RUANG PUBLIK

Kisah Beras dari Era Sukarno Sampai Jokowi

"Langkah pemerintah dalam mengelola pasokan beras nasional mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Berikut rangkuman kisahnya."

Pedagang beras di pasar
Ilustrasi: Pedangang beras di pasar (Foto: Antara)

Beras merupakan makanan pokok bagi lebih 260 juta warga negara Indonesia. Tak heran, pemerintah selalu memberi perhatian khusus untuk komoditas ini.

Namun, lain zaman lain pula kebiasaannya. Langkah pemerintah dalam mengelola pasokan beras nasional mengalami perubahan dari waktu ke waktu.


Era Orde Lama

Selama periode tahun 1956 – 1964, Soekarno mencanangkan program swasembada beras melalui Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP).

Soekarno juga menolak impor beras untuk melepaskan ketergantungan Indonesia pada negara asing.

Hanya saja, kebijakan penolakan impor itu tidak diimbangi dengan peningkatan produksi yang cukup. Akibatnya pada tahun 1963 Indonesia mengalami kelangkaan beras.

Dalam artikel Kelembagaan Urusan Pangan dari Masa Ke Masa dan Kebijakan Ketahanan Pangan (2016), Juli Panglima Saragih, peneliti dari Pusat Penelitian DPR RI, menjelaskan bahwa Soekarno berusaha mengatasi kelangkaan beras dengan kebijakan Panca Usaha Tani.

Soekarno juga mendorong masyarakat agar melakukan diversifikasi pangan, yakni mengganti beras dengan jagung, singkong atau ketela.

Sayangnya, menurut catatan Juli Panglima Saragih (2016), program-program tersebut akhirnya gagal karena berbagai masalah. Mulai dari pendanaan yang kurang, masalah manajemen yang kurang cermat, sampai penentuan harga gabah yang lemah.


Era Orde Baru 

Di era Orde Baru, Soeharto mendorong investasi besar-besaran untuk membangun infrastruktur pertanian seperti waduk, bendungan dan irigasi.

Program yang dicanangkan lewat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) ini difokuskan untuk meningkatkan produksi pertanian.

Pemerintahan Soeharto juga mulai membangun institusi-institusi pendukung, seperti Koperasi Unit Desa (KUD) yang menyalurkan kredit untuk petani, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), serta memaksimalkan peran Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk stabilisasi harga beras.

Setelah berjalan sekitar satu dekade, berbagai upaya tersebut akhirnya membuahkan hasil. Indonesia yang pada tahun 1966 dikenal sebagai negara agraria pengimpor beras terbesar, akhirnya mampu mencapai swasembada beras pada tahun 1984.

Selama periode 1985 – 1986 Indonesia sempat menjadi eksportir beras hingga ratusan ribu ton per tahunnya.

Namun mulai tahun 1995, Indonesia kembali menjadi pengimpor. Menurut catatan Faisal Basri dalam Impor Beras Sejak Orde Baru Soeharto Hingga Kini (2018), porsi impor Indonesia terus meningkat hingga jutaan ton per tahunnya.

Impor beras itu kemudian berlanjut sampai Soeharto lengser di tahun 1998.


Era Reformasi

Pada periode awal reformasi, yakni tahun 1998 – 1999, Bulog tidak lagi memiliki kekuatan untuk memonopoli impor dan stabilisasi harga beras.

Menurut Iwan Hermawan dalam Kebijakan Perberasan Indonesia dan Solidaritas Pangan ASEAN (2016), saat itu subsidi bagi petani juga dihilangkan.

Impor beras dikendalikan sepenuhnya oleh pihak swasta, dan harga beras lokal melonjak lebih tinggi dari beras impor.

Di era ini impor beras mencapai rekor tertinggi, yakni 3 juta ton pada tahun 1999.


Era Pasar Bebas–Terkendali

Mulai tahun 2000-an sampai sekarang, urusan impor beras kembali dikelola Bulog. Sedangkan pihak swasta hanya diperbolehkan mengimpor beras kualitas premium.

Iwan Hermawan menyebut periode ini sebagai "era pasar bebas-terkendali". Di era ini tingkat impor tetap tinggi, namun kebijakan stabilisasi harga beras kembali dilakukan lewat Bulog.

Pemberian subsidi petani, serta pendistribusian beras untuk masyarakat miskin juga kembali diterapkan.


Era Jokowi

Di era pemerintahan Joko Widodo, kebijakan perberasan relatif tidak banyak berubah, yakni menggunaksn sistem pasar bebas-terkendali.

Dalam Nawa Cita tahun 2015 - 2019, Jokowi sempat mengarahkan pembangunan pertanian untuk mencapai kedaulatan pangan.

Namun, menurut catatan Faisal Basri (2018), impor beras malah terus meningkat hingga menembus angka 2 juta ton pada tahun 2018 lalu.

(Sumber: Kelembagaan Urusan Pangan dari Masa Ke Masa dan Kebijakan Ketahanan Pangan, Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan, 2016) 

  • Jokowi
  • impor pangan
  • impor beras

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!