme
Jamu Ngatiyem, Potret Pergumulan Perempuan di Tengah Krisis
Jamu sebagai medium membincangkan masalah-masalah sosial kontekstual
Masyarakat Adat Terusik Pasal Living Law KUHP Baru (Bagian 2)
Mencari relasi ideal hukum adat dan hukum negara di era KUHP baru
Tak Sekadar Menghindar Interaksi Sosial
Seseorang dengan Avoidant Personality Disorder menghindari interaksi sosial karena merasa lebih rendah dari orang lain.
Masyarakat Adat Terusik Pasal Living Law KUHP Baru (Bagian 1)
Karakter dan peran sentral hukum adat dalam masyarakat adat
Kisah Kouji Penyandang Autisme, Dirikan Kafe Ramah Autis (Bagian 2)
Perluas kesempatan bagi penyandang autisme untuk berkarya
Kisah Kouji Penyandang Autisme, Dirikan Kafe Ramah Autis (Bagian 1)
Kedai kopi dengan fasilitas dan menu ramah penyandang autisme
Pejuang Lingkungan Dibayangi Overkriminalisasi KUHP Baru (Bagian 2)
Kriminalisasi masih jadi momok bagi pejuang lingkungan
Pejuang Lingkungan Dibayangi Overkriminalisasi KUHP Baru (Bagian 1)
Celah hukum untuk lemahkan pejuang lingkungan
Mending Belanja Bahan Pokok, Ketimbang Buat Beli Rokok
Edukasi untuk menekan konsumsi rokok melalui para ibu
KUHP Baru dan Beban Berlipat Aktivis Peduli HIV/AIDS (Bagian 2)
Pasal kontrasepsi menghambat edukasi dan akses terhadap pencegahan HIV/AIDS
KUHP Baru dan Beban Berlipat Aktivis Peduli HIV/AIDS (Bagian 1)
Kerja berat edukasi populasi kunci untuk cegah penularan HIV/AIDS
Recent KBR Prime Podcast
Malaysia Larang Pengedaran Buku Diduga Hina ART RI
Kabut Asap Makin Tebal, Jambi dan Palembang Terapkan PJJ
Kabar Baru Jam 7
Polemik Dicabutnya Aturan Karpet Merah Eks Koruptor Nyaleg
Mahkamah Agung Batalkan Dua Ketentuan terkait Eks Napi Korupsi Nyaleg
Most Popular / Trending