SAGA

Tak Sekadar Pengakuan!

Ilustrasi: Rumah Baha'i di New Delhi, India (Dokumentasi: www.bahai.org)
Ilustrasi: Rumah Baha'i di New Delhi, India (Dokumentasi: www.bahai.org)

KBR - Keberadaan penganut agama Baha’i kini jadi sorotan. Terlebih setelah Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menyebut agama itu pada beberapa kesempatan. Berita soal ajaran Baha’i juga tampil disejumlah media massa nasional. Beruntung? Tidak, karena pemberitaan tak pernah bebas dari kesalahpahaman. Tudingan kafir dan sesat masih mewarnai pemberitaan soal Baha’i. Jurnalis KBR Rio Tuasikal belum lama bertemu dengan Rina, seorang penganut agama Baha’i di Tangerang, Banten.

Siang terik di sebuah cafe di Tangerang, Banten. Rina menunjukkan Kartu Tanda Penduduknya kepada saya. Saat terlihat, kolom agamanya tercantum tanda strip. Penandaan KTPnya seperti itu semula tak mengganggunya. Hanya saat hendak menikah, Rina mengaku kerepotan sebab pejabat Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tak mau mencatatkan pernikahannya pada 2009 lalu.


“Saya coba di Jakarta saya ditolak. Saya coba di Jakarta, kantornya yang di Grogol, saya masih ingat pergi ke sana. Ini agamanya belum diakui, kata petugasnya,” kisah Rina. Tak lama Rina bergegas ke Papua. Dia dapat kabar kantor catatan sipil di sana mau mencatatkan pernikahannya. Setibanya, Rina harus membayar mahal akta pernikahannya.


“Mahal, saat itu kan saat bulan Puasa, lagi mau lebaran. Tiketnya lebih mahal dari ke Australia kalau nggak salah. Nggak rugilah habis biaya banyak. Setelah kita dapat surat itu ya mas ya, ternyata surat itu formalitas banget. Karena setelah kita dapet itu, nggak pernah diutik-utik lagi kita agama apa. Semuanya lancar sampai akhir. Padahal di situ ditulis dinikahkan secara Baha'i. Tapi kalau kita ke instansi mana pun bawa surat nggak pernah diutik-utik agama Baha'i tidak diakui, surat tidak diakui. Nggak pernah. Jimat banget, nggak rugi saya,” jelas Rina.


Rina adalah penganut ajaran Baha'i, agama yang belakangan disorot pemerintah. Dia memeluk agama itu sejak 20 tahun silam. Hidup sebagai penganut ajaran Baha’i memang tak mudah. Bukan saja sulit mengurus dokumen pernikahan, para pemeluk Baha’i saat ini pun tak lepas dari stigma buruk. Meraka dicap sebagai penganut ajaran sesat oleh sebagian masyarakat dan aparatur pemerintah.


“Masih banyak yang salah paham. Kadang bisa dianggap pecahan agama lain. Kesalahpahaman mengenai ini dianggap aliran. Kadang dianggap cabang Islam. Terus kadang dianggap ini orang Baha'i menggabungkan agama-agama. Diambil sedikit-sedikit terus digabungkan jadi satu, terus menyebut dirinya Baha'i. Ada. Itu juga salah satu tren juga,” jelas Rina yang juga Staf Hubungan Pemerintah dan Eksternal, Majelis Baha’i Nasional.


Menurut yang diketahui Rina, Baha’i adalah agama tersendiri di luar enam agama yang diakui pemerintah. Inti ajarannya; kesatuan Tuhan, kesatuan agama dan kesatuan manusia. Ajaran Baha’i ini diserukan Baha’ullah, alias nabi pendiri ajaran ini di Persia pada 1800 silam. Pendiri ajaran ini pula yang menulis kitab suci yang memuat keesaan tuhan, tujuan hidup manusia, akhirat,hukum dan ahlak.


Dalam kitabnya, penganut Baha'i percaya agama-agama sebelumnya bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa, dan menjadi tahap sejarah peradaban. Dia juga menceritakan ibadah Baha'i yang disebut sembahyang wajib. Hanya duduk membaca kitab suci, sebanyak satu, tiga atau lima kali sehari. Sesuai kebutuhan saja.


“Sembahyang wajib ini ada bacaannya. Ada bacaan yang sudah ditetapkan dari pembawa wahyunya. Terus ya bacaan tersebut dibacakan. Di rumah, membaca apa yang sudah diwahyukan perwujudan Tuhan. Dengan pakaian bebas tapi bersih, dalam keadaan hormat, di ruangan, sendirian, tidak berjamaah dengan orang lain, seperti itu kira-kira,” jelas Rina.


Rina pun sempat menunjukkan foto rumah ibada Baha’i yang ada di tujuh benua. Di Asia, ada di India. Bentuk rumah ibadahnya unik. Mirip kelopak bunga teratai dengan sembilan sisi dan juga sembilan pintu. Semua orang boleh berkunjung atau bahkan bermeditasi.


Ketika belakangan agama Baha'i dapat sorotan, masyarakat di sekitar Rina pun mulai menaruh perhatian. “Ada tetangga nanya. Nggak nanya karena isu di koran sih. Kadang lagi ngobrol-ngobrol, terus pas saya lagi baca koran, lihat nih, agama Baha'i muncul di koran-koran. Oh ya ya ya, terus cerita-cerita begitu. Sampai tetangga heboh pada datang dan nanya nggak sih. Kalau di kampung mungkin iya, kalau di kota nggak terlalu,” kata Rina.


Rina bersyukur para pemeluk ajaran Baha’i tidak pernah jadi korban kekerasan. Setidaknya selama 10 tahun belakangan ini. Tapi diskriminasi dari aparat pemerintah tetap ada. Seperti anak-anak penganut ajaran ini yang tidak diterima masuk sekolah. Beberapa temuan lain juga menunjukan anak ajaran ini diminta mengikuti salah satu pelajaran agama yang memang disediakan di sekolah.


Itu sebab, Rina mengatakan saat ini Komunitas Baha’i mencoba menagih perhatian pemerintah untuk mengakui hak-hak sipil mereka. Apa saja likunya?


Editor: Irvan Imamsyah
  • bahai
  • agama
  • menteri
  • Indonesia
  • Toleransi
  • petatoleransi_06DKI Jakarta_merah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!