HEADLINE

Banyak Masalah, Komnas HAM Minta DPR Tunda Pengesahan RKUHP

Banyak Masalah, Komnas HAM Minta DPR Tunda Pengesahan RKUHP

KBR, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak DPR menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini tengah dibahas bersama pemerintah. 

Anggota Komnas HAM Choirul Anam mengatakan masih banyak substansi bermasalah dalam draf RKUHP. Salah satunya mengenai masuknya poin pelanggaran HAM berat dalam rancangan KUHP. 

Dimasukkannya pasal pelanggaran HAM berat dalam KUHP, kata Choirul Anam, berkonsekuensi menjadikan kasus pelanggaran HAM berat disamakan dengan pidana biasa, sehingga bisa diberlakukan asas kedaluwarsa dan lainnya. 

Hal itu, kata Anam, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM yang mengkategorikan pelanggaran HAM berat sebagai tindak pidana luar biasa.

"Ada prinsip-prinsip yang sangat mendasar, yang itu berbeda dengan pemidanaan biasa. Dalam logika konstruksi kasus, pembuktian maupun legalitas itu sendiri. Misalnya dalam konteks legalitas. Dalam pidana biasa itu nebis in idem mutlak. Tapi dalam konteks pelanggaran HAM berat, ada prinsip yang bisa menyikapi soal-soal nebis in idem.  Atau logika kedaluwarsa. Di Indonesia, kasus pidana biasa kedaluwarsa 20 tahun. Tapi di pelanggaran HAM berat, tidak 20 tahun. Bahkan kasus Pol Pot itu lebih dari 40 tahun, juga dibongkar kembali," kata Choirul di Komnas HAM, Jakarta, Jumat (2/2/2018).

Pembahasan revisi KUHP sudah dilakukan pemerintah dan DPR sejak 2005, dan berlangsung lambat. Namun DPR periode ini menjanjikan revisi KUHP bisa diselesaikan cepat. 

"Selesaikan secara cepat, mudah-mudahan masa sidang ini bisa kelar," kata Ketua DPR Bambang Soesatyo di Jakarta, Kamis (1/2/2018).

Tim penyusun Rancangan KUHP menargetkan RKHUP selesai dibahas pada 14 Februari 2018 mendatang.

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/06-2017/alasan_komnas_ham_tolak_kejahatan_kemanusian_masuk_revisi_kuhp/90663.html">Alasan Komnas HAM Tolak Kejahatan Kemanusian Masuk Revisi KUHP</a> </b><br>
    
    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/12-2016/revisi_kuhp_terganjal_hukuman_minimum_dan_maksimum/87694.html">Revisi KUHP Terganjal Hukuman Minimum dan Maksimum</a> </b><br>
    

Choirul Anam menambahkan, Rancangan KUHP juga menghilangkan dua bentuk kejahatan yakni kejahatan perang dan agresi. Hal ini dikhawatirkan bakal melahirkan impunitas bagi pihak tertentu. 

"Di draf 2015, terdapat tambahan kejahatan perang dan kejahatan agresi. Tapi dari info terakhir yang dari pantauan kami, dua kejahatan itu dihilangkan. Hal tersebut mengakibatkan tidak adanya pertanggungjawaban komandan, yang sebelumnya diatur di kejahatan perang dan agresi. Kekhawatiran kami itu akan melahirkan sebuah impunitas," tambah Choirul Anam.

Komnas HAM meminta kasus pidana pelanggaran HAM berat diatur dalam undang-undang khusus ketimbang dimasukkan dalam RUKHP. 

Anggota Komnas HAM, Sandra Moniaga mengatakan telah mengusulkan revisi Undang-Undang tentang Pengadilan HAM yaitu UU Nomor 26 tahun 2000 kepada DPR sejak 2011 lalu. Revisi ini untuk mengatur pelanggaran HAM berat dalam kategori tindak pidana khusus. 

"Sejak 2011 sudah pernah ada usulan itu ke DPR. Tapi ternyata tidak masuk prolegnas," kata Sandra.

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/02-2018/icjr__pasal_pemidanaan_terkait_kontrasepsi_di_rkuhp_bisa_gagalkan_program_kb/94852.html">ICJR: Pasal Pemidanaan terkait Kontrasepsi di RKUHP Bisa Gagalkan Program KB</a> </b><br>
    
    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/10-2015/kontras_ingatkan_pasal_karet_dalam_rancangan_kuhp/76849.html">Kontras Ingatkan Pasal Karet dalam Rancangan KUHP</a>  &nbsp;</b><br>
    

Editor: Agus Luqman 

  • RUU KUHP
  • Revisi UU KUHP
  • revisi KUHP
  • RKUHP
  • KUHP
  • pasal karet RKUHP
  • pasal pelanggaran HAM berat di RKUHP
  • Komnas HAM

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!