RUANG PUBLIK

Rokok Mengepung Anak

Rokok Mengepung Anak

Sebanyak 74,46 persen iklan rokok sudah langsung menunjukkan merk rokok yang bersangkutan. Temuan ini disampaikan ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari, berdasarkan observasi  yang dilakukan yayasan di 10 kota. “Ini strategi hard selling yang bertujuan untuk memengaruhi targetnya untuk segera mengambil keputusan membeli rokok,” kata Lisda. “Dan ini cara yang jahat dari industri rokok,” tambahnya. Strategi hard seling itu banyak dilakukan pada iklan rokok luar ruang.

Sementara iklan rokok televisi masih terus bergerilya dengan menampilkan kesan positif. Mereka mengasosiasikan produknya dengan semangat persahabatan, kisah heroik, jiwa petualang yang pemberani, laki-laki sejati dan lain-lain yang membuat anggapan bahwa merokok pasti jadi keren.

Saking gencarnya iklan rokok, peringatan Hari Anak Nasional 2017, seorang anak bernama Kezia meminta langsung kepada Presiden Joko Widodo untuk menghentikan tayangan iklan rokok di televisi. Permintaan ini bukannya tak beralasan. Survei Komnas Perlindungan Anak pada 2013 menunjukkan kalau 90 persen remaja terpengaruh kesan positif dari iklan rokok – yang banyak menjual ide soal solidaritas, pertemanan, dan nilai-nilai positif lainnya. Dan ujungnya, sekitar 40 persen di antaranya mencoba merokok.

Wahyu Permana Arya Putra mengaku gemas dengan konser musik yang disponsori rokok, sementara targetnya adalah remaja seperti dirinya. “Loh kok dibiarin aja gitu? Satu bulan satu kali dan itu event rokok dan anak muda semua yang datang. Di acara itu mereka dijejelin rokok dan mereka beli, dua puluh delapan ribu (dapat) empat bungkus”, jelas Arya dengan gemas.

Ia lantas memutuskan untuk bergabung dengan Forum Anak Bekasi. Di forum ini kecemasannya soal rokok ditampung. Ia bersama forum anak di berbagai daerah yang disokong Yayasan Lentera Anak berkampanye melawan rokok dengan berbagai cara. Termasuk mengajak teman-temannya menurunkan spanduk rokok di sekitar sekolah. Gerakan seperti ini dilakukan Padang, Bandung, Bogor dan kota lainnya. “Kalau Industri rokok memang mengincar anak, maka harus anak-anak yang memulai untuk berani melawan rokok” katanya.

Anak-anak sekarang, yang menjadi incaran industri rokok adalah sebagian besar dari kelompok yang pada 2020 tampil sebagai bonus demografi bagi Indonesia. Pada saat itu, jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai sekitar 70 persen. Bonus yang akan sangat menguntungkan untuk pembangunan, karena jumlah usia produktif sangat besar, sedang proporsi usia muda sudah semakin kecil dan proporsi usia lanjut belum banyak. Bonus demografi ini akan sia-sia bila digerogoti generasi yang sakit akibat rokok.

Meniru orangtua

Tak hanya digempur kiri kanan dengan iklan rokok di mana-mana, anak pun terpapar soal rokok di rumahnya sendiri. Ibarat kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Aully Grashinta, psikolog dari Universitas Pancasila menekankan, anak banyak meniru orangtuanya.

“Pada dasarnya kita itu hanya modelling,” kata Aully. “Ketika benda itu ada di depannya, apakah dia ingin mencoba? Ya belum tentu. Tapi kalau di lingkungan dia, semua merokok, maka sangat besar kemungkinannya dia ikut merokok.”

“Penelitian yang terakhir menyebutkan, anak yang orangtuanya merokok punya keinginan dua kali lebih besar untuk merokok ketimbang anak dengan orangtua yang tidak merokok,” tegas Aully.  

  • fctc

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!