SAGA

Menuntut Hak dari Balik Tenda

"Ada pemandangan unik sekaligus miris di depan Kantor Kementerian Kehutanan yang bersebelahan dengan Gedung megah DPR/MPR Jakarta. Sejumlah tenda terpal besar berwarna biru berdiri di sana sejak November tahun lalu. Tenda tersebut didirikan petani asal P"

Menuntut Hak dari Balik Tenda
sengketa tanah, jambi, petani, prd

KBR68H - Ada pemandangan unik sekaligus miris di depan  Kantor Kementerian Kehutanan yang bersebelahan dengan Gedung megah DPR/MPR Jakarta. Sejumlah tenda terpal besar berwarna biru berdiri di sana sejak November tahun lalu. Tenda tersebut didirikan  petani asal Provinsi Jambi.

Ada sekitar 30-an petani yang tinggal di tenda tersebut. Mereka menuntut kementerian yang dipimpin Zulkifli Hasan tersebut segera menyelesaikan konflik tanah antara perusahaan dengan warga di tiga wilayah  yang dihuni Suku Anak Dalam, Kunangan Jaya, dan Mekar Jaya.

Bisingnya suara kendaraan yang lalu-lalang di depan tenda, seperti tak mengganggu aktivitas mereka. Termasuk deru kereta api  yang saban jam melaju. Salah seorang petani Amiruddin Toda menuturkan, “Kayaknya sudah tidak terganggu, kalau waktu jalan 15 hari masih dengar klakson kereta api, itu kaget jam 2 dan 3. Kemudian ada anak-anak yang usil bawa motor sengaja memainkan gas sehingga kita kaget.”

Rasa rindu kepada keluarga, terkadang datang menyergap. Untuk melepas rindu Amir  biasanya menghubungi kerabatnya lewat telepon selular. “Kalau keluarga tetap kasih kabar, paling tanya kapan pulang, sehat apa tidak di Jakarta. Kita 2 bulan target, masih menunggu kawan yang jalan kaki.”

Sampai bulan ini para petani  masih  bertahan tinggal di tenda.  Menurut Amir keluarga sudah paham tujuan kedatangan mereka ke Ibukota untuk menuntut hak. Ia yakin sanak-saudara di kampung halaman mendukung penuh perjuangannya.  “Kalau kita diperjuangan, orang rumah kita sudah ngerti betul sudah dewasa, kita sudah bekali melalui pendidikan-pendidikan, yang namanya perjuangan tetap istri harus tahu yang namanya perjuangan harus berguna untuk manusia lainnya,” imbuhnya.

Manusia Tenda

Bagaimana kehidupan mereka sehari-hari? Untuk urusan mandi, cuci dan kakus para pengunjuk rasa ini harus berjalan 200 meter ke toilet umum Stasiun Kereta Api Palmerah. Tak gratis. Mereka mesti merogoh kocek Rp 2000,- per orang.

“Sebagian kawan ada yang sudah, kalau yang tiga, empat sama saya belum, memang keadaan belum mengizinkan, mau enggak mau daripada mandi hitung-hitung dululah, lebih baik kawan-kawan kadang, beli rokok dulu,” jelas Amir.

Untuk urusan perut, mereka makan apa adanya. Tapi kali ini menu makan malam yang diracik Susmiati di dapur umum lumayan menggugah selera: Gulai Ayam. “Biasa kalau masak buat berapa porsi bu? Ya banyak juga lah. Untuk 30 orang, tadi kami mendapat bantuan ada ayam, beras, mie instan,” kata Susmiati.

Terkadang mereka menerima bantuan lauk-pauk dari berbagai kalangan yang bersimpati. Malam semakin larut.  Di luar tenda, sebagian peserta aksi menghibur diri dengan bernyanyi. Selain gitar, mereka juga manfaatkan botol bekas sampai galon air mineral untuk menambah semarak suasana.

Lagu-lagu perjuangan dilantunkan untuk memupuk semangat jelas salah satu peserta aksi, Soleh. “Sedikit rasa jenuh yang sudah mulai tumbuh, ada juga  menyempatkan diri di dekat setasiun dibawa pohon-pohon seri yang ada di dekat sini, mungkin ini yang kita lihat dari perilaku kawan-kawan aksi ini,” katanya.

Soleh mengakui kondisi tenda yang didirikan di tengah arus lalu lintas membuat penyakit  gampang menyerang.“Rata-rata 90 persen batuk, saya juga sempat terkena batuk, sudah berobat dari bantuan warga jakarta yang memperhatikan kita, mengirim tim medis yang turun ke sini yang menyumbangkan obat-obat atau merngecek, dan juga ada warga yang masuk rumah sakit.”

Tak hanya orang dewasa yang tinggal di tenda-tenda tersebut. Peno, bocah berumur lima tahun, satu-satunya anak yang masih bertahan.

Anak seumurannya sudah dipulangkan ke Jambi karena sakit.

KBR68H: Di sini main apa aja Peno?.
Peno: Mainan, mainan apa aja,
KBR68H: Lagu-lagu, nyanyi enggak?
Peno: Enggak, aku mainan mobilan,
KBR68H: Mana mobilannya?
Peno: Sudah disimpan
KBR68H: Temannya mana?
Peno:  Enggak udah pulang, aku tinggal satu orang.
KBR68H: Temannya kemana sakit?
Peno: Enggak tahu.
KBR68H: Peno sakit enggak?
Peno:  Enggak.

Kelopak mata beberapa peserta aksi mulai berat. Mereka merebahkan tubuhnya untuk istirahat. Tapi tak mudah tidur terlelap di tengah deru lalu lintas dan  alam terbuka. Belum lagi serangan nyamuk yang mengganggu keluh Niar sambil membakar kertas bekas kemasan telur untuk mengusir serangga itu.    “Uh ampun nyamuknya, kalau enggak pakai anti nyamuk tidak bisa tidur, parah nyamuknya, di sini saja harganya 2 ribu 3, belum lagi sama teman-temannya, enggak sanggup beli terus-terusan, kalau pakai tempat telor lumayan. Bagaimana enggak banyak nyamuk ibaratnya lingkungan seperti ini pinggir jalan,” jelas Niar.

Kondisi itu saban malam mereka alami. Waktu istirahat  semakin terganggu bila hujan datang. Areal di sekitar tenda  ikut basah tergenang air kata Fitria. “Ya kalau tikarnya basah ya kita berkumpul di tengah, nanti kalau sudah redah ya kita elapin lagi kita berpencar seperti ini.

Kemarin anak-anak kecil banyak juga yang masuk rumah sakit, berapa hari andre masuk sakit, 4 hari apa 5 hari ya.”
Meski menderita tinggal di tenda darurat semangat Fitria dan kawan-kawan berjuang menuntut hak, tak surut.  Seperti apa persisnya tuntutan mereka?

Pertemuan Illegal

Masih segar ingatan Mawardi mengenang pertemuan petani Jambi dengan pejabat Kementerian Kehutanan setahun silam. Saat itu kenang aktivis pendamping warga tersebut disepakati pembebasan tanah warga yang berasal dari Desa Mekar Jaya,Kunangan Jaya, dan Suku Anak Dalam dari kawasan hutan.

“Waktu pertemuan itu disepakati areal seluas 8000 Ha di Kunangan Jaya dan 3000 Ha di Mekar Jaya akan di encluve, landasan incluve waktu itu izin HTI (Hutan Tanam Industri) berbunyi apabila ada perkampungan, pemukiman maka wajib dikeluarkan dari izin di HTI.”

Pertemuan tersebut dilatarbelakangi  sengketa antara Suku Anak Dalam dengan PT. Asiatic Persada, Kunangan Jaya dengan PT Restorasi Ekosistem Indonesia, dan Mekar Jaya dengan PT. Agronusa Alam Sejahtera. Kasus itu  terjadi sejak tahun 1990-an dan 2000-an silam. Mereka dituding  merampas tanah petani.

Dalam pertemuan setahun silam persoalan ini akan diputuskan pada September 2012. Namun janji tinggal janji. Kesabaran petani habis. Pada November 2012 lalu mereka memutuskan pergi ke Jakarta. Menagih janji Kemenhut. Lucunya saat berdialog dengan pejabat di Kementerian Kehutanan, pertemuan setahun silam dianggap ilegal.
Kembali pendamping Petani Mawardi.“Pertemuan tanggal 16 Desember dinyatakan tidak sah, waktu itu sempat kita protes, ini rapat dipimpin oleh sekjend, berarti yang hadir pada saat itu orang-orang ilegal dong, mereka ngotot ini tidak sah, sampai saat ini juga tidak ada tindak lanjut sama sekali oleh pihak kementerian.”

Tapi petani tak menyerah. Mereka ngotot  tetap berjuang menuntut hak dari balik tenda. “Maunya warga pihak kementerian mengeluarkan dari izin HTI perusaahan,warga dikasih hak kelolah atas hak tanah, itu yang enggak ada jawaban sampai sekarang ini, sampai ada jawaban itu, keputusan menteri keluar, dari izin HTI kemudian dikasih hak kelola pengeloaan oleh warga baru mereka mau pulang.

Kementerian Kehutanan membantah ingkar janji dan  tak peduli dengan tuntutan para petani. Lewat Juru Bicaranya Sumarto mengatakan pemerintah tidak setuju jika petani ingin memiliki kawasan hutan.“Saat ini masyarakat di sana mempunyai rencana  meminta kepada kita untuk memiliki apakah dalam bentuk enclave, ini ksawasan hutan tidak boleh di milki oleh siapa saja, itu dikuasai oleh negara untuk digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Itu satu poin yang harus disamakan persepsi.”

Tolak Pulang

Jika warga ingin memiliki lahan hutan ada lima syarat yang mesti dipenuhi terang Sumarto. “Semestinya kalau sudah kawasan hutan ada 5 hal yang menjadi acuan, 1. Kawasan hutan boleh dikelola asal ada jaminana sumber daya alam meningkat kualitasnya, 2. masyarakat sekitar meningkat kesejahteraannya, 3. Capacity Building aparatur meningkat kualitasnya. 4. tidak ada pencemaran, 5. devisa negara meningkat ini jaminan yang harus diberikan dari pengelohaan kawasan hutan.

Kementerian Kehutanan menuding berlarut-larutnya persoalan ini akibat para petani ditunggangi oleh kepentingan segelintir orang. Kembali Juru Bicara Kemenhut, Sumarto menjelaskan,“Apalagi sekarang semacam ada provokasi, saya menghimbau siapa yang memprovokasi marilah kita jernih dan rasional, kita melihat permasalahannya jangan digunakan masyarakat sebagai tameng, bahwa kita memperjuangan masyarakat adat, ini sudah tidak jamannya lagi, mari kita bersama, turun kelapangan melihat kondisi di lapangan, hukum adalah panglima kita mari  bersama menegakannya.”

Tudingan ini dibantah pendamping para petani. Deputi Pendidikan Partai Rakyat Demokratik, Agus Pranata mengatakan sangkaan itu adalah cara pemerintah untuk menghindar dari tanggungjawab melindungi rakyat.  “Jadi saya kira statement itu bertolak belakang dengan fakta yang ada, karena aksi warga yang dilakukan menginap di Kemenhut merupakan representasi dari masyarakat yang berkonflik. Baik itu kunangan Jaya, Mekar Jaya, maupun warga anak dalam,”katanya.
Kementerian Kehutanan mengimbau peserta unjuk rasa segera pulang ke desa mereka di Jambi. Kemenhut menjamin ekonomi para petani akan meningkat.“Ayo disilahkan mereka pulang tetapi kita meningkatkan jaminan, kalau mereka pulang nanti bisa berusaha eknomi di daerah kita akan dorong kemitraan dengan yang sudah mendapatkan konsesi kerja bersama dengan swasta yang menerima konsesi kita sudah dialog kalau kawasan hutan tidak bisa dimiliki, tetapi bisa dikelola untuk kesejahteraan bersama,” ungkap Sumarto.
Tapi Fitria dan kawan-kawan sudah bertekad tak akan pulang ke kampung halaman, sampai tuntutan dikabulkan pemerintah. “Kalau dia mungkin berpikir nanti kalau bosan pulang sendiri, sebelum berhasi kami enggak akan pulang, walaupun sampai seperti apapun, kita karena menagih janji dia lah setahun yang lalu, katanya mau di enclavekan, tetapi sampai sekarang tidak ada,” tegasnya.

(Ind, Fik)

  • sengketa tanah
  • jambi
  • petani
  • prd

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!