RUANG PUBLIK

Setop Anak Jadi Media Promosi Rokok

"Peserta wajib mengenakan atribut yang memiliki logo atau warna yang identik dengan perusahaan rokok tertent."

Reza Indragiri, Pakar Psikologi Forensik Yayasan Lentera Anak (YLA) (kiri) dan Nina Mutmainnah Arman
Reza Indragiri, Pakar Psikologi Forensik Yayasan Lentera Anak (YLA) (kiri) dan Nina Mutmainnah Armando, Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (kanan). (Foto: KBR)

KBR, Jakarta - Yayasan Lentera Anak (YLA) merilis temuan mereka terhadap kegiatan Audisi Beasiswa Bulutangkis Djarum. Ini adalah kegiatan yang sudah berlangsung selama 10 tahun dan merekrut 23 ribuan anak yang dikumpulkan di audisi tersebut, yang menang mendapatkan beasiswa badminton dari Djarum. Dari total 23 ribu anak yang ikut, yang mendapat beasiswa hanya 200an orang saja.  

YLA menemukan, anak-anak yang ikut audisi wajib pakai kaos khusus. Warnanya persis seperti bungkus rokok Djarum, juga dengan tulisan Djarum besar-besar di bagian dada. Di sini, anak-anak tampak seperti iklan berjalan. Karena itulah Yayasan Lentera Anak menyebut: ini adalah eksploitasi anak. 

Bagi Reza Indragiri, Pakar Psikologi Forensik Yayasan Lentera Anak (YLA), hal ini sangat menyedihkan. Menurutnya, bagaimana mungkin sebuah produk yang dipandang sebagai salah satu benda paling mematikan di muka bumi, justru mencoba untuk menebus itu semua. Membayarnya dengan melakukan sebuah program yang mereka sebut sebagai program pertanggungjawaban sosial. 

“Ini dua istilah yang sampai kapanpun tak bisa disandingkan. Inilah yang WHO sebut sebagai ironi yang sempurna,” ujar Reza saat Talkshow Ruang Publik KBR, Selasa (19/02/2019). 

Ia menjelaskan, banyak bentuk eksploitasi anak pada saat audisi bulutangkis yang ditemukan oleh YLA. Selain peserta wajib mengenakan atribut yang memiliki logo atau warna yang identik dengan perusahaan rokok tertentu, terpasang pula spanduk, banner, dan baliho di wilayah atau daerah tempat audisi berlangsung dengan menggunakan nama yang sama.

Dalam hal ini, kata Reza, eksploitasi yang dimaksud adalah eksploitasi ekonomi, karena dengan melakukan audisi, dapat mendatangkan keuntungan berlipat ganda kepada pihak penyelenggara bukan anak-anak yang bakal direkrut. Menurut Reza, itu adalah sebuah modus grooming behavior

“Cara menjahati anak, mem-viktimisasi anak, itu tidak harus melulu menggunakan cara-cara yang sadis, pukul, tampar dan sebagainya. Tapi, justru yang paling mudah sekaligus murah digunakan karena tidak meninggalkan bukti yang mudah untuk dibawa ke ranah hukum adalah dengan modus grooming behavior yaitu mengiming-imingi anak penghargaan, hadiah, sanjungan, iming-iming, atau kegembiraan yang sengaja dimunculkan,” jelas Reza.

Nina Mutmainnah Armando, Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, menambahkan, rokok dan anak-anak adalah dua hal yang berseberangan tetapi disatukan oleh produk rokok melalui audisi yang justru melibatkan ribuan anak-anak. 

Bagi Nina, hal ini sama saja dengan menerjunkan anak-anak ke dalam paparan promosi rokok. Anak-anak dimanfaatkan sebagai sarana promosi rokok, yang berselubung acara “beasiswa”.

“Jadi anak-anak ini melalui proses audisi, ini adalah mekanisme sebenarnya, sarana untuk mengenalkan anak-anak dengan produk atau merek rokok, dan ini bisa menimbulkan image positif terhadap si rokok tersebut,” tambahnya.

Komisioner Bidang Kesehatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Sitti Hikmahwatty, mengatakan industri rokok memang berpotensi tinggi melakukan eksploitasi anak. Bahkan, eksploitasi tersebut dapat ditemukan dari hulu ke hilir. Untuk mencegahnya, KPAI melakukan langkah-langkah yang berkenaan terhadap hal tersebut.

“Pertama, kami memberikan pencerahan kepada para pelaku tersebut bahwa ini adalah bentuk eksploitasi berdasarkan yang sudah tertera dalam UU. Nah, kalau sudah memahami, sudah diberitahu dan masih melakukan juga, berarti kami akan mulai masuk ke jalur hukum,” tegas Sitti.

Menanggapi hal ini, Lius Pongoh selaku Administrasi dan Operational Support Coordinator PB Djarum dalam wawancara terpisah mengatakan bahwa, tulisan ‘Djarum” pada kaos tersebut, bukan merujuk pada satu brand, melainkan nama klub, yaitu PB Djarum.

"Kan ada Djarum Badminton Club, Jayaraya Badminton Club, Mutiara Badminton Club, gak ada bedanya, kan? Hati-hati bukan brand, nama klub. Nama klub sama saja kayak Jayaraya, Mutiara, Tangkas, semua sama. Ada yang Jayaraya, ada yang Tangkas, ada yang Suryanaga," sanggahnya. 

Mendengar hal tersebut, Nina menanggapi dengan pertanyaan “Mengapa nama klubnya harus menggunakan nama merek rokok?” Ia menganggap itu adalah strategi yang digunakan oleh industri rokok. 

Nina mempertegas hal tersebut dengan meta analisis terhadap 13 studi dari 1990-2014. Analisis tersebut melihat pengaruh dari paparan promosi terhadap perilaku merokok. Dalam analisis tersebut dijelaskan, anak dan remaja yang sering terpapar promosi rokok memiliki kemungkinan mencoba merokok 1,6 kali lebih tinggi dibandingkan yang jarang terpapar promosi rokok. 

Nina juga mendorong pemerintah serta politisi di tahun politik ini untuk #putusinaja, memasukkan kebijakan pengendalian tembakau yang lebih ketat di berbagai agenda dan kebijakan politik yang akan dibuat, karena tak ada dampak positif yang dari rokok. Dengan diputuskannya kebijakan ini, tentu bisa melindungi anak dan menurunkan maka angka prevalensi perokok anak. 

  • Audisi Badminton DJARUM
  • Industri Rokok
  • #putusinaja

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!