RUANG PUBLIK

6 Tahapan Mental yang Mengubah Seseorang Jadi Teroris

6 Tahapan Mental yang Mengubah Seseorang Jadi Teroris

Terorisme tidak “lahir” secara tiba-tiba. Menurut penelitian, proses perubahan “orang biasa” menjadi teroris ibarat menaiki anak tangga dalam gedung tinggi. Prosesnya panjang dan melibatkan sejumlah tahapan.

Hal ini diungkapkan riset Adilansyah, Aini Annisya dan Adi Hidayat Argubi yang berjudul Kajian Perubahan Perilaku Individu Biasa Menjadi Teroris (Jurnal Komunikasi dan Kebudayaan Vol. 5, 2018).

Berdasarkan penelitian terhadap fenomena terorisme di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), Adilansyah dkk (2018) melihat ada enam tahapan yang dilewati seseorang sebelum ia menjadi pelaku teror.


Riwayat Terorisme di Kota Bima

Kota Bima, NTB, memiliki riwayat terorisme yang cukup panjang.

Kasusnya berawal dari keberadaan “Jaringan Santoso”. Kelompok ini dikabarkan telah melakukan aksi teror sejak tahun 2011.

Kejahatannya meliputi pembunuhan anggota Polri, perakitan bom, pembunuhan warga, serta dituding bertanggung jawab atas aksi bom bunuh diri di gereja dan sejumlah kantor polisi di Sulawesi Tengah.

Pada tahun 2014, enam orang terduga anggota Jaringan Santoso berhasil ditangkap di wilayah Bima. Tapi jumlah total anggota mereka diperkirakan mencapai puluhan orang. Perburuan polisi terhadap kelompok ini pun terus terjadi dalam beberapa tahun berikutnya.

Menurut data yang dihimpun Adilansyah dkk (2018), sejak tahun 2014 sampai 2017 ada sekitar 20 kasus yang terjadi, mulai dari aksi pengejaran, baku tembak, hingga penangkapan oleh polisi.


6 Tahap “Kelahiran Teroris di Kota Bima

Aldiansyah dkk (2018) kemudian melakukan penelitian terhadap sejumlah anggota Jaringan Santoso di Bima. Mereka juga memetakan 6 tahapan mental yang dialami para teroris di sana, yakni:


1. Krisis Identitas

Krisis identitas adalah kondisi di mana seseorang merasa kecewa atas keadaan pribadinya, kemudian melakukan pencarian jati diri.

Tidak semua orang yang mengalami krisis identitas akan berakhir sebagai teroris. Namun berdasarkan hasil wawancara Adilansyah dkk (2018), umumnya teroris di Bima mengalami tahapan dasar ini.


2. Mencari "Kambing Hitam"

Tahapan mental kedua yang dialami “calon teroris” adalah mencari “kambing hitam”.

Dengan mencari musuh, mereka memiliki seseorang atau sesuatu yang bisa disalahkan atas berbagai kebingungan atau kondisi ketidaknyamanan yang mereka rasakan.


3. Bertemu Ideologi “Penyelamat”

Dalam kasus terorisme di Bima, tahapan yang terjadi selanjutnya adalah pertemuan dengan idologi “penyelamat”.

Menurut wawancara Adilansyah dkk (2018) dengan BNPT Bima, para calon teroris awalnya bertemu kelompok yang memperkenalkan ideologi radikal sebagai jalan keluar.

“Mereka akan lebih awal memberikan pemahaman dan buku tentang Islam yang agak berlebihan dan menganggap bahwa pemerintahan itu harus dengan syariat Islam. Mereka menganggap komunitas mereka yang paling benar,” catat Adilansyah dkk (2018).


4. Melihat Dunia secara Hitam – Putih

Di tahapan ini para calon teroris terus mendalami ideologi radikal dan mulai membentuk pandangan yang hitam – putih.

Di dunia hanya ada salah atau benar, dan tentu saja, mereka memposisikan diri sebagai yang paling benar.


5. Memisahkan Kawan dan Lawan

Selanjutnya, orang-orang dalam kelompok ideologi radikal ini mulai menegaskan kelompok mana saja yang menjadi kawan dan lawan mereka.

Dalam ideologi yang mengatasnamakan Islam di Bima, para calon teroris ditanamkan betul-betul bahwa kelompok yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah sekedar orang yang “berbeda”, melainkan “musuh” yang nyata.


6. Ketaatan pada Kelompok

Di tahap ini, seseorang sudah memiliki ketaatan penuh pada kelompoknya. Ia juga akan mematuhi segala perintah pemimpin atau gurunya.

Dalam banyak kasus yang sudah terjadi, “orang-orang taat” ini bahkan tidak keberatan untuk melakukan aksi bom bunuh diri.


(Sumber: Kajian Perubahan Perilaku Individu Biasa Menjadi Teroris, Jurnal Komunikasi dan Kebudayaan Vol. 5, 2018)

Editor: Agus Luqman

  • teror bom
  • serangan bom
  • terorisme
  • teroris

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!