RUANG PUBLIK

Main Media Sosial Bisa Pengaruhi Tingkat Depresi

Main Media Sosial Bisa Pengaruhi Tingkat Depresi

Dewasa ini, media sosial memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Berbagai aktivitas mulai dari bermain, belajar, berkarya, sampai berbisnis tak pelak kita lakukan lewat akun-akun digital.

Menurut data yang dilansir Hootsuite, penyedia layanan analitik digital, rata-rata orang Indonesia di 2017 menghabiskan waktu sebanyak 3 jam 23 menit tiap hari untuk mengakses media sosial. Menurut pengakuan para buzzer lokal, mereka juga bisa mendapatkan uang hingga puluhan juta rupiah tiap bulan hanya dengan bermain media sosial.

Jelas, ada banyak manfaat yang bisa kita ambil dari teknologi ini. Tapi, tahukah Anda? Menurut penelitian psikologi terbaru ternyata media sosial juga bisa menimbulkan depresi.

Studi tersebut menyebutkan bahwa pengurangan kadar main media sosial bisa membuat seseorang merasa lebih bahagia.

Seperti apa penjelasannya?

“Puasa” Media Sosial Bisa Kurangi Depresi dan Kesepian

Tahun 2018, sejumlah psikolog dari Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, melakukan eksperimen terhadap 143 orang remaja berusia 18 – 22 tahun.

Di sesi awal, para peneliti melakukan survei terkait mood dan berbagai kondisi psikologis para remaja. Mereka kemudian dibagi secara acak ke dalam dua kelompok: yang pertama diminta mengurangi aktivitas media sosial harian mereka sebanyak 10 menit per akun, sedangkan kelompok kedua dibebaskan main media sosial seperti biasa.

Eksperimen ini dijalankan selama tiga minggu berturut-turut, dan di setiap akhir minggu para peneliti kembali melakukan survei psikologis yang mengukur tingkat ketakutan akan ketertinggalan atau FOMO (Fear of Missing Out), kecemasan, depresi serta tingkat kesepian.

Hasil yang mereka temukan ternyata cukup mengejutkan. Sepanjang eksperimen ini, kelompok yang membatasi aktivitas media sosial ternyata mengalami penurunan tingkat depresi dan kesepian secara signifikan. Dampak ini terutama dirasakan oleh orang-orang yang memang sudah mengalami depresi sejak awal eksperimen.

Media Sosial Bukan Alat Pembanding Sosial

Mellisa G. Hunt, associate director Departemen Psikologi Universitas Pennsylvania, menegaskan bahwa penelitian ini bukan bertujuan untuk menolak media sosial, melainkan untuk membantu anak-anak muda dalam menyikapi teknologi secara bijak.

Menurut Mellisa, gejala depresi dalam bermedia sosial bisa timbul saat seseorang membanding-bandingkan kehidupan pribadinya dengan hidup orang lain yang mereka lihat di timeline.

Karena itu Melissa menganjurkan para pengguna media sosial untuk membatasi waktu online. Ia juga menyarankan agar orang-orang menghabiskan lebih banyak waktu melakukan kegiatan yang membuat mereka merasa lebih baik. Bercengkerama dengan keluarga atau sahabat, melakukan hobi kesenian, olahraga, atau mempelajari suatu skill baru merupakan pilihan yang bagus.

Namun, sejauh ini gejala depresi karena media sosial baru diketahui terjadi pada kalangan remaja. Butuh penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah kasus serupa juga terjadi pada orang-orang yang lebih tua.

Melissa juga menambahkan catatan bahwa eksperimen ini hanya dilakukan di Facebook, Instagram dan Snapchat. Dengan begitu, ia tak bisa mengklaim apakah kasus serupa juga terjadi pada pengguna platform media sosial lain.

(Sumber: No More FOMO, Limiting Social Media Decreases Loneliness and Depression. Journal of Social and Clinical Psychology, 2018) 

  • media sosial
  • depresi
  • psikologi
  • facebook
  • instagram
  • snapchat
  • FOMO

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!