RAGAM
Produktivitas atau Kesehatan? Mencari Titik Tengah Jam Kerja
Debat jam kerja panjang di India soroti dampaknya pada kesehatan dan produktivitas, serta pentingnya keseimbangan lewat program kesejahteraan karyawan.

KBR, Jakarta - Perdebatan mengenai jam kerja panjang di India kembali mencuat ke permukaan, menyulut kontroversi yang mencerminkan ketegangan antara produktivitas ekonomi dan kesejahteraan karyawan. Sementara beberapa negara seperti Australia telah mengadopsi kebijakan progresif seperti Right to Disconnect, yang memberikan hak kepada pekerja untuk mengabaikan komunikasi kerja di luar jam kantor, para pemimpin industri di India justru menyerukan peningkatan jam kerja hingga 70 hingga 86 jam per minggu.
Tidak hanya itu, wacana seperti lembur fleksibel dengan pengurangan upah serta amandemen terhadap Factories Act 1948 untuk menambah jam kerja legal juga menunjukkan kecenderungan untuk memaksimalkan waktu kerja yang menghasilkan pendapatan (monetisable time), meskipun berisiko mengorbankan kesehatan dan kesejahteraan pekerja.
Data dari International Labour Organization (ILO) menunjukkan adanya variasi besar dalam jam kerja mingguan di berbagai negara, mulai dari 24,7 hingga 54,4 jam. Di hampir separuh dari 170 negara yang disurvei, jam kerja mingguan rata-rata melebihi standar 40 jam. Negara-negara seperti Bhutan, India, Bangladesh, dan Pakistan menempati posisi teratas dalam proporsi pekerja yang bekerja lebih dari 49 jam per minggu.
Penelitian menunjukkan bahwa jam kerja lebih dari 55 jam per minggu berisiko meningkatkan penyakit jantung iskemik dan stroke dibandingkan mereka yang bekerja 35–40 jam. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan bukan hanya sebagai ketiadaan penyakit, melainkan juga mencakup kesejahteraan fisik, mental, dan sosial.
Kesejahteraan karyawan kini menjadi fokus penting dalam dunia kerja. Program employee wellness mencakup lebih dari sekadar asuransi kesehatan dan pemeriksaan rutin; melainkan juga aktivitas fisik, kesehatan mental, fleksibilitas jam kerja, transparansi, rasa memiliki, dan dukungan sosial. Laporan dari Kantor Surgeon General AS tahun 2022 dapat menjadi acuan dalam membangun program semacam ini.
Amerika Serikat menjadi pemimpin dalam penelitian terkait kesejahteraan karyawan, dengan lebih dari 300 publikasi, sementara negara lain masih tertinggal. Sinergi antara kebijakan seperti Right to Disconnect dan program kesejahteraan karyawan terbukti efektif di negara-negara seperti Prancis, Italia, Irlandia, dan Spanyol.
Meskipun pengalaman negara lain bisa menjadi inspirasi, setiap budaya kerja memiliki karakteristik unik. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk melakukan riset internal untuk mengidentifikasi kekuatan dan tantangan spesifik karyawan mereka dalam merancang program kesejahteraan yang holistik dan tepat guna.
Penelitian big data terhadap ratusan ribu pasien menunjukkan bahwa gangguan pencernaan, endokrin, dan sistem rangka menjadi keluhan umum, terutama seiring bertambahnya usia. Masalah seperti obesitas, kesehatan mental, dan kelelahan profesional (burnout) juga mendominasi literatur kesejahteraan karyawan.
Pelatihan manajemen waktu dan prioritas pada keseimbangan hidup-kerja dapat mencegah burnout, meningkatkan produktivitas, serta menurunkan tingkat absensi, pengunduran diri, dan klaim asuransi. Bahkan, perusahaan berskala menengah yang mengabaikan kesejahteraan karyawan berisiko mengalami kerugian lebih dari USD 200 juta.
Para pemimpin perusahaan memiliki peran penting dalam menciptakan budaya kerja sehat: mendorong istirahat, aktivitas fisik, dan praktik mindfulness di tempat kerja. Pada akhirnya, pendekatan seimbang antara jam kerja dan kesejahteraan karyawan bukan hanya menguntungkan individu, tetapi juga menjadi investasi produktivitas jangka panjang bagi organisasi.
Sumber: 360info.org
Penulis: Srinivasan Ramachandran
Baca juga: Kecanduan Fast Fashion dan Dampaknya ke Kesehatan Mental
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!