SAGA

Sengketa Berdarah Lahan dan Tambang

"Sepanjang tahun ini berbagai kasus konflik agraria terjadi di sejumlah daerah. Tak jarang konflik yang melibatkan aparat keamanan tersebut memakan korban jiwa. Diantaranya konflik lahan tambang di Donggala dan lahan perkebunan di Sumatera Selatan."

Agus Lukman

Sengketa Berdarah Lahan dan Tambang
tambang, lahan

Sepanjang tahun ini berbagai kasus konflik agraria terjadi di sejumlah daerah. Tak jarang konflik yang melibatkan aparat keamanan tersebut memakan korban jiwa. Diantaranya konflik lahan tambang di Donggala dan lahan perkebunan di Sumatera Selatan.

Siang hari ratusan orang warga Balaesang Tanjung mendatangi sejumlah kantor  di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah pada Maret silam.

“Jangan main-main! Kami minta tolak tambang! Kami tidak mengizinkan tambang masuk ke daerah kami…!,” teriak massa.

Mereka menggeruduk  kantor Bupati  serta DPRD Donggala. Warga---yang sebagian besar petani kebun dan nelayan itu memprotes keluarnya Izin Usaha Pertambangan bagi PT Cahaya Manunggal Abadi atau PT CMA. Salah satu alasan penolakan karena lokasi tambang berdekatan dengan Danau Rano. Mereka khawatir danau  yang menjadi sumber air bersih bagi delapan desa itu akan tercemar pasca beroperasinya perusahaan tambang.

“Banyak yang kami tidak mampu menerima. Trauma air…! Air…! Kalau air kering kami mau pakai apa? Jangan coba-coba diloloskan itu…! Kami minta itu dicabut…,” teriak massa.

Dua tahun lalu, Bupati Donggala, Habir Ponulele mengeluarkan izin tambang emas seluas lima ribu hektar. Setahun kemudian pemerintah daerah mengeluarkan Perda yang menetapkan Kecamatan Balaesang Tanjung sebagai wilayah pertambangan.

Awal tahun ini perusahaan itu siap beroperasi. Alat-alat berat mulai masuk ke kebun-kebun cengkeh, kakao dan kelapa. Perusahaan PT CMA yang berkantor pusat di Kebon Jeruk Jakarta itu juga melibatkan berbagai jenis orang untuk mengkampanyekan rencana mereka. Termasuk pejabat kabupaten, anggota DPRD hingga lurah dan tokoh adat. Media massa setempat juga jadi ajang perang pro dan kontra terkait rencana itu . 

Selama berbulan-bulan aksi penolakan warga tidak berbalas. Hingga pertengahan tahun emosi warga tersulut. Warga menyandera sejumlah tetua adat yang menyetujui kegiatan tambang. Mereka juga merusak alat berat milik perusahaan tambang itu. Alat pengeruk tanah atau ekskavator menjadi sasaran pembakaran. Juga pos jaga dan beberapa rumah disulut api. Polisi turun tangan, peluru menyalak dan darah pun muncrat. Satu orang sempat dikabarkan tewas karena tembakan, meski kemudian dibantah karena sakit.

Bentrokan terjadi. Polisi memburu orang yang dianggap provokator kerusuhan. Komnas HAM turun tangan menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Anggota Komnas HAM saat itu Ridha Saleh mengaku kesulitan menyelidiki kasus ini akibat  banyak warga yang ketakutan dan kabur ke gunung atau hutan.

"Kami belum bisa mendapatkan informasi yang maksimal karena masyarakat banyak yang ada di gunung, lari ke atas. Tapi ada perkembangan baik setelah kami bertemu Kapolres di lapangan agar mengupayakan Binmas dan meminta seluruhnya orang yang lari ke gunung itu turun dan bergabung lagi ke keluarga karena ini puasa ya," jelas Ridha.

Kegiatan perusahaan tambang PT CMA terhenti sementara. Tiga bulan pasca bentrok, DPRD Donggala mengumpulkan warga Balaesang Tanjung tentang nasib perusahaan tambang itu. Sikap warga tak berubah: PT CMA harus pergi!

“Soal tambang, kami sama sekali tidak menginginkan dia masuk. Karena merusak. Tidak ada tawar-menawar bagi kami---masyarakat yang punya lahan perkebunan—untuk mau minta maaf. Tidak ada perkembangan yang menguntungkan masyarakat,”kata seorang warga.  

Belakangan mulai terkuak tentang proses keluarnya izin usaha tambang itu tidak melalui proses yang transparan. Tanda tangan warga yang diklaim sebagai dukungan kegiatan tambang, ternyata berasal dari tanda tangan peserta sebuah lomba.

Konflik tambang di Donggala Sulawesi Tengah hanya satu dari sekian banyak  konflik agraria di Indonesia sepanjang tahun ini. Kasus Donggala pun tidak cukup banyak menjadi perhatian nasional. Ini mengingat banyaknya kasus serupa. Jaringan Advokasi Tambang JATAM mencatat sepanjang tahun ini ada enam kasus sengketa tambang yang tersebar di Sumatera, Sulawesi, Jawa Timur, hingga Nusa Tenggara Barat.

Sengketa Lahan di Lampung

Kasus lain yang tidak kalah mengerikan adalah sengketa lahan di Kabupaten Mesuji, Lampung dan Kabupaten  Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan, yang menewaskan seorang bocah pada Juli lalu.

“Kami hormat dengan Brimob, Pak…”
“Sabar dulu. Jangan anarkis...”
“Kamu yang nantang duluan….”

Ketegangan terasa saat sepasukan Brimob bertemu warga OKI, Sumatera Selatan. Beberapa anggota Brimob membawa senjata serbu, sedangkan warga yang umumnya petani membawa kayu dan parang.

Warga menghadang Brimob di salah satu area lapang di Desa Limbang Jaya, OKI. Warga menolak Brimob masuk desa. Alasannya sehari sebelumnya aparat menyerbu Desa Sri Badung dan menggeledah rumah-rumah dengan alasan memburu pencuri pupuk perusahaan perkebunan PTPN.

“… La ilaha illallah…! Kamu mau menembak kami…!”

“Kami sudah ditindas Pak, 27 tahun. Kamu ndak tahu masalah Pak, kok nembak….”

Emosi warga meluap ketika pasukan Brimob mengacungkan senjata. Suasana mencekam, bentrok tidak terhindarkan dan letusan peluru terdengar.

“Jangan Pak, Ya Allah…”
“Dor!”
“Pak, jangan Pak..!”

Bentrok berlangsung sekitar 30 menit. Seorang saksi mengatakan polisi menembakkan senjata secara membabi buta. Seorang anak umur 12 tahun bernama Angga terkena peluru nyasar dan tewas ditempat karena kehabisan darah. Meski polisi mengklaim menggunakan peluru karet, Komnas HAM dikabarkan menemukan bukti adanya proyektil peluru di lokasi kejadian.

Peristiwa ini merupakan buntut dari konflik warga dengan perusahaan perkebunan PT Perkebunan Nusantara atau PTPN VII Cinta Manis yang sudah terjadi selama 27 tahun.

Selama bertahun-tahun masyarakat petani di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) mendemonstrasi PTPN . Mereka menuntut perusahaan milik negara itu mengembalikan belasan ribu hektar lahan yang diklaim sepihak. Dari sekitar 20 ribu hektar lahan yang dikuasai PTPN, hanya 6,500 hektar yang memiliki izin Hak Guna Usaha.

Protes warga diwarnai aksi pembakaran. Sekitar seribu hektar lahan tebu terbakar. Mes atau bangunan karyawan juga habis dilalap api. Brimob dikerahkan, sementara LSM lingkungan, WALHI dan sebagian warga mencurigai ada provokator yang bermain di balik konflik tersebut.

Hingga September lalu, penyelesaian konflik lahan di Kabupaten OKI mandek. Pendamping petani, Hadi Jatmiko mengatakan pemerintah daerah setempat tidak juga menjalankan rekomendasi dari Komnas HAM. Salah satu rekomendasi itu isinya pengukuran ulang lahan yang disengketakan.

"Sampai saat ini kami tidak melihat pemerintah menjalankan rekomendasi pengukuran ulang. Terlihat malah pemerintah akan memperuncing konflik karena membiarkan perusahaan beraktivitas di lahan sengketa. Pemerintah membiarkan PT PN VII menanam lahan sengketa. Kita takut ini akan memprovokasi masyarakat dan terjadi konflik lagi," jelas Hadi.

Konflik di Kolaka


Konflik lahan umumnya terjadi antara warga dengan perusahaan. Di Kolaka, Sulawesi Tenggara, sekitar enam ribu hektar lahan kebun bermasalah. Warga bersengketa memperebutkan lahan itu dengan perusahaan PT Perkebunan Ladongi. Kepala Badan Pertanahan Nasional setempat, Abdul Rahman lepas tangan terhadap masalah itu. 

“Permasalahannya adalah segi tiga, ada masyarakat, ada pemegang HGU dan kemudian ada lagi masyarakat yang sedang menggarap lahan tersebut. Kami dari Pertanahan sepanjang masih bermasalah maka bukan ranah kami, kami hanya memediasi kalau terjadi kesepakatan maka kita akan selesaikan tapi kalau tidak maka bukn ranahnya kami. Penyelesaiannya bisa secara musyawarah atau secara hukum,” ungkapnya.

Sengketa lahan juga terjadi di Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara dan beberapa tempat lain.

Di Sumatera Selatan, bahkan konflik agraria terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. LSM WALHI Sumatera Selatan menyebutkan ada 20-an laporan kasus konflik agraria selama enam bulan pertama tahun ini. Aktivis WALHI Hadi Jatmiko mengatakan jumlah itu nyaris menyamai kasus konflik agraria tahun lalu sebanyak 27 kasus.

“Saat ini ada 21 pengaduan masyarakat yang melibatkan konflik dengan perusahaan perkebunan, perusahaan tanaman industri, dan pemerintah. Misalnya, kepemilikan lahan milik TNI Angkatan Udara. Luas (lahan yang bersengketa -red) mencapai lima puluh ribu hektar untuk tahun ini. Kasus tersebar di beberapa kabupaten/kota yakni Kabupaten Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, dan Kota Palembang. Terakhir kami dapat laporan di Kabupaten Musi Banyuasin,” ungkap Hadi.

Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria, sepanjang tahun ini terdapat lebih dari 170 kasus konflik agraria, dengan total lahan mencapai 800 ribu hektar lebih. Selama berlangsungnya konflik ada tiga orang petani tewas, 20-an luka tembak, dan 130-an petani ditahan.

Konflik tersebut ada yang melibatkan institusi militer, perusahaan tambang, perkebunan dan lain-lain. Dalam konflik itu, kerap warga harus berhadapan dengan militer atau aparat kepolisian.

Karena itu, pada September lalu ribuan petani menuntut pemerintah agar melarang keterlibatan aparat TNI dan Polri dalam konflik agraria. Ketua Serikat Petani, Henry Saragih mengatakan pemerintah kerap menggunakan kekerasan untuk merampas tanah garapan petani.

“Yang ketiga, tarik TNI/Polri dari konflik agraria. Membebaskan pejuang rakyat yang ditahan dalam melawan perampasan tanah. Karena banyak petani ditangkap dengan alasan kriminal, padahal memperjuangkan tanah. Melakukan audit legal dan sosial ekonomi terhadap perkebunan kehutanan, HGU, dan juga hak izin tambang baik swasta maupun BUMN,” jelas Henry.

  • tambang
  • lahan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!