RUANG PUBLIK

PRT Minim Perlindungan, RUU-nya Mangkrak Nyaris 10 Tahun

"RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT) mewajibkan kontrak tertulis antara PRT dan pihak pengguna jasa. Isinya mengatur soal upah minimum, waktu kerja, sampai jumlah anggota keluarga yang harus dilayani."

Adi Ahdiat

PRT Minim Perlindungan, RUU-nya Mangkrak Nyaris 10 Tahun
Ilustrasi. Aksi menuntut pengesahan RUU Pekerja Rumah Tangga. (Foto: ANTARA)

Saat ini ada jutaan orang yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia. Namun, mereka belum mendapat perlindungan yang cukup dari negara.

Rancangan Undang-Undang (RUU) PRT yang sudah masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2010, tak kunjung disahkan sampai sekarang.

Demikian dijelaskan Gwendolyn Ingrid Utama dan Vienna Melinda, peneliti hukum dari Universitas Pelita Harapan, dalam publikasi berjudul Pengaturan dan Perlindungan Hukum bagi Pekerja Rumah Tangga di Indonesia (Jurnal Arena Hukum, 2018).


PRT Perlu Perlindungan Hukum

Menurut Gwendolyn dan Vienna (2018) ada banyak alasan yang membuat PRT harus mendapat perlindungan kuat dari negara.

Sebagai pekerja sektor informal, umumnya hubungan kerja PRT tidak didasarkan pada kontrak tertulis. Akibatnya, mereka rentan mendapat perlakuan sewenang-wenang dari majikan atau pengguna jasanya.

Ada banyak kasus di mana PRT mendapat gaji lebih rendah dari Upah Minimum Regional (UMR), dengan beban dan jam kerja tidak terbatas, dilarang libur atau cuti, serta tidak memiliki jaminan kesehatan.

Karena mayoritas PRT di Indonesia berjenis kelamin perempuan, mereka juga rentan terkena pelecehan dan kekerasan seksual.


Permenaker No. 2 Tahun 2015 Belum Cukup Kuat

Gwendolyn dan Vienna (2018) menyebut, sampai sekarang Indonesia baru punya satu peraturan yang secara eksplisit membahas PRT, yakni Permenaker No. 2 Tahun 2015. Hanya saja, peraturan menteri ketenagakerjaan itu dinilai belum cukup kuat.

Menurut Gwendolyn dan Vienna (2018) Permenaker soal PRT baru sekedar berfokus pada pengaturan lembaga penyalur PRT saja. Padahal, dalam kenyatannya banyak proses perekrutan PRT yang dilakukan tanpa lewat lembaga penyalur resmi.

Permenaker No. 2 Tahun 2015 juga dinilai tidak memberikan sanksi untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pihak pengguna jasa.

Dengan begitu, tidak ada daya paksa bagi pengguna jasa PRT untuk mematuhi peraturan tersebut.


RUU PRT Tidak Kunjung Disahkan

Sebenarnya, sejak tahun 2010 Indonesia sudah puya rancangan undang-undang (RUU) yang mengatur perlindungan PRT.

Menurut Gwendolyn dan Vienna (2018), RUU PRT mewajibkan kontrak kerja tertulis antara PRT dan pengguna jasa. Isi kontraknya meliputi waktu kerja, upah minimum, jatah libur, jatah cuti, hingga jumlah anggota keluarga yang akan dilayani.

RUU PRT juga disebut sudah mengatur soal pemberian jaminan sosial, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, hingga mencakup tunjangan kematian.

Namun, Gwendolyn dan Vienna (2018) menyayangkan karena RUU tersebut tidak kunjung dibahas secara serius.

Tahun 2012 RUU ini sempat dibahas di ruang dewan. Pada tanggal 27 Agustus 2012, anggota DPR Komisi IX bahkan tercatat melakukan kunjungan ke Afrika Selatan dan Argentina demi studi banding tema terkait.

Sayangnya setelah studi banding selesai, RUU ini hanya sempat dibahas satu kali, yakni pada tanggal 5 Juni 2013.

Setelah itu RUU PRT dioper ke agenda legislasi periode 2015 – 2019. Dan sampai sekarang, belum ada gelagat bahwa RUU ini akan disahkan dalam waktu dekat.


Indonesia Perlu Ratifikasi Konvensi ILO tentang Kelayakan Kerja PRT

Selain lambat dalam pembahasan RUU PRT, pemerintah juga dinilai belum punya perhatian serius pada Konvensi ILO No. 198 Tahun 2011 tentang Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga.

Menurut Gwendolyn dan Vienna (2018), konvensi tersebut diperlukan untuk menjamin agar PRT mendapat kondisi kerja layak, sebagaimana pekerja di sektor lainnya.

Konvensi ILO ini mengatur berbagai pemenuhan hak PRT secara lebih terperinci dibanding RUU PRT. Seperti soal kompensasi lembur, perlindungan privasi, sampai ketentuan kerjasama antara negara pengirim dan penerima jasa PRT.

(Sumber: Pengaturan dan Perlindungan Hukum bagi Pekerja Rumah Tangga di Indonesia, Jurnal Arena Hukum, 2018)

  • RUU PRT
  • Konvensi ILO
  • PRT
  • pekerja rumah tangga
  • Kementerian Ketenagakerjaan
  • tenaga kerja
  • pekerja informal

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!