SAGA

Kekerasan Seksual di Dunia Maya

"Waspadalah jika anak Anda memiliki akun di situs media sosial seperti Facebook. Jika tak awas si kecil bisa jadi korban kekerasan seksual yang bermula dari interaksi di dunia maya. Seperti dialami bocah perempuan asal Depok, Jawa Barat ini."

Pipit Permatasari

Kekerasan Seksual di Dunia Maya
dunia maya, kekerasan

Waspadalah jika anak Anda memiliki akun di situs media sosial seperti Facebook. Jika tak awas  si kecil bisa jadi korban kekerasan seksual yang bermula dari interaksi di dunia maya. Seperti dialami  bocah perempuan asal Depok, Jawa Barat ini.

Awal Oktober lalu, pemberitaan media massa diramaikan oleh kasus penculikan siswa kelas tiga SMP Budi Utomo Depok, Jawa Barat. Tak hanya diculik Siswa berinisial SAS itu  menjadi korban perkosaan lelaki yang dikenalnya lewat media sosial, Facebook.

Saat KBR68H mencoba menemui anak perempuan 14 tahun itu, pihak keluarga keberatan.

Pasca peristiwa memilukan yang dialami anaknya, orang tua SAS melaporkan kasus ini ke Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Sejumlah pendeta ikut mendampingi mereka. Menurut Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, saat itu kondosi  SAS terlihat terpukul. 
“Kronoliginya dia tertipu daya.  Dibujuk rayu lewat perkawanan dunia maya. Lalu  ia dibawa ke suatu tempat, berpindah tangan, rumah, penyekapan dan kekerasan seksual bahkan direncanakan untuk dijual dan mendapatkan uang akan mengirimkan anak ini ke Batam,” jelas Aris.

Sebelum diserahkan kepada orang tuanya, SAS ditemukan di terminal Depok oleh seorang pedagang. Kembali Arist. “Kalau kita minta menceritakan kembali dia pasti akan menolak.  Pada saat itu kita paham betul.  Kita panggil tim. Pada saat itu anak stes berat. Tapi dia masih mau bertahan,” tambahnya.

Psikolog Komnas Perlindungan  Anak  yang ditugasi untuk memeriksa kejiwaan SAS, Lisa  Andini menimpali.
“Ini masih dalam pantauan. Kita engga bisa paksa sampai akhirnya orangnya berbicara sendiri. Kadang butuh waktu untuk orangnya bercerita. Kita siasati kita ngobrol yang lain. Pada pertemuan ketiga dia baru mau bicara. Pertemuan pertama, kedua kita ngobrol-ngobrol biasa,” terang Andini.

Selain psikolog, upaya pemulihan psikis korban kekerasan seksual juga mesti dilakukan orang tua dan orang terdekat. Pasalnya jelas Lisa stress pasca trauma, akan muncul selama enam bulan setelah kejadian. Bentuknya mulai dari mimpi buruk sampai sulit tidur.
Sayangnya upaya pemulihan yang dilakukan keluarga dan Komnas anak tidak mendapat dukungan sekolah SAS, SMP Budi Utomo, Sukamaju, Depok.

Menurut pengurus Satgas Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Ilma Soprianti, SAS sempat diusir pihak sekolah. Alasannya ia telah mencoreng nama baik sekolahnya.
“Itu diumumkan  pada saat upacara bendera. Sekolah tidak menyebutkan nama. Jadi sebenarnya temen teman tidak tahu.  Karena ada reaksi penolakan dan gurunya menyuruh keluar, disitulah teman temannya tau.  Kalau pengakuan ibunya gurunya tidak bisa menutupi kondisi SA. Seakan akan menujukan dia itu pelaku,” terang Ilma.

Tak hanya pihak sekolah, pernyataan melecehkan atas prilaku SAS, juga datang dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh.
Menurut Ilma, pernyataan Menteri Nuh telah melukai hati SAS.  “Menanggapi pernyataan M Nuh,  dia menangis saya bukan seperti itu. Dia trauma sekali dan dia bilang,  bu pala saya pusing saya mau pergi jalan–jalan dulu. Dia menangis tidak lagi melihat kondisi dia sebagai korban pemerkosaan,  tetapi dia melihat kok semua orang menghakimi dia.  Kalau dia itu anak nakal dan genit. “

Tak hanya SAS dan keluarganya yang tersinggung dengan pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sejumlah aktivis perempuan juga ikut mengecam pendapat yang tak pantas tersebut.

Lecehkan Korban

Sejumlah aktivis perempuan menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Senayan Jakarta pertengahan bulan lalu. Mereka mengecam pernyataan yang dilontarkan  Menteri Muhammad Nuh. Juru Bicara Aliansi Perempuan Tolak Kekerasan Faiza Marzuki.

“Kita mau menegur Menteri Pendidikan M Nuh yang mengeluarkan statmen 11 Oktober.  Menteri Pendidikan menyatakan, kadang suka sama suka namun mengaku diperkosa. Kalimat itu sangat melukai perempuan.  Terutama korban pemerkosaan. Saya kira tidak ada perempuan yang  mengaku diperkosa.  Karena perkosaan itu satu bentuk kekerasan  tubuh.  Tidak hanya melukai fisik, tetapi  melukai seluruh integritas hidupnya,” kata Faiza.

Faiza menambahkan, pernyataan yang melecehkan korban pemerkosaan dan pelecehan seksual berulang kali terjadi. Kata dia, kasus ini tidak pernah mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Padahal aturan yang ada menjamin dan melindungi perempuan dari ancaman kekerasan seksual.

SAS  satu dari sekian ratusan korban penculikan dan pemerkosaan lewat situs pertemanan seperti Facebook  yang dilaporkan ke Komnas Perlindungan Anak. Menurut data lembaga itu, lebih dari 120-an kasus remaja yang hilang akibat interaksi korban di media sosial.

Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) M Ikhsan menilai buruknya komunikasi antara orang tua dengan anak salah satu pemicu munculnya kasus penculikan yang berujung kekerasan seksual.

“Ini ada kekosongan komunikasi dalam pola pengasuhan antara orang tua dan anak. Kadang anak sering mendapatkan bujuk rayu atas interaksi dari orang lain. Dia biasa ngucapin sayang kamu lagi dimana dan sangat perhatian. Sebetulnya ini peran orang tua mengisi kehausan kebutuhan si anak itu. Ketika orang tua tidak bisa memerankan dan orang lain bisa memerankan, maka terjadilah Facebook,  twiter anak dibujuk dibawa kabur dan kemudian diperkosa. Ini modus yang banyak terjadi saat ini,” jelasnya.

Ketua Komnas  Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait punya pendapat lain.
“Saya kira ini bukan peristiwa. Ini peristiwa berulang ulang yang sebenarnya ada kelalaian dari sistem perlindungan anak  diindonesia.  Baik itu di lingkungan keluarga, sekolah dan di masyarakat. Padahal untuk perlindungan anak ada 4 pilar yang bertanggung jawab  untuk melindungi anak. Satu orang tua, kedua masyarakat,  ketiga pemerintah dan keempat Negara,” katanya.

Lindungi Korban

Korban kekerasan seksual  selayaknya dilindungi, bukan sebaliknya dilecehkan atau  dieksploitasi oleh media-masss, jelas  Sekretaris KPAI, M. Ikhsan.

“Karena budaya kita orang tau kadang malu mungkin khawatir akan menjadi berita. Tetapi dari awal kita mendorong agar SAS dilindungi dari pemberitaan. Karena Undang-undang tidak boleh ada pemberitaan tentang korban pemerkossaan. Kalau ada pemberitaan lebih diarahkan pada persoalan kejadiaannya dan persoalan penidakannya. Kenapa diatur kalau dia pulih akan mendapatkan stiqma buruk. Semua identitas tidak dimunculkan ke publik. Ini sebagai upaya dari stiqma buruk pergaulan.”

Lembaga pendidikan juga selayaknya ikut membantu pemulihan korban. Tidak mengucilkan seperti yang dialami SAS tegas Sekretaris Jendral Federasi Serikat Guru Indonesia Retno Listiarti.
“Buat saya guru dan sekolah mestinya melindungi anak ini. kemudian tidak dilakukan oleh pihak sekolah. Sebenarnya kasus-kasus ini macam ini banyak. Anak-anak yang dianggap mempermalukan sekolah kemudian dikeluarkan. Kejadian ini memang rata-rata menimpa anak-anak putri. “
Kementerian Pendidikan mengaku siap turun tangan jika dinas pendidikan tidak responsif menangani kasus kekerasan seksual yang menimpa pelajar.

“Dan kami memantau kepada dinas pendidikan saja karena sudah take over dinas pendidikan. Kami apresiasi kepada dinas pendidikan karena langsung menangani ini. Karena tidak lupa bahwa urusan pendidikan menjadi salah satu pendidikan menjadi pemerintah daerah. Kalau nanti dinas pendidikan tidak jalan kita akan turun tangan. Jangan sampai semua urusan kementerian saja. Kan ada urusan daerah.”

Tapi pemantauan saja tak cukup, nilai Sekretaris KPAI M Ikhsan. Perlu perbaikan sistem pendidikan di sekolah. Misalnya tambahan materi kesehatan reproduksi di kelas-kelas.

“Sekarang ada yang menentang ketika ada pendidikan seks diusia dini atau kesehatan reproduksi. Mencerdaskan mereka dalam konteks seks dalam prilaku sejak usia dini. Karena gini siapapun orang kalau melihat di TV mereka tidak tahu maka mereka akan mencoba. Maka dari itu ini harus diperkenalkan dengan pelajaran kesehatan reproduksi disekolah.”

Dia menambahkan,”Kalau kita tidak lakukan dan mereka nyari sendiri mereka melakukan prilaku menyimpang. Ketika terprosok mereka tau cara menyelamatkan diri. Minimal  mereka tidak HIV, hamil.  Kita tidak mengharapkan mereka terjerumus. Persoalannya  bagaimana cara kita mencerdaskan mereka pada prilaku seksnya . jadi kecerdasan seksual itu juga harus diajarkan.”
Dan yang tak kalah penting tegas Ikhsan  korban  kekerasan seksual seperti yang dialami SAS harus dilindungi. Bukan dilecehkan dan dihakimi.

  • dunia maya
  • kekerasan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!