SAGA

[SAGA] Kisah Para Penambang Bitcoin

""Jujur aja, sayang Bitcoin dipakai untuk jual-beli. Mending disimpan aja, nilainya tinggi banget soalnya dan tumbuh terus.""

[SAGA] Kisah Para Penambang Bitcoin
Sebuah tanda menunjukkan lokasi menerika pembayaran dengan Bitcoin. Foto: Antara.

KBR, Jakarta - Muhammad Hendra tak bisa lepas dari laptopnya. Hampir seluruh waktunya, ia habiskan ‘bermain’ mata uang digital atau cryptocurrency.

"Gue kuliah S-1 sudah kelar ambil bisnis, terus S-2 juga baru kelar enggak lama ini. Mau lanjut S-3 sih, tadinya mau kerja dulu. Cuma pas tahu kayak gini, ngapain gue kerja? Gini-gini aja kerja gue sekarang, buka laptop, haha..." ujar Hendra santai.


Saya menemui pria 26 tahun itu di sebuah kafe di Jakarta. Ia lantas memperlihatkan kepada saya beberapa situs yang digunakan untuk bertransaksi uang virtual.


Di website itu menampilkan grafik-grafik angka dan harga terkini tiap mata uang virtual. Plus halaman chat. Dari laman tersebut, Hendra terus memantau naik-turunnya tiap satuan mata uang virtual –yang telah dikonversikan dalam berbagai mata uang konvensional seperti Rupiah dan Dollar AS.


"Saya punya komputer dengan enam grafic card. Pada dasarnya sih yang komputer saya lakukan itu kayak pegawai bank, memproses transaksi orang-orang."


"Sebagai imbalan mata uang digital yang bisa saya jual ke mata uang asli seperti Dollar atau Rupiah. Kemudian saya mutuskan untuk trading juga sejak Juli dan profitnya lumayan."


Hampir setengah tahun Hendra bersentuhan dengan uang digital. Kini ia punya banyak ragam cryptocurrency. Salah satunya Bitcoin. Lantas berapa banyak Bitcoin yang dimiliki? Hendra enggan membuka. Tapi ia pastikan jumlahnya sudah berkali lipat dari modal awal yang dikeluarkan sejak tujuh bulan lalu –kira-kira Rp50 juta.


Ia juga bercerita, permintaan akan Bitcoin semakin meningkat. Harganya pun, terus melambung. Sebagai gambaran sederhana, harga satu Bitcoin pada akhir pekan lalu mencapai Rp142 juta.


Sementara aktivitas penggunaan Bitcoin secara global terus berkembang. Dalam sehari saja bisa Rp1 miliar lebih. Khusus di Indonesia, angkanya tak sampai lima persen dari miliaran rupiah tersebut. Itu mengapa, bagi pemilik Bitcoin, mata uang digital ini begitu menggoda untuk dijadikan aset.


"Jujur aja, sayang Bitcoin dipakai untuk jual-beli. Mending disimpan aja, nilainya tinggi banget soalnya dan tumbuh terus," tukas Hendra.  


Selain Hendra, ada Riskia Yosi. Dosen di salah satu kampus swasta di Bekasi, Jawa Barat, ini masih anak baru di dunia cryptocurrency. Oktober 2017, menjadi awal mulanya bersentuhan dengan Bitcoin.


Tapi sesungguhnya, pengetahuan tentang mata uang digital, sudah lama diketahui. Karena kebetulan, pada 2015 ia sedang meriset untuk gelar doktoralnya mengenai financial capitalism.


"Pertama kali beli Bitcoin sewaktu saya mnegambil Post Doctoral di Praha Republik Ceko. Kebetulan ada salah satu tempat yang saya kunjungi itu namanya Institute Of Cryptoanarchy Institute - Paralelní Polis. Waktu saya datang ke sana, semua kafe bayarnya pakai Bitcoin. Terus saya tanya boleh enggak bayar pakai Koruna (mata uang Ceko), enggak bisa katanya. Lha terus gue ngopi apa kan? Haha... Tetapi akhirnya bisa beli dan di sana saya buat akunnya," kenang Yosi.


Dalam penjelajahannya tentang seluk-beluk Bitcoin, uang digital ini bisa menjadi aset alternatif bagi masyarakat kelas menegah ke bawah. Sebab, kata Yosi, di dunia digital seperti sekarang, masyarakat biasa yang semisal hanya memiliki uang Rp100 ribu, bisa memburu Bitcoin.


Bitcoin adalah currency digital yang pertama kali diperkenalkan pada 2009. Seperti uang pada umumnya, Bitcoin bisa digunakan untuk menyimpan kekayaan maupun membeli barang secara elektronik. Perbedaan Bitcoin dengan uang lain –seperti Rupiah, Dollar, dan Euro adalah peredaran Bitcoin tidak diatur oleh bank sentral.


Di Indonesia, pembelian Bitcoin bisa dilakukan lewat website Bitcoin.co.id setelah membuat akun atau wallet yang digunakan untuk menyimpah uang virtual. Selanjutnya memverifikasi email dan identitas, transfer uang Rupiah ke platform situs pembelian uang virtual.


Hanya saja, keberadaan Bitcoin ditolak sejumlah negara. Seperti Rusia, Singapura, Cina, Thailand, dan Indonesia.


Bank Indonesia pun mengeluarkan rilis yang melarang jual beli Bitcoin maupun jenis cryptocurrency lainnya. Alasannya, mata uang tersebut memiliki sejumlah risiko lantaran tak ada regulator atau administrator yang mengatur. Dan bagi yang menggunakan Bitcoin, diancam dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).


Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia, Ninasapti Triaswati, mendukung langkah pemerintah. Hanya saja, pemerintah harus menjelaskan agar masyarakat tak salah mengerti soal pelarangan tersebut.


"Kalau memang pemerintah ingin membatasi atau melarang, ya harus dijelaskan kepada masyarakat kenapa melarang," tutur Ninasapti.


"Saya malah membayangkan dilarang saja, ini masalahnya kita membayangkan uang itu alat tukar, alat tukar yang jelas jaminannya. Kalau di bank jelas jaminannya, kalau uang virtual tidak jelas jaminannya," sambungnya.


Kembali ke Hendra dan Yosi. Bagi keduanya, pelarangan itu sia-sia belaka. Sebab negara sekelas Cina, Korea Selatan, dan beberapa negara Eropa saja gagal melarang peredaran uang virtual.


"Gue mau kok bayar pajak, asal regulasinya jelas. Jangan dilarang. Cina aja yang segitu super powernya enggak sanggup melarang," ujar Hendra.


Tapi Hendra dan Yosi memperingatkan para pemula untuk terlebih dahulu mempelajari teknis dan jenis mata uang virtual mana yang aman. Ini agar tak tertipu dan merugi. Mengingat banyaknya mata uang virtual yang terus lahir tiap harinya.





Editor: Quinawaty 

  • bitcoin
  • cryptocurrency
  • uang virtual
  • penambang

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!