ASIACALLING

Mengunjungi Komunitas Thailand di Hong Kong

"Nyanyian para biksu bisa didengar di tengah hiruk pikuk lalu lintas dan bau serai, ketumbar serta dupa menguar di udara. "

Hiasan di salah satu toko di Little Thailand di Hong Kong.
Hiasan di salah satu toko di Little Thailand di Hong Kong.

Di tengah aktivitas kota Hong Kong yang ramai, ada sebuah bagian di kota itu yang merupakan jendela melihat kota lain. Di South Wall Road, Kowloon, orang Kanton berbaur dengan orang Thailand. 

Nyanyian para biksu bisa didengar di tengah hiruk pikuk lalu lintas dan bau serai, ketumbar serta dupa menguar di udara. Di Little Thailand, tradisi Thailand telah menyatu dan melebur dengan budaya Kanton.

Marta Colombo dan Jayson Albano melakukan perjalanan ke daerah yang semarak itu dan menyusun kisahnya untuk Anda. 

Phra Phimon Lapkanya bertubuh tinggi dengan senyum hangat menyinari wajahnya. Dia adalah biksu yang sedang menunggu jemaat datang untuk menyapanya. Biksu asal Thailand ini bercerita harus menempuh perjalanan selama satu jam dari viharanya ke Little Thailand, yang terletak di Kowloon, jantung Kota Hong Kong.

“Saya datang ke sini setiap hari dan inilah tugas saya. Itu sebab saya datang kemari,” tutur Lapkanya.

Lapkanya datang ke Hong Kong 25 tahun lalu, untuk menyebarkan ajaran Buddha. Saat itu sudah ada beberapa biksu di kota itu. Menurut dia itu tidak mudah. “Awalnya sangat sulit untuk menyebarkan agama Buddha karena saya tidak tahu bahasanya,” katanya.

Bahasa Kanton bukanlah bahasa yang mudah dipelajari tapi Lapkanya harus beradaptasi dengan cepat. “Sekarang saya bisa bicara dalam Bahasa Kanton. Saya belajar sendiri. Dari awal saya sudah mencoba menerjemahkan ajaran Buddha sehingga mudah dipahami,” jelas Lapkanya.

Di kawasan Kowloon inilah dia mengumpulkan sedekah dan berkhotbah. Selama bertahun-tahun, penduduk lokal, orang Thailand dan India telah membangun minat terhadap Buddhisme. Mereka pun menunggunya di sini.

Jalan South Wall Kowloon dikenal sebagai Little Thailand. Papan petunjuk pun dibuat dengan dua bahasa, Thailand dan Kanton, atau Thailand saja. Anda tidak akan pernah menemukan toko dan barang Thailand sebanyak ini di tempat lain di Hong Kong.

red

Pemilik dan pelanggan berkumpul di jalanan untuk mengobrol, biasanya dalam bahasa Thailand. Ini adalah tempat yang kecil dan menarik di kota metropolitan Hong Kong yang ramai.

Ada lebih dari 11 ribu orang Thailand yang tinggal di Hong Kong, menurut sensus terakhir pemerintah. Ini hanya 0,2 persen dari total populasi. Kebanyakan dari mereka datang ke Hong Kong ketika ekonomi kawasan itu mulai membaik pada akhir 1970-an. Mereka mencari kesempatan kerja yang lebih baik.

Sekarang mayoritas orang Thailand di Hong Kong bekerja sebagai pekerja rumah tangga atau pekerja kasar dengan upah minimum.

Beberapa ada yang punya bisnis, seperti restoran, panti pijat, dan toko yang menjual produk Thailand impor seperti minyak, majalah, kosmetik, bunga dan bahan-bahan segar.

Khai Mitra-Don adalah koki dan pemilik Restoran Lemon Thai di Jalan South Wall. Dia hanya menggunakan bahan-bahan yang diimpor dari Thailand untuk menciptakan kembali rasa masakan seperti di negara asalnya.

Dia mengaku sudah menemukan apa yang dia cari di sini. Kata Khai, ”Kami datang ke Hong Kong untuk mencari uang. Dan hidup saya lebih baik sekarang.”

Tapi dia juga menjadi korban dari kehidupan Hong Kong yang keras, yang penduduknya sering disebut pecandu kerja. Meski menghasilkan lebih banyak uang, dia mengaku tidak punya waktu untuk menikmati hasil kerja kerasnya itu.

Sebelum berangkat ke Hong Kong, orang Thailand  biasanya ikut kursus. Di sana, mereka  belajar tentang gaya hidup, bahasa, dan cara menulis kata-kata dasar bahasa Tionghoa. Sisanya mereka pelajari saat sudah tinggal di kota itu.

red

Koki lain bernama Wong Wing mengaku mengganti namanya saat dia tiba agar bisa lebih membaur. Wong Wing tampaknya telah beradaptasi dengan baik di Hong Kong. Tapi ketika ditanya apakah dia merindukan Thailand, ini jawabannya…

“Ya tentu saja. Menurut saya semua orang pasti rindu kampung halaman,” katanya.

Di ujung jalan South Wall, ada sebuah toko yang menjual patung Buddha dan pernak-pernik lainnya. Pemiliknya, Bat Kung, berpakaian serba hitam. Di luar tokonya, ada potret besar almarhum Raja Bhumibol Adulyadej yang meninggal Oktober lalu.

Dia menjelaskan ketika seorang raja meninggal, orang Thailand berkabung selama satu tahun dan memakai baju hitam sebagai tanda pengabdian. Tapi ini sulit dimengerti warga lokal, kata dia.

”Ada orang yang melihat apa yang terjadi dan menganggapnya lucu. Mengapa satu orang yang meninggal tapi satu negara sangat sedih? Mereka menertawakan kami. Itu karena mereka tidak tahu kalau raja kami adalah seseorang yang sangat penting,” tutur Kung. 

“Dan bukan hanya karena dia adalah raja tapi dia telah melakukan begitu banyak hal yang membuat Thailand menjadi negara seperti sekarang ini. Banyak hal telah berubah menjadi lebih baik.”

Bat Kung telah tinggal di Hong Kong selama hampir 30 tahun. Dia menikahi pria lokal dan punya seorang anak perempuan yang tinggal di Thailand. Bat Kung pun sering pulang untuk berkunjung. Seperti kebanyakan orang di sini, kini hidup di dua tempat.

  • Marta Colombo
  • Jayson Albano
  • Little Thailand Hong Kong
  • Hong Kong
  • Komunitas Thailand

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!