RAGAM
Perkuat Pengendalian, Indonesia Emas 2045 Tanpa Rokok
Dari peta jalan yang dilakukan pemerintah, kami berharap bisa mengurangi prevalensi rokok ini. Memang tidak bisa tiba-tiba 5 tahun hilang, tapi ada prosesnya.
DIPERSEMBAHKAN OLEH Komnas Pengendalian Tembakau / Paul M Nuh
-
EDITOR / Paul M Nuh
KBR, Jakarta - Jumlah perokok aktif di Indonesia masih tinggi. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2023 menunjukkan, jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang, dengan 7,4% di antaranya perokok berusia 10-18 tahun. Ini terjadi meski pemerintah melakukan berbagai langkah untuk menurunkan prevalensi perokok. Konsumsi rokok di Indonesia memiliki dampak multi-sektor, mulai dari tingginya angka penyakit dan kematian akibat penyakit tidak menular yang terus meningkat, stunting, tuberculosis, sampai defisit BPJS dan sulitnya pengentasan kemiskinan.
Belum lama ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 28 tahun 2024, tentang peraturan pelaksana Undang-Undang Kesehatan. Di dalamnya berisi larangan penjualan rokok kepada orang di bawah usia 21 tahun dan perempuan hamil, larangan penjualan rokok batangan, larangan penjualan rokok dalam jarak 200 meter dari sekolah dan taman bermain, serta ketentuan soal rokok elektrik. Untuk menekan ketertarikan, iklan rokok di media sosial dan di sekitar sekolah juga dilarang.
Harapannya, tentu aturan ini berdampak pada menurunkan prevalensi perokok anak dan remaja, karena Indonesia ingin mengejar target Indonesia Emas 2045 seperti yang tertuang dalam Kerangka Upaya Transformatif Super Prioritas di RPJPN 2025 - 2045.
Bagaimana evaluasi kebijakan dan upaya yang dilakukan selama ini dalam menurunkan prevalensi perokok? Apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan Indonesia emas 2045 tanpa rokok?
Menurut Nina Samidi, Program Manager Komnas Pengendalian Tembakau, melihat RPJPN 2025 - 2045, sebenarnya pemerintah punya beberapa indikator yang relevan dengan upaya penurunan prevalensi perokok yang masuk ke bagian health for all. Mulai dari peningkatan usia harapan hidup di 2045 mencapai 80 tahun, kemudian kesehatan ibu dan anak, mencakup angka kematian ibu dan prevalensi stunting yang ditekan sampai 5%. “Kemudian TB yang diturunkan sampai 76 orang per 100.000 penduduk, dan tingkat kemiskinan yang diturunkan dari 0,5 sampai 0,8%,” imbuhnya.
Nina menjelaskan bahwa hal ini merupakan target ambisius, dan dalam analisis-analisis tim pakar Komnas PT, ada keterkaitan antara perilaku merokok dengan target-target tadi. Jadi sebenarnya pemerintah bisa menjadikan alasan untuk menempatkan penurunan prevalensi rokok menjadi salah satu indikator yang mendukung indikator-indikator tadi. Kemenkes sepertinya sudah punya peta jalan ini, tapi mungkin karena tidak dimonitor dan dievaluasi, jadi semestinya kita sudah tahu target RPJPN 5 tahunan itu sudah sampai di mana, dan langkah-langkah apa aja yang harus diambil untuk mencapai target tersebut.
Manik Marganamahendra - Executive Director IYCTC (Indonesian Youth Council for Tactical Changes) menambahkan, yang paling penting dilihat justru bagaimana komitmen pemerintah sendiri untuk bisa melakukan hal tersebut. Manik melanjutkan, jika kita melihat contoh New Zealand misalnya, mereka sudah melarang anak kelahiran 2015 untuk mengkonsumsi rokok atau produk tembakau lainnya. Malaysia juga sudah melakukan itu.
Dari peta jalan yang dilakukan pemerintah, kami berharap bisa mengurangi prevalensi rokok ini. Memang tidak bisa tiba-tiba 5 tahun hilang, tapi memang ada prosesnya.
“Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia menemukan bahwa anak-anak yang tinggal bersama dengan keluarga perokok itu punya potensi kejadian stunting 5,5% lebih tinggi dibandingkan dengan anak anak yang tidak tinggal dengan keluarga perokok. Artinya, orang yang merokok baik itu anak-anak maupun juga orang dewasa itu punya kemungkinan akhirnya menyumbang angka stunting itu sangat besar kepada negara. Kemudian kita juga bisa lihat bahwa rokok ini juga penyumbang konsumsi pada garis kemiskinan.” jelas Manik.
Jadi selain beras, konsumsi tertinggi kedua keluarga miskin adalah rokok. Mereka bukannya beli telur tapi beli rokok, jadi ini sangat-sangat berhubungan dengan tujuan kita untuk menurunkan prevalensi perokok yang akan mendukung penurunan prevalensi stunting, juga angka kemiskinan ekstrem. Hal ini relevan dengan RPJMN 2025-2029 maupun RPJPN 2025-2045.
Sementara itu Nina menyoroti implementasi yang dilakukan pemerintah terhadap PP Kesehatan yang baru disahkan Agustus 2024 lalu. Menurut Nina, butuh fokus dari pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan sebagai leading sector. Sebagai NGO, Komnas PT memberi dukungan dengan berbagai asistensi teknis yang dibutuhkan. Karena baru disahkan Agustus lalu, jadi juknis-juknis dan pedoman pelaksanaan masih disiapkan.
Menurut Nina, kalau mau komprehensif, pengendalian tembakau ini memang harus dilakukan bersama-sama. Kebijakan dari mulai pre-market sampai post-market, melibatkan multisektor dan kementerian/lembaga lain. Misalnya penjualan melibatkan Menteri Perdagangan, terus larangan iklan melibatkan Kementerian Komdigi, pelarangan iklan di sekitar sekolah melibatkan Kemendagri dan Kemendikbud, dan seterusnya.
Dari studi banding yang dilakukan Manik Marganamahendra ke beberapa negara, dalam observasinya Manik menemukan, bahwa ada paradigma sehat yang digaungkan setidaknya di kalangan top level pemerintahan, misalnya menteri atau dirjen. Mereka memahami bahwa ada konektivitas antar semua elemen.
“Ketika Kementerian Perdagangan kemudian mengatur secara ketat tentang masalah pengendalian tembakau, bukan berarti itu juga akan menurunkan performa perdagangannya, Justru itu akan meningkatkan performanya dalam melindungi konsumen.”
Nina melanjutkan, indeks intervensi industri rokok di negara kita masih yang tertinggi se-Asia Tenggara. Jadi semua kebijakan apapun yang diambil oleh pemerintah untuk memperketat konsumsi rokok pasti akan mendapat tantangan yang cukup berat dari industri, dan mereka melakukan intervensi dari berbagai sisi. Mereka bukan hanya melakukan lobi-lobi kepada pemerintah, yang paling berat sebenarnya justru adalah mereka juga menyebarkan disinformasi atau mitos-mitos yang kemudian menggiring opini publik. Opini publik ini yang kemudian menjadi suara yang besar di lingkungan kita, di ekosistem kita, sehingga pemerintah akhirnya merasa percaya pada mitos-mitos atau disinformasi tersebut.
Dalam analisis liputan media, artikel-artikel dan juga konten-konten di sosial media, bagaimana disinformasi terkait rokok itu selalu meningkat ketika ada pembahasan atau ada proses regulasi yang sedang berjalan. Ketika Omnibus Law Kesehatan itu berproses di DPR dan kemudian PP 28 juga sedang berproses di pemerintah, disinformasi yang muncul terkait rokok itu tinggi. Jadi kita bisa melihat bagaimana industri melakukan, intervensi yang sangat kuat tidak hanya dari dalam juga dari luar. Ini yang menyebabkan kita selalu mendapatkan tantangan yang cukup berat. Jadi kembali ke political will, kalau memang pemerintah punya prinsip yang baik dan tidak korup, mereka pasti akan tetap lurus dan tidak takut dengan ancaman-ancaman, misalnya PHK.
Salah satu cara untuk mengendalikan prevalensi perokok adalah dengan kenaikan cukai yang tinggi untuk menekan keterjangkauan, namun kabarnya cukai rokok tidak akan naik di tahun 2025. Kabar ini tentu sangat mengecewakan bagi para pegiat pengendalian tembakau, karena bagaimanapun juga kenaikan cukai rokok dibutuhkan setiap tahun untuk menekan keterjangkauan. Ambil contoh di tahun 2019, cukai rokok tidak naik karena situasi politik. Dampaknya adalah produksi meningkat cukup signifikan, berakibat pada konsumsi di Indonesia meningkat, karena untuk ekspor sangat berat karena di negara-negara lain pengendalian konsumsi rokok itu sudah sangat ketat.
Untuk memastikan bahwa kepentingan kesehatan masyarakat menjadi prioritas utama dalam penyusulan kebijakan pengendalaian tembakau, menurut Nina harus dilihat dari prinsip dasar masyarakatnya dulu. Yang utama adalah bagaimana ekonomi dan kesehatan masyarakat yang terdampak akibat perilaku merokok. Pemerintah tidak hanya memperhatikan hilirnya saja, dampak rokok yang terjadi terhadap masyarakat, tapi juga dari hulu. Dicek dulu apa yang menjadi penyebab terganggunya ekonomi dan kesehatan masyarakat. Pemerintah diharapkan bisa mengubah perspektif terkait pengendalian tembakau ini.
Menurut Manik, masalah pengendalian konsumsi rokok ini itu sebenarnya saling punya keterikatan. Konsumsirokok punya banyak dampak yang sangat buruk bagi kesehatan masyarakat dan juga dia termasuk ke dalam salah satu faktor risiko terhadap penyakit-penyakit tidak menular yang juga membahayakan kesehatan publik. Apabila kita berhasil melakukan intervensi yang lebih baik di pengendalian konsumsi rokok, tentu itu punya dampak yang lebih baik pula pada kesehatan masyarakat.
Jika kita bisa menekan jumlah penyakit tidak menular, maka kita bisa menekan kemiskinan ekstrem yang berhubungan dengan konsumsi rokok yang sangat adiktif. Dengan begitu, kita berharap bisa menakan angka stunting. Karena stunting di Indonesia itu bukan hanya pertumbuhan fisik yang terhambat, tapi kemampuan kognitif mereka dalam berpikir itu pun juga akhirnya tidak sebaik teman-teman seangkatannya. Jika pemerintah lalai melakukan ini maka taruhannya adalah generasi emas di tahun 2045.
Senada dengan Manik, Nina berharap pemerintah lebih fokus pada arah kebijakan kesehatan preventif. Penyakit jantung yang masih tinggi di Indonesia faktor utamanya adalah rokok. Begitu juga penyakit tidak menular lainnya yang punya risiko kematian tinggi. BPJS defisit 15-17 triliun karena klaim dari penyakit-penyakit yanng faktor risiko utamanya adalah rokok. Jika terus dibiarkan maka kemiskinan dan stunting tidak akan pernah selesai.
Kita berharap dari pemerintahan baru ini bisa mewujudkan Generasi Emas di tahun 2045, bukan generasi cemas. Pemerintah punya target dan langkah-langkah yang konkrit dan terbuka. Pemerintahan Prabowo punya pijakan yang cukup kuat untuk generasi selanjutnya di tahun 2045 untuk bisa mencapai generasi emas. Buktikan bahwa pemerintah sekarang benar-benar berpihak pada anak-anak dan melindunginya dari adiksi rokok.
Baca juga: Rokok Masih Dijual Eceran, Pemerintah Didesak Segera Naikkan Cukai Rokok
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!