RAGAM

ADV

Sinyal Dominasi Militer dalam 100 Hari Prabowo-Gibran: Ancaman bagi Demokrasi?

Presiden Prabowo Subianto mengadopsi kebijakan yang menunjukkan dominasi militer, seperti program makan bergizi gratis dan proyek lumbung pangan (food estate).

DIPERSEMBAHKAN OLEH Lapor Iklim / Paul M Nuh

EDITOR / Paul M Nuh

Google News
Sinyal Dominasi Militer dalam 100 Hari Prabowo-Gibran: Ancaman bagi Demokrasi?
Diskusi platform Lapor Iklim di Jakarta, 4 Februari 2025. Foto: Lapor Iklim.

KBR, Jakarta - Dalam 100 hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, muncul berbagai kebijakan strategis yang menandai arah kepemimpinan mereka. Salah satu aspek yang menjadi sorotan utama adalah pendekatan militeristik yang semakin menguat, sementara aktor sipil terlihat semakin melemah dalam pengambilan kebijakan publik.

Kesimpulan ini diambil dari hasil diskusi platform Lapor Iklim bersama peneliti ISEAS Yusof Ishak Institute Made Supriatma, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur, alumni akademisi Universitas IPB Satyawan Sunito, Akademisi Universitas Indonesia Suraya Afiff, dan Analis Senior Institute for Essential Services Reform Julius Christian di Jakarta, 4 Februari 2025.


Pendekatan Militeristik dalam Kebijakan Pemerintahan

Presiden Prabowo Subianto mengadopsi kebijakan yang menunjukkan dominasi militer, seperti program makan bergizi gratis dan proyek lumbung pangan (food estate). Namun, pendekatan yang digunakan dianggap berlawanan dengan kepentingan masyarakat sipil.

Menurut Made Supriatma, peneliti dari ISEAS Yusof Ishak Institute, pendekatan teknokrat militeristik ini mengingatkan pada era Orde Baru. Hal ini didasarkan pada ketidakpercayaan Prabowo terhadap birokrat sipil dan politikus. Salah satu kebijakan yang mencerminkan hal ini adalah keputusan menambah 22 Komando Daerah Militer (Kodam) baru dan rencana pembentukan 100 batalyon teritorial untuk mendukung program ketahanan pangan. Keberadaan militer dalam sektor ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi benturan dengan masyarakat sipil, terutama petani dan nelayan.

Ketua Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH), Muhammad Isnur, mengungkapkan bahwa konflik antara militer dan masyarakat sipil semakin meningkat, terutama dalam proyek strategis nasional (PSN). Dari 36 PSN yang dipantau oleh LBH, wilayah Indonesia Timur mengalami konflik terbesar, termasuk dalam proyek food estate di Merauke. Kasus ini melibatkan pengamanan militer yang dikritik karena mengancam masyarakat adat yang menolak proyek tersebut.


Implikasi terhadap Hak Asasi Manusia dan Tata Kelola Sumber Daya Alam

Suraya Afiff, akademisi Universitas Indonesia, menyoroti kontradiksi dalam kebijakan ketahanan pangan pemerintah. Pemerintah mengklaim bahwa program ketahanan pangan berbasis kearifan lokal, namun kenyataannya, pengelolaan diserahkan kepada militer dan korporasi swasta. Hal ini semakin memperkuat praktik militerisasi dan "gastro kolonialisme," di mana beras menjadi satu-satunya pilihan pangan, mengabaikan keberagaman pangan lokal.

Satyawan Sunito, pakar ekologi manusia dari IPB University, menegaskan bahwa eksploitasi sumber daya alam semakin masif, baik di kawasan hutan maupun non-hutan. Ia menyebut bahwa pola penguasaan sumber daya tidak banyak berubah sejak era kolonial, di mana negara dan korporasi besar masih mendominasi.


Dampak pada Kebijakan Transisi Energi

Selain isu militerisasi dalam kebijakan pangan dan agraria, pemerintahan Prabowo-Gibran juga dikritik karena kurangnya kejelasan dalam agenda transisi energi. Julius Christian dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan bahwa pemerintah belum menunjukkan komitmen nyata dalam menurunkan emisi dan mengurangi ketergantungan pada batu bara. Bahkan, beberapa menteri justru mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan janji kampanye terkait perubahan iklim.

Ir. La Ode M. Aslan dari Forum Akademisi Timur Melawan Tambang menyoroti dampak buruk eksploitasi pertambangan di pulau-pulau kecil yang semakin meningkat. Ia mempertanyakan apakah negara masih berdaulat atau telah dikuasai oleh oligarki yang mengendalikan sumber daya alam.


Kesimpulan: Tantangan bagi Masyarakat Sipil

100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran menunjukkan tren dominasi militer dalam berbagai aspek kebijakan publik. Keberadaan aktor sipil semakin melemah, baik dalam pengambilan kebijakan pangan, agraria, maupun transisi energi. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.

Koalisi masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga bantuan hukum terus mengadvokasi agar kebijakan pemerintah lebih berpihak pada kepentingan rakyat dan tidak hanya menguntungkan kelompok elit dan militer. Perkembangan selanjutnya akan menjadi tolak ukur bagaimana arah pemerintahan ini dalam menjalankan janji-janji politiknya serta menjamin keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Baca juga: Sikap ARUKI tentang COP 29, Prioritaskan Target Keadilan Iklim untuk Rakyat

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!